Akan Selalu Ada

1407 Words
Yana yang kesal karena perdebatannya dengan Karin tadi lantas pergi ke dapur dan mengaduk kopi sachet yang tersedia di sana. Dia masih menggerutu dan tidak menyangka kalau saja Tiwi akan mengalami nasib yang seperti ini. Suaminya direbut oleh seorang pelakor yang tidak lain adalah seorang janda pula. Sepertinya Wendi lebih senang menjandakan istri demi seorang janda. “Hai … ngapain melamun di sini?” tanya suara wanita yang tak lain adalah Karin kepada Yana. “Masih punya muka bicara sama aku? Pergi sana! Muak aku liat wajahmu yang menjijikkan!” sahut Yana dengan kesal dan memutar bola matanya dengan malas. “Duh bahasanya, Mbak. Udah kayak orang paling bener aja sih!” ucap Karin sengaja memancing keributan. “Nggak usah nyari masalah sama aku. Aku nggak ada urusan sama kamu, ya! Cukup kamu jadi seorang janda, dan seharusnya kamu tau gimana nasibnya istri Wendi kalau kamu merebut suaminya seperti itu,” ungkap Yana dengan geram kepada Karin. “Apa salahku, Mba? Pak Wendi sendiri yang mendekat dan menggodaku duluan. Saat dia menawarkan kenikmatan dan uang yang memang sangat aku butuhkan, mana mungkin aku bisa menolaknya!” “Setidaknya, kamu juga perempuan dan kamu masih punya perasaan. Gimana rasanya kalau suami kamu ada main sama orang lain? Gimana rasanya kalau suami kamu selingkuh dan mengkhianati pernikahan kamu? Apalagi, Wendi ada dua anak kembar yang harus dia nafkahi dan berikan perhatian serta kasih sayang. Anak-anaknya masih sangat kecil dan mereka masih butuh sosok orang tua yang lengkap,” ungkap Yana panjang kali lebar kepada Karin supaya wanita itu bisa memahami posisi Tiwi saat ini. Namun, sepertinya Karin memang tidak mendengarkan ucapan Yana. Dia hanya menyunggingkan senyum dan mengambil sekaleng minuman bersoda di dalam lemari pendingin yang memang tersedia di dapur perusahaan itu. Di sana, semua karyawan bebas dan berhak menikmati apa saja yang tersedia. Yana merasa tambah geram dengan sikap Karin yang tidak tahu malu di depannya itu. Karin seolah bangga dengan dirinya yang baru saja ketahuan bermain api dengan suami orang. Karin tidak tampak takut atau canggung sama sekali di depan Yana, dan hal itu semakin membuat Yana merasa yakin bahwa pernikahan Tiwi dengan Wendi tidak akan mulus lagi mulai saat ini. “Kenapa Mba hanya menyalahkan aku? Kalau berani, protes sana sama pak Wendi! Bukan hanya beraninya mengintimidasi aku doang! Aku mah hanya cari aman untuk hidupku dan anakku,” jelas Karin yang langsung melenggang meninggalkan Yana di sana sendirian. ‘Sialan! Kalau bukan karena aku bergantung bekerja di sini, mana mungkin aku akan diam aja. tunggu aja nanti tanggal mainnya! Aku akan mulai cari kerjaan di tempat lain. Nggak sudi aku kerja di sarang pezina seperti ini,” gumam Yana dan mengepalkan tangannya dengan erat. “Ya ampun! Tadi kan lagi telponan sama Tiwi! Apa dia udah dengar semuanya?” tanya Yana yang teringat pada hal itu dan langsung merogoh bagian dalam blazer – nya. Ia melihat layar ponselnya sudah gelap tak bercahaya. Ponsel itu mati total karena kehabisan dayanya dan setidaknya Yana merasa lega. Tiwi tidak mendengar apa yang baru saja dia bicarakan dengan Karin. Namun, tetap saja Yana masih sedikit khawatir karena tidak tahu apakah tadi Tiwi mendengar percakapannya dengan Wendi dan Karin di depan pintu ruangannya atau tidak. Yana segera mencolokkan sambungan carger pada ponselnya dan menunggu sekejab untuk bisa mengaktifkan lagi ponselnya itu. Ia sudah tidak sabar ingin menghubungi Tiwi lagi dan tahu apa saja yang mungkin didengar oleh Tiwi dari percakapan mereka tadi. Tidak berselang lama, tepatnya lima menit kemudian Yana sudah menyalakan lagi ponselnya. Ia langsung menghubungi Tiwi karena merasa tidak enak hati pada sahabatnya itu. Ia juga harus menghibur Tiwi andai Tiwi memang sudah mendengar semua percakapan mereka tadi. Begitu lah yang ada di dalam pikiran Yana saat ini. “Hai, Na. Sorry tadi aku putus sambungan telponnya. Soalnya si kembar tiba-tiba rewel banget. Trus lupa deh nelpon kamu lagi,” sapa Tiwi dari seberang sana dengan nada biasa-biasa saja. “I-iya, Wi. Nggak apa-apa kok, Beb. Namanya juga masih umur segitu, kamu lagi repot-repotnya pasti.” Yana membalas dengan sedikit gugup dan takut salah bicara. “Iya nih. Tapi, aku nikmati aja semuanya karena memang ini adalah jalan hidup yang udah aku pilih. Aku bahagia dengan mereka. Btw, kamu udah dapat info tentang bang Wendi? Dia ada di kantor kan?” tanya Tiwi dengan suara yang dibuta sepenasaran mungkin kepada Yana. Yana merasa bingung bagaimana harus menjelaskan kepada Tiwi hal yang sebenarnya terjadi. Dari pertanyaan Tiwi kepadanya, bisa dipastikan bahwa Tiwi tidak mendengar apa-apa dari percakapan mereka tadi. Itu bisa membuat Tiwi tidak terlalu sakit hati dan kecewa, setidaknya untuk saat ini. “Yana! Kamu masih dengar aku nggak, Say?” tanya Tiwi sengaja memancing kesadaran Yana lagi dari lamunannya. “Iya, Wi. Sorry banget, ya. Aku lagi agak pusing nih, makanya jadi kurang fokus. Suami kamu ada kok di kantor. Tadi pas aku mau nyariin dia, dia lagi meeting sama calon rekan bisnisnya yang baru akan membuka sebuah toko pakaian. Kamu nggak perlu khawatir dan fokus aja sama si kembar, ya.” Yana tidak ada pilihan lain untuk saat ini selain berkata dusta kepada Tiwi. “Alhamdulillah kalau gitu, Beb. Berarti bang Wendi baik-baik aja dan aku hanya terlalu over thinking sama keadaan dia.” “Iya. Nanti aku kabari lagi kalau ada apa-apa, ya. Pokoknya kamu fokus sama Koko dan Caca aja untuk saat ini. Suami diiket gimana pun kalau dia memang buaya, pasti bakal bertingkah juga. Tapi sebebas apa pun kita melepasnya, kalau memang setia dia nggak akan pernah nyakitin istrinya,” ungkap Yana dengan makna tersirat di dalamnya. Tentu saja Tiwi mengerti dengan yang baru saja dikatakan oleh Yana. Dia bersyukur mempunyai sahabat seperti Yana. Tiwi yakin, Yana saat ini bukannya ingin membela Wendi dari perselingkuhan yang sedang dijalani Wendi dengan wanita bernama Karin tadi. Namun, Tiwi yakin bahwa Yana tidak ingin memberitahukannya karena memang Yana merasa tidak tega untuk membuatnya bersedih. Tiwi percaya, Yana akan memberikan bukti yang akurat saat nanti dia mengatakan semua kebenaran itu. Begitu lah sifat Yana selama ini yang tidak pernah mengatakan atau mengadukan sesuatu kepada Tiwi tanpa bukti yang jelas dan akurat. “Makasih banyak, Beb. Selama ini hanya kamu yang paling bisa ngerti dengan keadaan aku dan kamu yang paling memahami aku,” ungkap Tiwi dengan penuh rasa haru. Namun, dia tidak ingin Tiwi sampai tahu kalau sebenarnya dia sudah mendengar semuanya yang tadi terjadi. Tiwi tidak ingin membuat Yana merasa bersalah padanya dan kemudian berusaha menghiburnya. Bagi Tiwi saat ini, dengan hadirnya Koko dan Caca saja sudah cukup membuatnya tetap bersemangat dan juga tersenyum meski hati di dalam terasa sangat sakit. “Iya. Apa sih yang nggak aku lakukan untuk kamu, Cintaku. Pokoknya, kalau ada apa-apa jangan sungkan buat bilang dan cerita ke aku. Aku tau kehidupan rumah tangga itu nggak mudah. Apalagi saat udah punya anak begini. Pasti akan ada hal yang membuat pasangan bertengkar. Aku siap jadi pendengar setia kamu, Beb. Jangan pernah lupa kalau kamu masih punya aku untuk teman cerita dan meluapkan semua masalah atau kesedihanmu.” “Meluapkan kesedihan doang? Pas aku bahagia, nggak perlu dong kasih tau kamu?” tanya Tiwi dengan menggoda Yana lalu tertawa renyah. “Iya. Nggak usah kasih tau aku kalau soal itu. Kamu nikmatin kebahagiaan kamu aja, dan aku akan ikut bahagia dengan semua itu.” “Aaa … kamu sweet banget sih, Yana! Kalau kamu cowok, mungkin aku udah tergoda dan terpikat dengan ucapan kamu nih! Bisa gawat nih hati aku kalau keseringan diginiin sama kamu,” ujar Tiwi yang kemudian tertawa lepas dengan maksud menyembunyikan luka dan air matanya. Ia tidak ingin Yana menjadi curiga dengan nada bicaranya atau gelagatnya saat bicara saat ini. Yana merasa ada yang tidak beres dengan Tiwi saat ini, karena memang ucapan dan tawa Tiwi tidak seperti biasanya. Namun, Yana tidak ingin terlalu berburuk sangka karena bisa saja memang itu hanya perasaannya saja karena baru saja dia memergoki suami sahabatnya itu berselingkuh di kantor dan dia tidak ada keberanian untuk mengatakan semua itu dengan jujur kepada Tiwi. “Kalau aku cowok, dari dulu aku udah lamar kamu dan bukan Wendi tuh yang jadi suami kamu!” ucap Yana dengan gelak tawa yang kemudian terhenti ketika melihat sosok pria tinggi, putih, dan tampan. Berdiri tidak jauh dari tempatnya duduk bersandar sambil menelpon dengan ponsel yang masih dalam keadaan terhubung dengan kabel pengisi daya. “Bapak … silakan!” ucap Yana dengan grogi dan membuat Tiwi di seberang sana mendengar dengan rasa heran dan juga penasaran dengan siapa Yana berbicara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD