Air mata tak terasa menetes dan membuat Tiwi harus membuang muka agar tidak terlihat oleh Wendi. Tiwi juga tidak mau dianggap sebagai wanita cengeng lagi di depan Wendi, dan mendapatkan kata-kata kasar lagi seperti tadi dan sebelum-sebelumnya.
“Namanya juga punya dua anak batita, Bang. Masih ASI dan semuanya aku yang ngerjain sendiri. Masih bisa hidup dengan waras aja, aku udah bersyukur banget sampai saat ini. Nggak masalah badan harus kurus asal tetap sehat dan bisa menjaga kedua anak kembar ini dengan baik.”
“Kamu mengeluh sekarang? Kamu protes karena melakuan pekerjaan rumah dan menjaga anak sendiri? Itu udah tugas dan kewajiban kamu sebagai wanita!” bentak Wendi sembari membalikkan badan Tiwi dan mengarahkan telunjuk tepat di depan hidung Tiwi yang bangir.
Dada Tiwi terasa sesak karena perlakuan Wendi dari hari ke hari semakin menjadi. Tidak ada lagi sikap manis dan juga kelembutan pada sikap Wendi kepada Tiwi kecuali di depan kedua orang Tiwi yang terkadang datang berkunjung.
Rumah yang mereka tempati juga adalah pemberian dari orang tua Tiwi karena tidak tega jika anaknya terus berpindah antara satu kontrakan ke kontrakan lain dengan masalah berbeda.
“Sakit, Bang! Jangan bersikap kasar padaku!” bentak Tiwi dengan suara nyaring dan berani.
“Udah berani melawan ya sekarang! Hebat banget kamu!”
Wendi mencengkram rahang Tiwi dengan kasar dan kemudian menekannya dengan kuat. Sekali lagi, Tiwi meringis kesakitan dan berusaha menahan air matanya. Ia tidak mau kelihatan sebagai wanita lemah lagi di depan Wendi. Sudah beberapa bulan ini dia tertekan perasaan dan batin atas sikap suami yang baru tiga tahun menikahinya itu.
Tiwi harus kuat sekarang dan harus bisa membela dirinya jika memang dia tidak bersalah. Ia sama sekali tidak bermaksud untuk membangkang dan durhaka pada suaminya itu. Hanya saja, Tiwi sudah muak diperlakukan tidak sopan dan baik seperti itu oleh Wendi. Membuat mentalnya jatuh dan terpuruk padahal ia berjuang mati-matian untuk terus menjaga kewarasannya.
Mempunyai anak satu dan melakukan semua pekerjaan rumah sendiri saja, sudah pasti membuat para ibu muda sedikit stress. Belum lagi menghadapi sikap suami yang seperti itu. Tiwi justru harus menjaga dan mengurus kedua anak kembarnya dan harus mendapatkan perlakuan seperti itu dari Wendi.
“Bang … lepas!” bentak Tiwi sekali lagi dan dengan tegas dan menatap nyalang pada mata Wendi.
Sejenak Wendi terkesip karena wanita yang biasanya penurut dan lemah itu, sekarang berani bicara dengan menggeram kepadanya. Lalu menatap matanya dengan tajam seolah akan masuk dan menusuk ke dalam bola mata Wendi saat ini juga. Reflek, Wendi melepaskan cengkraman tangannya di rahang Tiwi.
“Pulang kerja nanti … tolong mampir ke apotik, Bang!” ucap Tiwi dengan suara yang sendu dan tertunduk sembari menahan rasa sakitnya.
Tiwi terpaksa minta tolong pada Wendi karena memang ia merasa tidak enak badan karena kurang istirahat semalam. Jadi, ia tidak berani membawa si kembar keluar menggunakan sepeda motor. Apalagi meninggalkan mereka berdua di rumah saat tidur.
“Ah! Tolong lagi … tolong lagi … nggak bisa ya sehari aja nggak minta tolong sama aku?” tanya Wendi kesal lalu berjalan pergi.
