“Tuhan nulisin nama kalian pada buku yang sama, sebagai pemeran utama.”
*
Dewi terlonjak oleh rasa asing yang menyimpan kelembutan. Ia menarik dirinya, menatap Dewa dengan mata membulat sempurna. Lalu menyentuh bibirnya sendiri, menggantikan tangan Dewa yang telah cowok itu jauhkan dari bibirnya karena keterkejutan yang sama.
Masih dengan kegamangan yang nyata, Dewi bergerak mundur menjauhi Dewa. Hanya saja ia tidak menyadari kalau tanpa sengaja ia kembali menggigit bibirnya. Dan hal itu membuat Dewa menatapnya tajam.
Cowok itu bergerak maju mengikuti langkah mundur Dewi yang kecil. Lalu menahan tubuh Dewi dengan memegang bahunya.
“Kenapa digigit lagi?” tanya Dewa.
Sebenarnya masih menjadi pertanyaan besar di dalam kepala Dewa. Kenapa ia harus peduli pada hal ini?
For God’s sake.
Bibir itu milik gadis ini. Entah mau dikulum atau digigit, tidak ada hubungannya Dewa. Ia mengerti itu. Sangat.
Namun melihat bibir merah muda itu sobek dan mengeluarkan darah, membangkitkan sesuatu di dalam tubuhnya. Dewa tidak tahu apa itu, tapi ia tidak menyukai fakta bahwa dirinya tergganggu oleh sesuatu yang asing tersebut.
“Jangan lapor polisi, please.”
Fokus Dewi ada pada hal lain. Jadi meskipun saat ini Dewa sudah tidak tanggung-tanggung dalam menghujamnya dengan tatapan, Dewi memilih untuk memohon.
Dewa menegakkan tubuhnya dengan benar. Membuat Dewi yang memang setinggi batang lehernya harus sedikit mendongak untuk melayangkan tatapan penuh harapnya. Cowok itu menghela napas sejenak, lalu kembali menunduk. Ibu jarinya mengusap bibir Dewi, tapi matanya tidak lepas dari kedua bola mata Dewi yang masih membulat.
“Lo harus mau jadi pembantu gue.”
Dewi mengangguk cepat.
“Nomer gue disimpen yang bener,” suruh Dewa. “Gue nggak suka nunggu lama, kalo gue chat langsung bales.”
Dewi kembali mengangguk.
“Gue nggak suka ngomong dua kali.” Dewa masih berkata. “Kalo gue telepon suruh elo ngelakuin sesuatu langsung lakuin tanpa banyak tanya.”
Sekali lagi Dewi hanya mengangguk. Di dalam kepalanya seperti tidak ada jawaban lain kecuali menganggukkan kepala.
Dewa memperhatikan itu semua. Bahwa Dewi hanya mengangguk tanpa benar-benar memperhatikan kalimatnya. Dewa bahkan berani bertaruh bahwa apa yang ada di pikiran Dewi saat ini hanyalah harapan supaya Dewa tidak mengatakan sesuatu tentang lapor dan polisi.
“Satu lagi,” kata Dewa tegas. “Mulai sekarang, setiap elo gigit bibir lo sampe berdarah kayak gini.” Dewa menyeka darah di bibir Dewa untuk yang terkahir kalinya sebelum tangan cowokitu tenggelam dalam kantong celana. “Utang elo nambah satu juta.”
Dewa tidak punya waktu untuk menjelaskan kalimatnya. Oleh sebab itu, ia melangkah mengambil kopinya yang sudah terlanjur dingin dan pergi meninggalkan Dewi yang masih bekerja ekstra di dalam kepalanya.
*
Dewi baru tiba di kelas saat pelajaran kalkulus sudah usai. Beberapa temannya sudah ada yang keluar kelas, beberapa yang lain masih sibuk membahas beberapa soal. Hanya Anye yang menyambutnya dengan muka galak plus berkacak pinggang.
“Dari mana, Lo?” sembur Anye garang, tapi seketika langsung mencecar Dewi dengan kekhawatiran. “Elo gigitin bibir lagi?” Anye bertanya. “Habis ngapai ke rooftop?”
Dewi menyentuh bibirnya. Rasa asing bercampur amis membuatnya menghela napas malas. Satu-satunya hal yang paling ia benci dari segala keanehan yang melekat pada dirinya adalah ini.
Mengigit bibir keras-keras pada saat merasa gugup atau takut.
“Wik.” Anye masih berdiri di depannya..
Dewi menatap wajah Anye sebentar, lalu duduk di salah satu kursi kosong di dekat Anye. “Gue bayar utang.”
Anye menatap Dewi lama. “Terus abis ngapain lo sampe bibir berdarah gitu.”
“Dia bilang mau laporin gue ke polisi.”
Dahi Anye berkerut bingung. “Bukannya elo udah bayar?”
Dewi menggeleng. “Belum lunas, kan gue harus jadi pembantunya dia sampe utangnya lunas.”
Anye menghela napas. “Nasib elo ya, Wik. Jelek banget, sumpah.”
Dewi hanya bisa memutar bola matanya malas. “Tadi absen gue gimana?”
“Alpa, lah.” Anye menjawab Dewi sambil menarik kursinya untuk duduk. “Kayak nggak tahu aja lo gimana Pak Richard. Lima menit telat, say bye bye.”
Dewi memasang wajah memelas. “Alamat gue ngulang nih di semester depan.”
“Siapa suruh berurusan sama Dewa.”
“Lo nggak ngasih peringatan ke gue.”
“Heh.” Anye menyalak garang. “Detik elo nyiram dia sama kuah bakso, gue udah kasih tahu.” Anye mendengus kesal. “Jangan. Sampe. Ketemu. Lagi. Sama. Dia,” ujar Anye menekankan setiap suku katanya.
“Terus apa yang elo lakuin?” tanya Anye. “Lo nabrak dia lagi, ngehancurin apalah yang ada ditangannya kemarin itu dan terakhir gue udah warning, Maemunah,” kesal Anye tidak terima dirinya disalahkan begitu saja. “Gue nggak mau elo yang nyetir. See, dibagian mana yang gue nggak ngasih elo peringatan?”
Dewi terdiam lesu. Lalu menggeleng lemah.
“Udah nikmatin aja,” saran Anye akhirnya. “Mana tahu jodoh.”
Sontak saja Dewi kembali membayangkan ciumannya dengan Dewa di rooftop tadi. Membuat ia spontan menyentuh bibir dan menggeleng. Membayangkan jatuh cinta pada pemuda bertampang preman itu tidak pernah terlintas di benak Dewi.
“Kayaknya cara kalian ketemu nggak bisa dibilang biasa-biasa aja deh,” ujar Anye. “Tuhan nulisin nama kalian pada buku yang sama, sebagai pemeran utama.”
Dewi mengangguk-angguk. “Elo penjahatnya kalo ini di dalam buku,” jawab Dewi. “Karena setiap orang tidak akan pernah baik di cerita orang lain.”
Sadar bahwa Dewi mengutip quote dari tik-tok untuk mengejek ucapannya, Anye berdecak. “Gue serius.”
“Gue juga serius, ini kepala gue pusing mikirin utang, mana kalkulus terancam mau ngulang. Elo malah ngomong yang aneh-aneh.”
“Siapa yang ngomong aneh?” tanya Anye. “Taruhan sama gue,” ajak gadis itu. “Kalo elo sama Dewa bakalan punya cerita ke depannya. Karena setiap pertemuan manusia selalu punya alasan.”
“Hm,” gumam Dewi. “Gue ketemu sama orang setiap hari. Random. Mungkin nanti gue juga bakalan punya cerita sama mereka.”
Anye memukul kepala Dewi. “Nggak gitu konsepnya.”
“Elo yang bilang.”
“Pertemuan elo sama banyak orang cuma buat nyadarin elo, kalo di atas dunia ini masih banyak manusia lain.”
“Hm,” Dewi kembali bergumam.
“Nah, kalo pertemuan lo sama Dewa kan beda cerita. Pertemuannya berkali-kali, karena peristiwa yang besar-besar pula. Dan sekarang, setiap hari elo bakalan ketemu dia. Menurut lo, Tuhan nulis cerita lo sama dia di dua buku yang berbeda, gitu?”
Barulah Dewi terdiam. Kalau ucapan temannya ini benar, Dewi harus apa?
*