"Ca, menurut lo, gue sama Edho bakal longlast nggak?"
Olin ingat, dia pernah bertanya seperti itu pada Caca, salah satu temannya yang sudah ia kenal sejak SMP. Waktu itu, mereka sedang makan bersama karena Olin memberi pajak jadian kepada Caca. Olin sendiri bertanya pada Caca, bukan kepada temannya yang lain karena memang Caca cukup handal untuk menebak jalannya hubungan cinta seseorang. Ibaratnya, Caca sudah seperti seorang cenayang cinta.
Waktu itu, Caca tidak langsung menjawab. Ia berpikir dulu, cukup lama, sambil makan ayam goreng. Sampai pada akhirnya, perempuan itu menjawab, "Enggak. Kayaknya nggak longlast."
"Kenapa emangnya?"
"Kayaknya, lo bakal bosen deh sama si Edho
Waktu itu, Olin menyangkal perkataan Caca. Pikirnya, tidak mungkin dia akan bosan pada Edho. Ya, walaupun Edho bukanlah tipe cowok yang romantis dan bisa dibilang cuek, tapi Olin yakin, ia tidak akan bosan. Itu pikiran Olin yang masih berumur 15 tahun dan masih lugu.
Kenyataannya, apa yang dikatakan oleh Caca terbukti. Perlahan tapi pasti, Olin merasa bahwa hubungannya dengan Edho sangat-sangat flat. Mereka hanya berpacaran sebatas status, sementara tidak ada yang benar-benar berubah dalam interaksi mereka sehari-harinya.
Olin pikir, di kelas dia akan lebih banyak berinteraksi dengan Edho. Nyatanya, Edho masih mengabaikan Olin seperti biasanya. Iya, oke, mereka memang backstreet. Tapi, tidak ada salahnya kan kalau mereka mengobrol biasa sebagai teman? Ini, mereka malah bersikap layaknya musuh alih-alih orang yang pacaran.
Edho juga kelewat cuek. Dalam sehari mereka hanya, berbalas pesan beberapa kali, itupun Edho lama membalas, dan obrolan mereka hanya itu-itu saja, tidak bervariasi sama sekali. Kalau sudah begitu, Olin tentunya jadi jenuh. Kehadiran Edho sebagai pacar seolah ada dan tiada.
Lalu, saat Edho tiba-tiba keluar dari ekskul Paskibra, dan dikeluarkan dari OSIS karena sering menghilang, Olin semakin merasa malas melihat Edho dan perlahan perasaannya pada cowok itu pun memudar hingga tak berbekas.
Di minggu ketiga hubungan tak jelas mereka, akhirnya Olin memutuskan untuk menyerah. Ia pikir, lebih baik diakhiri dengan cepat sebelum nantinya ia semakin terjebak.
Olin : Edho
Malam itu, Olin sengaja mengirimkan pesan pada Edho. Tak disangka, balasan datang dengan cepat. Padahal, terakhir kali Edho membalas pesannya adalah dua hari yang lalu.
Edho : Kenapa, sayang?
Sumpah, Olin dipanggil 'sayang' oleh Edho. Rasanya kayak dipanggil 'sayang' oleh orang yang paling bikin ilfeel setengah mati. Dan ya, itu adalah salah satu bukti kalau Olin sudah tidak menyukai Edho lagi.
Cukup lama Olin berpikir dan merangkai kata-kata minta putus yang baik. Ia tidak ingin putus lalu bermusuhan, tentu saja. Olin jadi kebingungan sendiri. Beberapa kali ia mengetik lalu menghapus pesan yang akan dikirimkannya pada Edho, hingga ia menemukan pesan yang pas.
Olin : Maaf sebelumnya kalau ini tiba-tiba, Dho. Maaf banget ya. Gue nggak maksud nyakitin lo sama sekali atau gimana, tapi kayaknya kita putus aja? Soalnya kan sebentar lagi kita mau ulangan dan gue mau fokus belajar.
Alasan terbasi dan terklise saat minta putus, memang. Tapi setidaknya Olin tidak mengatakan kalau Edho terlalu baik untuknya. Karena kalau dia bilang begitu, alasannya semakin menggelikan.
Olin berharap semoga saja kata-kata minta putusnya itu tidak terlalu jahat.
Edho : Yaudah.
Hanya itu balasan Edho.
Olin : Kita masih temenan kan walau udah putus? Gue nggak mau musuhan soalnya.
Edho : Iya masih.
Olin : Sekali lagi maaf ya, Dho.
Edho tidak membalas lagi. Mungkin ia sakit hati pada Olin, entahlah. Olin juga tidak benar-benar tahu apakah selama ini Edho benar-benar suka padanya atau tidak. Tapi setidaknya, setelah memutuskan hubungan mereka, Olin jadi merasa lega.
Hubungan mereka yang diawali lewat pesan, pada akhirnya berakhir lewat pesan juga.
Kabar buruknya, putus dari Edho, Olin kembali mengingat Rafka.