“Ini mungkin akan menjadi minta tolongku yang terakhir!” gumam Tiwi yang tentu saja tidak lagi didengar oleh Wendi yang sudah berlalu dari hadapannya dan meninggalkan Tiwi dengan luka hati dan perasaan. Belum lagi rasa sakit akibat cengkraman di rahangnya yang tadi dilakukan oleh Wendi.
Meskipun sakit dan rasanya dia tidak semangat melakukan apa pun, tapi tugasnya sebagai seorang istri dan ibu sudah menunggu. Dan tentu saja Tiwi tidak bisa untuk tidak melakukan semua tugasnya itu. Kalau tidak, Wendi akan semakin mengamuk saat pulang bekerja nanti.
Sudah tengah hari dan Tiwi masih asik dengan pekerjaan rumahnya. Ia juga menyelingi dengan menjaga si kembar agar mereka tetap anteng dan aman selama ditinggal oleh Tiwi. Setelah Tiwi selesai mengerjakan semuanya, baik membersihkan rumah dan juga memasak untuk makan siangnya dan si kembar.
Prang!
“Ya ampun! Kok bisa jatuh foto pernikahan aku sama bang Wendi?” tanya Tiwi bernada kaget.
Ia sedang menemani si kembar bermain di ruang keluarga, saat tiba-tiba saja foto pernikahan dirinya dengan Wendi yang sudah terpajang di sana selama tiga tahun terjatuh. Foto berukuran besar itu tentu saja tidak akan mudah tertiup angin jika alasan terjatuhnya adalah karena terpaan angin yang masuk dari pintu samping yang memang sedang terbuka lebar saat ini.
“Tunggu di sini sebentar, ya Sayang. Mama mau beresin belingnya dulu, nanti kalian kena beling.” Tiwi berkata kepada sepasang anak kembarnya yang tengah bermain di atas karput bulu sarfur yang tebal.
Mereka seperti mengerti dengang yang Tiwi katakan. Sehingga, tidak satu pun dari mereka yang rewel ketika Tiwi beranjak menjauh dari tempat mereka duduk saat ini.
“Nggak mungkin kena angin kan? Biasanya juga pintu samping aku buka dan angin masuk terus. Nggak pernah ada yang jatuh selama ini.” Tiwi masih berbicara sendiri sambil terus memunguti potongan bingkai dan kaca yang besar.
Lalu, Tiwi membersihkan serpihan kaca dengan menyapu lantai lalu menggunakan penyedot debu juga agar sisa terhalus pun aman dari lantai. Tiwi tidak ingin jika nanti anak-anaknya terkena serpihan beling yang tertinggal di lantai.
“Kok sekarang perasaan aku jadi nggak enak, ya?” tanya Tiwi kepada dirinya sendiri.
Sambil menemani Caca dan Koko bermain, Tiwi menyambar ponselnya dan mencoba untuk menghubungi Wendi. Panggilan itu terhubung, hanya saja Wendi tidak mengangkatnya. Hal ini tentu saja semakin membuat perasaan Tiwi khawatir. Ia takut terjadi hal yang tidak diinginkan kepada suaminya di luar rumah.
“Duh! Kok nggak diangkat sih sama bang Wendi? Apa aku coba telpon Yana aja kali, ya? Semoga bang Wendi baik-baik aja di kerjaannya,” ucap Tiwi lagi dan mencari kontak bernama Yana.
Yana adalah salah satu temannya selama SMA dulu. Namun, Tiwi dan Yana memang beda jurusan saat mereka berkuliah. Yana mengambil jurusan managemen karena menurutnya itu akan lebih memudahkan dirinya dalam mendapatkan pekerjaan setelah wisuda nanti. Dan benar saja, Yana memang langsung diterima bekerja di perusahaan yang ternyata sama dengan tempat Wendi bekerja.
Selama ini, bisa dibilang bahwa Tiwi sama sekali tidak pernah bertanya tentang suaminya di tempat kerja kepada Yana. Menurutnya, itu sama sekali tidak penting dan hanya membuat harga diri Wendi rendah dalam pandangan temannya.
“Halo, Yan. Kamu lagi di mana sekarang?” tanya Tiwi setelah panggilan terhubung itu diangkat oleh Yana.
