Yang Dewa lakukan setelah tiba di apartemennya adalah mandi dan tidur. Tidak peduli sama sekali dengan taruhan itu. Lagi pula, mereka sudah biasa dengan permainan lama seperti ini. Dan hadiahnya pun tidak pernah menggiurkan.
Well, tidak bisa dibilang tidak menggiurkan juga sebenarnya.
Sebagai salah satu orang terkaya di Indonesia, Sagara Admaja tidak pernah tanggung-tanggung dalam mempertaruhkan sesuatu. Begitu juga dengan Gio, sebagai anak tunggal dari pemilik dua bank swasta terbesar se-tanah air, kakak sepupunya itu, meski terlihat seperti karyawan yang paling bekerja keras untuk mendapatkan gaji tertinggi, sebenarnya adalah mesin atm yang berjalan.
Hanya saja Dewa juga memiliki semua itu. Sebuah privilege yang tidak tangggung-tanggung. Keluarganya juga orang berada. Bisa dibilang kaya raya, meski Dewa tidak pernah benar-benar mencicipi privilege-nya sebagai keturunan Prasetyo. Semua fasilitas yang ia miliki saat ini murni dari hasil kerasnya sendiri.
Menolak memikirkan lebih jauh tentang keluarganya dan juga taruhan itu, Dewa jatuh terlelap hingga pagi saat ponselnya berdering nyaring dan memekakkan telinga.
“Lo di mana?” tanya Revo setelah Dewa mendekatkan ponselnya ke telinga.
“Lo nggak ada kerjaan, pagi-pagi buta udah nelepon gue?” erang Dewa.
“Ini udah mau sore,” jawab Revo. “Buruan ke sini, Pak Gibran udah nangkring di kelas.”
“Pak Gibran siapa?”
“Rektorat,” balas Revo malas. “Gue tahu ini kampus punya nenek moyang elo, tapi ini bapak-bapak satu nggak ngebiarin gue duduk tenang di dalam kelas.”
Dewa mendesah. Lalu mematikan sambungan teleponnya. Ia mengetikkan sesuatu pada layar ponselnya, lalu mematikan benda persegi tipis tersebut sebelum kembali memejamkan mata.
Persetan dengan kuliah hari ini.
Lagi pula dia punya pembantu yang bisa di suruh-suruh. Dan seperti kata Revo tadi, kampus itu adalah punya nenek moyangnya. Sekalipun Pak Gibran yang mengajar pada salah mata kuliah wajib di jurusannya, Dewa benar-benar tidak peduli.
*