“Sayang … kalau memang harus, Mama akan menjaga kalian berdua dan membesarkan kalian dengan jerih payah Mama sendiri. Mungkin … kita memang nggak lagi ditakdirkan untuk bersama dengan papa kalian,” ungkap Tiwi dengan penuh kedihan sambil merangkul sepasang anak kembarnya yang mulai tampak tenang di dalam pelukannya.
Tiwi sudah mencoba bersabar beberapa waktu ini dan berharap jika Wendi bisa merubah sifatnya. Bagaimana pun juga, si kembar adalah anak mereka berdua dan Tiwi berharap Wendi bisa ikut serta dalam mengasuh dan menemani anak-anak itu bermain saat ia pulang bekerja atau mungkin saat dia libur.
Istri membantu meringankan kewajiban suami bukan berarti kewajiban itu beralih kepada dirinya. Hanya saja, terkadang para suami menjadi salah paham dan kemudian tidak jarang malah merendahkan seorang istri. Tidak menghargai jerih payah istrinya di rumah yang bisa mengerjakan dua tiga tugas dalam satu waktu bersamaan.
Ditambah lagi, sekarang Wendi ternyata juga sudah bermain api dengan wanita lain yang mungkin saja memang ada di kantornya. Bisa saja, perselingkuhan itu terjadi karena mereka terlalu sering bertemu dan bersama.
“Ma … Ma … Mah!” ucap Caca yang langsung membuat Tiwi menghapus sisa air matanya.
Tiwi tersenyum manis kepada Caca sementara Koko sudah terlelap. “Sayang … makasih kalian udah jadi penyemangat dan kekuatan untuk Mama. Mulai sekarang, kita harus benar-benar kuat agar nggak ada seorang pun yang bisa merendahkan kita!”
Tepat saat Tiwi selesai mengatakan hal itu, ponselnya berdering. Tiwi mengira itu adalah telpon dari Yana yang tadi panggilan mereka sempat terputus. Namun, ternyata itu adalah telpon dari sang ayah tercinta yang selalu menjaga dirinya dengan segala yang terbaik selama ini.
“Papa? Kenapa tumben banget Papa nelpon siang-siang begini? Apa mungkin Papa juga merasakan yang sekarang aku rasakan?” tanya Tiwi dan kemudian menekan tombol jawab di layar ponselnya.
“Halo, Pa. Apa kabar, Papa? Tumben banget nelpon nih,” sapa Tiwi pada pria yang dia panggil dengan sebutan papa itu.
“Papa baik-baik aja. Gimana kabar kamu dan si kembar? Kapan kalian mau main ke sini?” tanya Irwan setelah menjawab pertanyaan anak sulungnya itu.
“Eh … iya, Pa. Bang Wendi belum ada cuti, jadi belum bisa keluar kota sekarang. Kadang juga weekend masuk kerja dianya,” jawab Tiwi dengan sedikit gugup kepada Irwan.
“Oh begitu! Ya udah nggak apa-apa sih. Papa ada kabar bagus nih untuk kamu, Wi. Mana tau kamu berminat dan ingin mencobanya,” ucap Irwan dengan nada serius.
Hal itu tentu saja membuat Tiwi penasaran dan mengernyitkan keningnya. “Kabar bagus apa maksudnya, Pa?” tanya Tiwi pula.
Irwan memang sengaja menelpon Tiwi siang ini karena tadi pagi dia baru saja bertemu dengan sahabat lamanya. Selain sudah sukses dengan karirnya sendiri, ternyata sahabat lamanya itu juga sudah memiliki dua orang putra yang sama suksesnya dengan dirinya.
Irwan banyak bercerita dengan Hendri dan mengetahui bahwa Hendri adalah orang yang bisa mengurus surat izin praktek bagi bidan atau dokter yang ingin membuka prakteknya sendiri.
Irwan dengan sabar menjelaskan kepada Tiwi tentang pertemuannya dengan Hendri dan bagaimana mereka saling bercerita tentang anak-anak mereka satu sama yang lainnya. Hanya saja, kedua anak Hendri masih lajang dan keduanya adalah dokter spesialis.
Mendengar Irwan memiliki putri yang lulusan sarjana kebidanan, tentu saja Hendri menawarkan untuk mengurus izin praktek secara gratis dan tinggal beres saja kepada Irwan. Dan berharap bahwa Tiwi bisa kembali menggunakan titelnya, meski ia sudah menikah dan memiliki sepasang anak kembar. Itu bukan hal yang mustahil bagi seorang wanita jika memang ingin maju dan ada perubahan dalam kehidupannya.
“Nanti aku pikirkan lagi, Pa. Dan … mungkin aku butuh persetujuan dari bang Wendi juga.” Tiwi berkata dengan nada berat kepada Irwan.
Ia tahu bahwa Irwan berharap banyak kepada dirinya dan merasa sangat keberatan jika Tiwi terus menjadi ibu rumah tangga yang tidak memiliki penghasilan sampingan seperti sekarang ini. semua itu bukan tanpa alasan bagi Irwan merasa keberatan pada putrinya itu.
“Papa merasa hubungan kalian udah nggak seintens dan seromantis dulu lagi. Biasanya kamu dan Wendi aktif sekali berbagi kebersamaan kalian di sosial media. Bahkan, saling membalas komentar dengan kata sayang dan perhatian. Akhir-akhir ini, Papa liat ada yang berubah dari sikap Wendi meski Papa hanya bisa merasakannya dari beberapa komentar dan unggahannya di sosial media aja,” ungkap Irwan kepada Tiwi dan membuat darah Tiwi berdesir ketika mendengarnya.
Irwan memang sangat peka terhadap Tiwi karena sejak awal sebenarnya dia tidak suka kepada Wendi. Irwan mengatakan kepada Tiwi untuk mencari pria yang lain saja. Sebab, sebagai seorang pria tentu saja Irwan bisa melihat orang seperti apa Wendi itu.
Namun, karena Tiwi dan Wendi sudah berhubungan sangat lama dan mereka saling mencintai, jadi Irwan tidak bisa melarang atau menghalangi niat baik mereka untuk melanjutkan hubungan itu ke jenjang pernikahan.
“Kami baik-baik aja kok, Pa. Emang lebih sedikit sibuk dan ribet karena aku ngurus si kembar sendiri tanpa bantuan baby siter dan juga asisten rumah tangga. Tapi semua aman, Papa!” ucap Tiwi.
Tiwi jelas berbohong kepada Irwan tentang keadaannya saat ini. Itu semua Tiwi lakukan karena memang tidak ingin membuat beban pikiran Irwan menjadi bertambah. Dan Tiwi juga bukan tipe wanita yang suka mengadu kepada keluarganya tentang hubungan rumah tangganya dengan Wendi. Baik dan buruk mereka selama berumah tangga, Tiwi akan telan sendiri.
“Ya udah kalau gitu yang kamu bilang. Papa hanya bisa berdoa kalau kalian memang baik-baik aja dan jangan pernah sungkan untuk minta bantuan Papa kalau kamu memang butuh. Hanya kamu dan adikmu yang Papa punya di dunia ini sekarang.” Irwan berkata dengan suara yang terdengar serak.
“Iya, Pa. Aku usahakan akhir bulan nanti berkunjung ke sana, ya. Aku akan minta bang Wendi ajukan cuti di kantornya,” ucap Tiwi berusaha menghibur Irwan dengan kalimat itu.
“Nggak usah dipaksain kalau memang Wendi nggak bisa. Papa nggak mau kalian bertengkar hanya gara-gara Papa. Yang penting kalian sehat dan selalu bahagia. Itu aja udah cukup untuk Papa.”
“Aku akan selalu bahagia untuk anak-anakku dan untuk Papa. Papa jangan sedih, kalau nggak mau aku ikutan sedih.”
“Papa nggak sedih sekarang. Tadi pagi, Papa sedih waktu ketemu mami kamu.” Irwan berkata dengan sejenak suaranya tidak terdengar. Hanya terdengar helaan napas berat dari seberang sana.
Tiwi tahu hanya dengan merindukan maminya itu, papanya akan merasa sedih dan kesepian. Maminya sudah meninggal dua tahun lalu dan sampai saat ini Irwan masih tidak bisa melupakan semuanya dan setiap minggu akan berkunjung ke makam istrinya dengan sebuket bunga. Irwan adalah pensiunan PNS.
Uang pensiunannya saja sudah lebih dari cukup untuknya hidup sehari-hari. Biasanya, Tiwi akan mengirimkan uang kepadanya lima ratus ribua tiap bulannya. Sedangkan dari adik laki-lakii Tiwi, Irwan selalu menerima lima juta rupiah. Karena memang dia memiliki pekerjaan yang bagus dengan gaji yang bagus pula di perusahaan asing. Apalagi, adik Tiwi itu masih lajang sampai saat ini.
Beruntung mereka terlahir dar keluarga yang saling sayang menyayangi dan saling melindungi. Sehingga, meski pun mereka berjauhan akan tetapi mereka masih selalu sering berkirim kabar dan berkirim uang jajan satu sama yang lainnya.
“Pa, Caca udah bangun nih. Dia nangis, aku buatin s**u dulu. nanti aku telpon Papa lagi kalau mereka udah tidur.” Tiwi berkata sambil berusaha menenangkan Caca yang mulai rewel.
“Ya udah, nggak apa-apa. Nanti aja kalau kamu udah ada rencana untuk menerima tawaran dari om Hendri itu. papa tunggu kabar baiknya, ya. Pikirkan masa depanmu dan anak-anakmu juga. Nggak baik, selamanya bergantung pada suamimu itu. Terkadang, laki-laki kalau udah banyak uang dan jabatan tinggi, suka lupa sama anak istri,” ungkap Irwan memberikan nasihat dan pengingatnya kepada Tiwi.
“Iya, Pa. Sejauh ini bang Wendi masih aman,” ucap Tiwi yang lagi-lagi berbohong kepada Irwan.
Setelah pembahasan serius antara ayah dan anak itu, panggilan telepon pun terputus. Tiwi kembali sibuk mengurus dua bayi kembarnya yang sudah bangun dari istirahat siang. mereka seperti merasa bahwa saat ini suasana hati Tiwi sedang tidak nyaman. Sehingga, mereka pun tidak nyaman dalam tidurnya. Biasanya, mereka akan tidur lama hingga tiga atau empat jam.
“Sayang … Mama nggak tau sekarang harus gimana. Papa kalian sepertinya memang udah mengkhianati kita. Mama nggak bisa bertahan dengan orang yang udah berkhianat sama kita. Kalau kesalahan lain yang dia lakukan, mungkin Mama masih bisa memaafkan,” ungkap Tiwi dengan sendu sambil tetap berusaha mendiamkan anaknya yang menangis.