“Hai, Wi. Aku di kantor lah sekarang. Udah lama nggak ketemu, kangen nih!” sahut Yana dengan nada riang karena memang sudah tiga bulan ini mereka tidak bertemu karena sama-sama sibuk.
“Aku juga kangen berat sama kamu, Yan. Tapi … boleh nggak aku minta tolong sama kamu sekarang?” tanya Tiwi nekat dan tak tunggu lama lagi.
“Minta tolong apa, Wi? Kalau bisa, aku pasti bakalan tolongin kamu kok.” Yana berkata.
Tentu saja Yana bersungguh-sungguh mengatakan hal itu kepada Tiwi. Mereka berdua adalah sahabat lama, yang memang sekarang menjadi sangat jarang bertemu karena kesibukan mereka masing-masing. Apalagi Tiwi yang benar-benar tidak ada waktu lagi untuk sekedar nongkrong di luar semenjak si kembar bertambah besar.
“Kamu liat bang Wendi nggak di kantor? Perasaan aku kok jadi nggak enak, ya. Soalnya tadi foto pernikahan kami jatuh dan pecah. Aku telpon juga nggak diangkat dari tadi sama dia. Aku khawatir banget kalau dia sampai kenapa napa, Yan. Tolongin aku, dong!” ungkap Tiwi yang terdengar benar-benar khawatir.
“Harusnya sih ada di kantor saat ini. Soalnya bakalan ada tim audit yang datang dan memeriksa semua pekerjaan orang kantor hari ini. Tapi, kalau kamu ragu aku bisa bantu cek ke ruangannya dan bilang kalau kamu nelpon dia. Gimana?” tanya Yana memberikan solusi kepada Tiwi.
“Kalau kamu nggak keberatan, seperti itu aja deh Yan. Aku benar-benar khawatir sekarang,” jawab Tiwi pasrah dan merasa tidak punya pilihan lain lagi sekarang.
“Oke. Bentar, ya. Aku ke ruangan dia dulu buat mastiin. Telponnya mau dimatiin atau dibiarin aja nih?”
“Biarin aja, Yan. Aku juga mau dengar apa kata bang Wendi nanti.”
Yana berdiri dari tempat duduknya dan kemudian memasukkan ponsel yang masih tetap tersambung itu ke dalam saku blazer nya. Yana berjalan dengan elegan menuju ruangan tempat Wendi selalu berada di kantor ini.
Kantor yang memang tidak terlalu besar karena juga karyawannya tidak banyak. Ini hanya kantor cabang yang dibuka agar lebih dekat dengan tempat pemasaran produk mereka di sana.
Di rumahnya, Tiwi menunggu dengan elegan dan mendengar setiap bunyi sepatu hak tinggi yang pasti dikenakan oleh Yana saat ini ketika menyentuh lantai keramik. ‘Andai aja bang Wendi mengizinkan, mungkin sekarang aku juga adalah seorang wanita karir,’ batin Tiwi berkata dengan sedikit rasa sedih.
Ia terus mendengarkan sampai langkah kaki Yana itu terdengar berhenti mendadak. Tiwi berpikir mungkin Yana sudah sampai di depan ruangan Wendi saat ini. Dan itu sebabnya dia sudah tidak melangkah lagi.
“Kenapa kamu kusut begitu, Rin? Abis ngapain kamu di ruangan pak Wendi?” tanya Yana terdengar jelas oleh Tiwi melalui sambungan telpon yang masih menyambung itu.
“Eh … em, nggak apa-apa kok, Mba. Tadi aku hampir kepeleset dan pak Wendi bantuin aku.” Suara perempuan yang asing terdengar pula oleh Tiwi di sana.
“Kok sampai kancing baju kebuka segala nih? Kamu jangan macam-macam, ya! Pak Wendi itu udah punya istri! Istrinya sahabat aku pula. Awas kamu kalau sampai berani menggoda dia!” ancam Yana pada perempuan itu.
“Maaf, Mba. Aku mana berani!” sahut suara wanita yang tak lain adalah Karin itu.
“Suaranya seperti ... ah, apa mungkin dia juga bekerja di tempat bang Wendi bekerja?” tanya Tiwi di dalam hatinya saat ia mendengar suara wanita yang tidak asin baginya.