Part 3. Kok Bisa

1447 Words
"Nah. Udah selesai. Makasih udah bantuin Mama bikin kuenya ya, Sayang. Salah sendiri kue pesenannya kok dihabisin. Jadi bantuin Mama buat lagi, 'kan. Sekarang sana kamu bobo gih, udah malem. Besok katanya mau ada acara di Kampus, 'kan?" ucap Mama Silvia pada putrinya yang kelihatan sudah mengantuk dengan wajahnya yang penuh tepung itu. "Iya, Ma. Besok tuh ada tamu buat seminar tentang..... temanya Via lupa karena menurut Via itu tema yang terlalu panjang dan bertele-tele dan ya, udah pasti bakalan sibuk banget, soalnya Via salah satu penanggung jawab acaranya. Semua kerjaan Via udah beres tapi harus dilakuin pengecekan ulang besok pagi biar semua gak ada yang kurang atau ketinggalan. Doain Via biar gak sampe tipes ya, Ma," ucap Silvia terlihat lemas dan tidak bersemangat saat menceritakan jadwal kegiatannya, membuat Mamanya tahu jika kegiatan kali ini tidak begitu membuat putrinya tertarik. "Husstt... kok ngomongnya gitu, sih? Siapa tahu nanti pengisi seminarnya ganteng, Nak. Kan lumayan. Udah sana cuci muka, tangan dan kakinya, terus bobo. Sekali lagi makasih ya, udah bantuin Mama malem ini. Kamu jadi repot gara-gara Mama. Love you," ucap Mamanya membuat Silvia langsung memeluk Mamanya penuh sayang. "Dari namanya aja, pengisi seminarnya udah tua kok, Ma. Via kurang tertarik sama seminar kali ini tuh karena konsep yang Via ajuin buat seminar gak diterima, Ma. Malah punya Denis yang dipake. Kan nyebelin. Jadinya dia yang jadi ketua panitia dan Via tuh jadi disuruh-suruh mulu. Malah sering banget dia ngomel seolah Via tuh ngelakuin kesalahan, padahal nggak. Terus juga Mama gak usah bilang makasih gitu ah, 'kan Via yang salah karena udah main comot kuenya tadi. Jadi ini bentuk tanggung jawab Via. Yaudah Via mau bobo dulu, ya. Mama juga bobo aja. Beres-beresnya bisa besok. Inget ga boleh capek-capek. Selamat malam Mamaku sayang," ucap Silvia kemudian memberikan kecupan kecil di pipi Mamanya sebagai salam perpisahan sebelum akhirnya melepaskan pelukannya pada Mamanya dan pergi dari sana. "Tetep semangat ya, Nak!!" Mendengar seruan Mamanya menyemangatinya di belakang sana, Via merasa sedikit terhibur karenanya. Ya, Mamanya itu selalu bisa membuat moodnya yang kacau kembali membaik dalam waktu yang singkat. Kini Silvia sudah masuk ke dalam kamarnya dan dengan gerak yang tergesa, dia berlari kecil menuju ranjangnya hingga tanpa sengaja karena ulahnya itu, dia menjatuhkan buku catatan hariannya. "Oh, tidak," keluh Silvia yang memang sudah mengantuk dan ingin segera berbaring nyaman di ranjangnya saat ini. Dengan mata yang terlihat sayu tanda sudah mengantuk berat, Silvia akhirnya mengambil bukunya yang jatuh itu dan ternyata, bukunya itu terbuka tepat pada catatan harian favoritnya di sana. "Rasanya kantukku menghilang setelah melihat sketsa mu, Tuan Tampan. Aku sudah berusaha sebisaku agar kau bisa kembali datang untuk mengisi seminar di kampus semester ini tapi, usahaku ternyata belum berhasil kali ini. Maafkan aku, ya," ucap Silvia sambil terus memandangi sketsa hasil karnyanya sendiri sendiri, yang menunjukkan sosok seorang pria dari arah belakang. Ya, meski hanya lukisan siluet punggung sederhana, Silvia memiliki kesan tersendiri kepada pria itu sejak saat hari