“Ada banyak cara bagi manusia untuk memulai sebuah hubungan. Tapi semesta menuliskan kata taruhan untuk nama kita.”
*
Suara bel yang berdering disusul oleh suara ketukan pada pintu apartemennya, memaksa Dewa untuk menyibak selimut dan bangkit dari tempat tidurnya dengan kesal yang memuncak. Dan ketika melihat oknum pembuat keributan di apartemennya siang hari ini, berubahlah kejengkelan Dewa menjadi murka.
“Saya nggak nerima tamu,” kata Dewa dingin sambil mendorong pintu, berniat untuk kembali menutupnya.
“Begitu caramu menyapa papa?”
Ucapan dari pria paruh baya dihadapannya itu membuat gerakan Dewa terhenti, menyebabkan pintu itu masih terbuka setengah.
“Papa?” tanya Dewa dengan dengusan yang kentara. “Oh, aku lupa kalau masih punya papa.”
Indra Prasetyo, ayah kandung Dewa mengetatkan rahangnya begitu mendengar ucapan sarkas dari pemuda itu.
“Berhentilah main-main,” titah Indra. “Kamu harus mempersiapkan diri untuk perusahaan papa.”
Dewa mendengus. Tidak lupa menghadirkan senyum mengejek pada wajahnya.
“Sudah saatnya kamu belajar bisnis.”
“Anda tidak perlu repot mengurus hidup saya,” jawab Dewa jengah.
“Papa serius, Dewa,” kata Indra mulai menggunakan nada tinggi. “Kamu harus berhenti dari kuliah arsitektur dan beralih ke bisnis.”
“Yang benar saja!”
“Kenapa?” tanya Indra. “Lagi pula kamu juga tidak serius di bidang itu. Kuliah sering bolos, kalau bukan karena anak papa, sudah dari lama kamu di keluarkan dari kampus.”
Dewa mengepalkan tangannya, mengumpulkan segala kemarahan yang mulai merayap naik sampai ke puncak kepalanya.
“Jangan berpikir karena kamu menjadi pekerja lepas untuk AA corp, sudah bisa menghidupi kamu.”
“Buktinya aku bisa hidup sampai sekarang,” balas Dewa dingin.
“Kamu pikir itu hasil kerja keras kamu?” tanya Indra. Dan Dewa tidak bisa mengenyahkan nada meremehkan yang digunakan Indra pada ucapannya. “Ingat, Dewa. Semua hal yang bisa kamu dapatin sekarang ada campur papa di dalamnya.”
*
Bukan hal baru lagi Dewa datang ke rumahnya dengan kemurkaan yang sangat jelas pada wajahnya. Oleh sebab itu tanpa banyak bertanya, Gio hanya membiarkan adik sepupunya tersebut langsung menuju ruang gym dan melayangkan tinjunya pada samsak gantung yang ada di sana.
“B@NGSAT!” maki Dewa. “Setelah selama ini ngebiarin gue sendiri, kenapa sekarang ngerasa punya andil dalam usaha gue?”
“Samsak gue baru ganti, kalo elo niat mau ngehancurinnya lagi, jangan lupa dibeliin lagi,” kata Gio setelah menaiki treadmill yang tidak jauh dari tempat Dewa yang masih mengamuk. “Kenapa lagi, Lo?”
“Bokap gue,” dengus Dewa. “Dia nyuruh gue berhenti kuliah arsitek supaya serius belajar bisnis dan ngelanjutin perusahaannya.”
Gio terkekeh. “Bukannya bagus? Nggak semua orang punya privilege kayak elo.”
Kali ini Dewa tidak hanya mendengus, tapi berkata dingin. “Seharusnya.”
Gio terdiam sejenak. Mengerti betul maksud ucapan Dewa. “Ya udah, nggak usah lo turutin kalo elo nggak mau.”
“Ya jelaslah!” sembur Dewa. “Punya hak apa dia?”
“Oh iya,” kata Gio. “God of Architects sedang ada proyek baru. Karena ini perusahaan bakalan elo ambil setelah menangin taruhan, mulai sekarang elo harus aktif ngurus.”
Pukulan Dewa terhenti. Tangannya menahan gerakan samsak yang maju mundur, lalu menatap Gio lama. “Siapa aja yang megang saham di perusahaan ini?” tanya Dewa.
“Gue sama Aga,” jawab Gio.
“Cuma lo berdua?”
Gio mengangguk. “Gue sama Aga pengen punya yang bener-bener dari uang sendiri. Dulu awal AA corp. berdiri, gue sama dia utang sana sini buat dapetin modal. Susah payah nyari investor sampai akhirnya harus nelan gengsi saat orang tua Aga ngulurin tangan mau bantuin.”
Dewa mengangguk mengerti. Sekarang ia tahu bagaimana caranya membungkam mulut ayahnya yang sombong itu.
Tiket buat dapetin itu hanya dengan menangin taruhan, kan?
*