Ariana menyambut mama di lobi, yang baru tiba di hotel jam empat sore karena Ariana menjelaskan sedang ikut lelang tender di Denpasar. Ariana membawakan tasnya menuju kamar. Dari lift, Anka sedang berjalan keluar menuju mereka, bersiap pulang. Tak disangka, mama mengenal Anka.
"Pak Anka! Ada kerjaan Pak?" Sapa mama menyalami Anka.
"Iya Mbak, kenal Ariana?"
Mbak? Ariana membatin.
"Mamah saya Pak, kalian kenal?" Ariana bertanya bingung.
"Oh iya, Pak Anka beli Apartemen deket kamu lewat Mamah, Ar." Mama menjelaskan.
"Oh, kebetulan banget. Pak Anka anaknya Pak Gito, Mah, yang lagi incharge di kantorku."
"Saya duluan Mbak, ada janji lagi di Jakarta. Ar, ini saya bawa. Happy weekend, Girls!" Serunya seraya mengangkat berkas perjanjian dengan klien kemarin.
Girls? Hahaha
"Makasi, Pak." Jawab mereka kompak.
***
Mama memesan Jumbrella untuk mereka berdua, juga segelas lemon squash dingin dan margarita. Ariana merebahkan tubuhnya, membiarkan kaki telanjangnya terkena cahaya matahari senja.
Mama duduk di samping Ariana, menyilangkan kakinya dengan anggun, "sama Anka?" tanya mama tanpa membuka kacamata hitamnya.
Ariana menoleh cepat, "nggak!". Ariana mengerti maksud pertanyaan mama.
"Kok semalam kalian sekamar."
"Perutku kram, Anka bawain obat dan makanan. Eh lagi nonton malah ketiduran di sofa. Itu aja." Ariana memain-mainkan bibirnya dengan telunjuk.
Tidak jauh dari tempat Ariana dan mama bercengkrama, ada seorang anak kecil kaukasia berumur 4 tahun sepetinya, dengan rambut keriting merah yang membingkai wajahnya, tersenyum menatap Ariana, memperlihatkan giginya yang ompong dan kembali asyik membangun istana pasir dengan sekop kecil.
"Inget enggak, seumur gitu dulu kamu udah repot banget pengen dandan kayak Mama."
Ariana memalingkan wajahnya, menatap mama, bibirnya menyunggingkan senyum mengingat foto-foto kecilnya yang pernah ditunjukkan mama, wajah kecil yang penuh make up.
"Mama kangen kamu umur segitu, lagi bawel-bawelnya. Ngintilin kemana Mama pergi, sampe ke kamar mandi masih diikuti."
Tawa Ariana lepas, namun hatinya menangkap keanehan dari topik yang tiba-tiba mama angkat.
"Emang sekarang aku gimana?"
"Udah gede, boro-boro ngikutin Mama. Yang ada maunya sendiri, enggak mau tinggal sama Mama lagi."
"Ya ampun Mamah, kenapa jadi mellow , menyek-menyek gini sih hahaha."
"Mama merasa kosong akhir-akhir ini, Yang."
Ariana menggenggam tangan mama, tangan paling kuat yang Ariana tahu. "Kan aku enggak kemana-mana, Mah, aku ada deket Mamah."
"Tapi kamu kayak jauh, dengan kehidupanmu sekarang."
Ariana tiba-tiba berpikir tentang jam kerjanya yang menggila beberapa bulan terakhir. Dia khawatir mama merasa diabaikan oleh putri semata wayangnya.
"Karena kerjaanku yang menyita waktu banget ya, Mah? Nanti aku minta cuti deh sama Anka, kita ke Phuket ya?"
"Bukan, Yang." Mama mengelus wajah putrinya dengan sayang, "ada waktunya kamu dengan duniamu sendiri. Tanpa peran Mama di dalamnya."
"Mamah ngomongnya serem deh, semua duniaku mesti ada Mama. Kalau enggak ada, aku mau curhat ke siapa?"
"Kamu punya Greg untuk berbagi sekarang."
"Mah..." Ariana berdiri kesal, melepaskan genggaman tangan mama. "Mamah kan tahu, aku sama Greg sekadar FWB. No more, no feeling involved. Gak ada rencanaku ke arah sana." Tangannya dilipat di d**a, menatap ombak yang berlarian di hadapannya.
"Segala yang terbaik untukmu, Mama dukung, Yang. Kalau memang kamu mau, jangan seperti Ma--"
"Aku punya Mama, aku enggak perlu orang lain. Greg hanya teman untuk berbagi hasrat." Ariana memotong kata-kata mama. "Aku enggak mau bahas itu lagi ah, yang lain aja deh."
Mama mengangguk menyerah dan menarik lengan putri satu-satunya duduk lagi, "tinggi banget sih kamu, kayak Ayahmu."
Ariana mendelik, ayah adalah topik paling sensitif bagi mereka berdua. Entah itu ayah kandung Ariana maupun ayah mama, yang tega mengusir mama saat mengandung Ariana.
"Mama aneh! Udah jangan bahas yang aneh-aneh, ceritain tentang om Tito. Mama masih?" Ariana mengalihkan topik ke pria yang masih setia menunggu mama, meminta mama menikah dengannya.
"Ya begitu, masih setia menunggu." Jawab mama, tampak enggan membahasnya.
Ariana berbaring, memandang arak-arakan awan yang menjingga dengan semburat warna pink yang cantik. Bayangan wajah Anka yang tertidur di sofa kamarnya semalam menari-nari di benaknya.
Awan-awan yang dipandanginya berubah menjadi sosok Anka yang sedang serius, yang sering Ariana lihat jika sedang bekerja di ruangannya.
Digelengkan kepalanya kuat-kuat, gue kenapa nih? Kok si setan ganteng itu lagi. Aduh.
***
Greg menjemput Ariana di Bandara, mama yang membawa mobil memilih pulang sendiri dan membiarkan Ariana ikut dengan Greg. Mereka pun berpisah di Airport.
"Aku nginep ya." Ariana mengangguk, sembari memasang seatbelt.
"Nonton Fast Furious enggak nungguin aku." Rajuk Ariana manja.
"Hehee, enggak sabar nonton. Nanti kita nonton lagi, janji."
"Kalau weekday enggak bisa diharepin deh sekarang, bos aku resek banget."
"Anaknya pak Gito?" Ariana mengangguk, "Pak Gito kapan kembali?"
"Enggak tahu, Babe, masalahnya si Anka bilang pak Gito sengaja narik dia masuk GFC. Ah udah bad feeling aja aku."
"Stay positive, Sayang, dia tegas ya?"
"Tegas, galak, otoriter, judes, enggak punya sopan santun. Attitude-nya big zero deh. Kalau galak, tapi tau say thankyou masih dimaklumi, Babe, ini mah boro-boro." Ariana menjelaskan dengan berapi-api, Greg tertawa menanggapinya.
Itu yang membuatnya suka dengan Ariana, gadis ini tidak akan menyembunyikan perasaannya. Suka bilang suka, tidak ya tidak. Dicubitnya pipi Ariana dengan gemas.
Ariana sedang asyik bercanda mesra dengan Greg saat ponselnya berdering. Ringtone yang khas untuk panggilan masuk keempat sahabat gesreknya. Didorong tubuh Greg pelan, meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas.
"Halo..." Jawabnya dengan napas terengah-engah.
"Ar, Fira di lantai bawah nih. Di pizza hut."
"Wow, sama siapa?"
"Mas tato--" jawabnya setengah berbisik, "kesini dong Ar, Fira grogi nih berduaan."
"Kok bisa nyangkut di sini? Ada Greg nih."
"Mas tato tinggal di sini juga, Ar. Ajak aja Greg, double date kita." Suara Safira bisik-bisik, Ariana tertawa, tumben-tumbenan Safira keluar jalur ngajak 'double date'.
"Yaudah, gue turun. Tunggu ya."
"Iya cepet!"
Ariana mengajak Greg turun, "sekalian dinner." Greg memberenggut, musnah harapannya untuk bermesraan dengan Ariana. "Ayuk ah, aku juga masih merah. Hahaha." Ariana mencium bahu Greg, yang dibalas dengan menggelitik pinggangnya.
***
Safira sedang mengamati ponsel saat Ariana dan Greg menghampiri.
"Hai!" Ariana mengecup pipi Safira, kemudian Fira menyalami Greg.
"Apa kabar Greg?" Tanya Safira pada pria keturunan Jakarta - Aussie itu.
"Baik. Fira baik?"
"Alhamdulillah."
"Mana mas tatomu, Fir?" Tanya Ariana yang tidak menemukan siapa-siapa bersama Fira.
"Lagi ke toilet. Ar, dia mau nyerah masa. Enggak mau bersaing sama bang Fathan. Ini aku sengaja kesini, untuk bicara lagi sama dia tapi aku tegang banget." Fira menjelaskan singkat.
Ariana mengangguk-angguk sok bijak, sementara Greg memesan, Ariana memberi dukungan pada gadis yang menggunakan hijab hijau tosca malam ini.
"Maaf lama." Suara pria yang Ariana kenal beberapa bulan belakangan ini, menyapa dari balik punggungnya.
Pria itu berjalan dan duduk di sebelah Fira, matanya juga terlihat shock saat bersitatap dengan Ariana namun dengan cepat segera mengontrol kembali tatapannya.
"Kenal sama Fira, Ar?" Tanya Anka, membuat Ariana menutup mulutnya yang sempat menganga tadi.
"Teman saya, Pak." Jawab Ariana, memandangi Fira dan Anka bergantian.
"Lho kalian sudah kenal? Enggak perlu repot-repot ngenalin dong." Fira tersenyum anggun.
"Bos gue, Fir. Kalian--"
"Iya, kami pacaran Ar." Jawab Fira, tanpa ragu. Anka tampak kaget, melirik Fira namun tidak membantah pernyataan gadis berhijab itu.
Ariana shock dua kali.
Pacaran? Lha yang temen bobo Anka kemarin? Bah! Drama macam apa ini? Maksudnya, Fira tau enggak sih Anka tipe pria kayak mana? Seperti dia, David dan Greg. Gilang masih jauh lebih baik dan ditolaknya? Enggak ngerti gue. Ricuh suara hati Ariana.
"Hai." Greg kembali, mengelus kepala Ariana dan menatap Anka, "Greg!" Ia memperkenalkan diri dan menyalaminya.
"Anka."
"So?" Ariana menatap Fira, meminta penjelasan.
"Kami mau mencobanya, Ar. Memperjuangkan hubungan kami." Jawab Fira, mantap.
Anka terlihat risih tapi tidak menyanggah yang dikatakan Fira. Ariana merasa keputusannya turun kesini salah, kalau mereka sudah menentukan untuk berjuang bersama, Fira tidak perlu bantuannya lagi kan? Entah kenapa, hatinya dihinggapi perasaan tak nyaman.
"Bagus dong, sebaiknya begitu. Pelan-pelan beri abah pengertian, orangtua mana sih yang enggak mau lihat anaknya bahagia?" Ariana merasa aneh sendiri dengan kata-katanya.
Demi apa ini Anka, anak bosnya, yang juga bos dia sekarang. Dia nasehatin bosnya sendiri ya Tuhan.
Alan Walker, gue mau faded aja deh sekarang!
•••