itu. Hari di mana dia tidak sengaja mendengar suara berat merdu pria itu saat melafalkan beberapa bagian surat Al Mulk. Meski itu hanya terjadi secara cepat dan sekilas saat keduanya tidak sengaja berpapasan, tapi Silvia terus menerus teringat akan suaranya, dan seolah suara itu sendiri yang tidak mau pergi dari dalam pikirannya. Silvia tahu merupakan sebuah dosa saat mengagumi seseorang yang bukan muhrim secara berlebihan seperti itu tapi, dia masih belum menemukan cara yang tepat untuk berhenti. Itulah mengapa, Silvia ingin kembali bertemu dengan cara yang benar dengan pria bersuara merdu itu. Dengan begitu dia berharap bisa mengubah anggapannya mengenai pria itu. Orang-orang terus menyebutnya tampan, itulah mengapa Silvia akhirnya menjuluki pria itu dengan sebutan Tuan Tampan. Dia sengaja tidak ingin mengetahui nama pria itu karena, dia takut menjadi tak terkendali dan terus menyebut nama pria itu alih-alih mendoakan kedua orang tuanya sendiri di dalam doanya. Itu tidak boleh terjadi. Itu hanya akan menambahkan dosa di buku catatan amalnya nanti. "Sudahlah aku tidur saja. Aku harus mengisi tenagaku hingga penuh untuk menghadapi hari esok yang pasti akan melelahkan sekali," ucap Silvia sendiri kemudian menutup bukunya dan meletakkannya ditempat semula, sebelum akhirnya dia naik ke ranjang dan masuk ke alam mimpi. • • • • • Keesokan harinya... "Makasih ya, Bu. Nanti saya sampaikan salamnya ke Mama. Kalo begitu saya pamit dulu. Assalamualaikum...," "Waalaikumsalam... hati-hati pulangnya ya, Nak," Mendengar suara Mamanya diluar, Silvia langsung saja penasaran dengan siapa gerangan Mamanya itu mengobrol, dan karenanya kakinya tanpa sadar ingin melangkah keluar untuk mengintip tapi, "Mau kemana? Tadi aja katanya buru-buru karena kesiangan. Ini loh sarapan dulu, Via. Itu cuma anak bu Rumi yang ambil pesenan kuenya. Udah sini makan," ucap Abinya menegurnya, membuat Silvia terlihat manyun sebelum akhirnya duduk. "Abi hari ini ada acara apa? Kok kelihatan rapi banget?" tanya Silvia membuat Abinya yang tadinya hendak berdiri karena sudah menyelesaikan sarapannya, menjadi urung. "Abi harus dateng ke pesantren buat jadi pembicara di sana. Kenapa? kamu mau ikut? Ayok," ucap Abinya dengan setengah menggoda, membuat Silvia langsung menggeleng cepat tanda menolak. Ya, selain karena dirinya sendiri sibuk, Silvia menolak ajakan Abinya itu karena dia tidak ingin bertemu dengan seseorang di sana. Dia adalah salah satu guru di pesantren itu beenama Hafidz. Sejak saat pertama kali Silvia datang ke sana untuk menemani Abinya saat itu, rumor dengan cepat tersebar jika Hafidz itu ternyata langsung menaruh hati padanya. Pernah juga Abinya itu mengungkit soal rencana ta'aruf dengan pria itu tapi dengan tegas Silvia menolaknya dengan alasan dia ingin menyelesaikan pendidikannya dan fokus ke sana tanpa memikirkan urusan rumah tangga di waktu yang bersamaan. Membayangkannya saja sudah melelahkan, bukan? "Yaudah kalo gitu Abi pergi duluan ya? Nanti kamu ke kampus dijemput temen, 'kan? Inget jangan pakai angkutan umum dulu sekarang. Lagi bahaya. Abi gak mau kamu kecopetan lagi kayak waktu itu. Iya kalo cuma dicopet, kalo______" "Abi.... istighfar, Bi. Mama pastiin Silvia gak akan naik angkutan umum pas berangkat nanti. Udah sana gih berangkat. Nanti telat loh," ucap Mama Silvia yang datang di waktu yang tepat di sana. "Iya iya, maaf. Yaudah Abi berangkat, ya. Assalamualaikum...," ucap Abi Silvia, membuat wanita cantik itu langsung berinisiatif mencium punggung tangan Abinya, disusul Mamanya yang melakukan hal serupa. "Ati-ati ya, Bi," ucap Mama Silvia sebelum akhirnya kemudian duduk di samping Silvia yang tengah berkutat dengan sarapannya di sana. "Ma... yang ambil pesenan kuenya bu Rumi selama ini tuh selalu anaknya, ya? Dia cowok? Ganteng gak, Ma?" tanya Silvia beruntun pada Mamanya yang langsung mendapat cubitan di pipinya. "Tanyanya kok gitu banget? Kenapa?" ucap Mamanya berbalik tanya di sana. "Ya... dari suaranya tadi Via tuh kayak pernah denger di mana gitu," ucap Silvia terlihat seperti mengingat-ngingat di sana dan, "Via! Via jelek!!!" "Tuh, Tasya udah dateng. Sana berangkat. Udah ga usah dipikirin anaknya bu Rumi. Ya, emang ganteng, sih. Kalo jodoh nanti pasti ada jalannya, Nak. Mau bawa bekal nggak?" ucap Mama Silvia terdengar sedikit menggoda, membuatnya tersenyum kecil dan, "Mama apaan sih. Nggak, ah. Nanti juga di kampus ada konsumsi kok, Ma. Yaudah Via berangkat ke kampus dulu, ya. Assalamualaikum Mama Cantik..," pamit Silvia dengan tak lupa mencium pipi Mamanya di sana sebelum akhirnya berlari keluar untuk menemui temannya yang selalu mau bermurah hati untuk menjemputnya dan berangkat bersama ke kampus setiap harinya. "Hei, Little Bird. Let's go!!" ucap Silvia pada temannya dan selalu begitu sejak dahulu kala, kemudian naik ke jok belakang sambil memakai helmnya di sana. Julukuan 'Little Bird' itu tercipta karena Tasya terlalu berisik untuk seukuran wanita dewasa. Ya... maksud Silvia adalah kapan temannya itu akan menjadi sedikit lebih dewasa? "Oh... rasanya aku sungguh tidak ingin berangkat ke kampus karena seminar ini, kau tau?" ucap Tasya terlihat lebih kesal dari pada dirinya. Percayalah, Denis adalah ketua panitia paling menyebalkan yang pernah ada. Itu karena dia berlaku semena-mena pada semua orang. Itulah mengapa semuanya tidak begitu tertarik dengan seminar kali ini. "Yaya.. aku tahu benar bagaimana perasaanmu tapi, seperti katamu waktu itu, kita harus belajar profesional. Bekerja dengan tanpa memandang pimpinan atau mungkin lingkungan kerja yang buruk jadi, mari kita bersikap profesional, Sayangku. So, Let's go!!" ucap Silvia mencoba menyemangati temannya di saat dia sendiri merasa tidak bersemangat sama sekali. Memang begitulah keahlian semua orang, 'kan? Membahagiakan orang lain terasa lebih mudah dilakukan. "Baiklah, Ratu yang selalu percaya diri, ayo kita pergi ke tempat penuh penderitaan itu. Tapi bisakah jika kita berharap satu hal baik saja terjadi di sana nanti. Mungkin sedikit keajaiban akan membuat hari kita yang suram ini menjadi cerah karenanya," ucap Tasya kemudian menghidupkan mesin motornya dan kemudian mulai melajukan motornya di sana. "Ya. Aku harap juga begitu. Mungkin saja Tuhan akan melakukan sesuatu untuk membuat kita semua menjadi sedikit lebih menyenangkan nantinya. Tapi sebaiknya kita sedikit berharap saja karena jika terlalu banyak berharap maka_____" "Kau akan tersakiti seperti Han Ji Pyeong!!!" Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD