"Lakukan seperti yang ku instruksikan tadi, Silvia. Kenapa kau selalu tidak mau mendengarkan? Kenapa memasangnya di sini? Seharusnya ini ada di depan pintu masuk," ucap Denis berdebat dengan Silvia di atas panggung saat ini.
"Ayolah, Denis. Kata-kata yang kau rangkai dalam temamu ini terlalu panjang dan orang-orang tidak akan sempat membacanya jika kutaruh di sana. Seharusnya kau berterima kasih padaku karena aku tidak membuang tema panjangmu ini. Kutaruh di sini agar jika para penonton mungkin bosan, mereka akan membaca tema panjang ini jika mau. Jangan campur adukkan masalah pribadi dalam acara penting seperti ini, Denis. Aku sedang tidak ingin bertengkar denganmu," ucap Silvia dengan tegas kemudian hendak pergi dari sana karena meladeni Denis hanya akan membuatnya terus emosi.
"Tunggu sebentar. Apa maksudmu tadi? Dengar... jangan mentang-mentang aku pernah menaruh hati padamu jadi kau berpikir aku akan menjadi lunak dan mengistimewakan dirimu dari yang lainnya? Tidak. Aku menganggap semua orang sama di sini. Dan ya, perlu kau tahu jika aku sudah memiliki wanita yang jauh lebih baik dari pada dirimu yang sok jual mahal ini. Jadi bukan aku yang memiliki masalah di sini. Itu adalah kau. Kau yang salah tapi kau berbalik menyalahkan. Apakah kau merasa menyesal setelah menolakku? Aku benar, 'kan? Itu adalah masalahmu dan aku tidak peduli lagi. Sekarang, lakukan semuanya seperti yang kuinstruksikan. Taruh ini diluar. Mengerti? Cepat lakukan sekarang juga," ucap Denis dengan suara yang lantang dan keras membuat keduanya saat ini menjadi tontonan banyak orang di sana.
Silvia sendiri merasa ingin menangis mendengar bagaimana setiap k********r yang diucapkan Denis padanya itu. Sungguh, semua yang dikatakan Denis itu terdengar jahat sekali. Selalu seperti itu. Setelah hari itu, hari di mana dengan baik-baik Silvia menolak ajakan pacaran Denis karena memang ya, tidak ada istilah pacaran dalam islam dan juga, selain itu mengingat sifat pria itu yang mudah berapi-api dan terpancing emosi bahkan karena hal sepele sekalipun, membuat Silvia enggan bahkan untuk hanya berbincang dengannya.
"Kamu udah keterlaluan. Kamu pikir dengan mempermalukan aku di depan umum kayak gini, kamu udah menang gitu? Ini bukan sikap seorang pria sama sekali Denis. Dan perlu kau tahu juga jika aku sama sekali tidak menyesal telah menolakmu, kau tahu? Menolakmu adalah keputusan yang tepat karena kurasa tidak akan ada satupun wanita di dunia yang akan tahan menghadapi sikap kasarmu ini. Jika aku tidak becus dengan pekerjaanku maka, lakukan saja semuanya sendiri. Jangan menyuruh dan memerintahku lagi," ucap Silvia menumpahkan segala isi hatinya di sana, sebelum akhirnya langsung pergi dari sana menerobos kerumunan orang yang menonton mereka.
"Apa yang kalian lihat?!!! Kembali bekerja!!!" teriak Denis membubarkan teman-temannya di sana.
"Huuuuuu!!!!"
"Huuuu!!"
Semua orang terlihat berseru ke arah Denis di sana tanda jika mereka semua tidak begitu menyukai bagaimana cara pria itu memperlakukan Silvia tadi.
Silvia sendiri terus berlari tanpa arah dengan air mata yang sekuat tenaga sudah coba ditahannya sejak tadi. Dia tidak tahu akan ke mana sekarang tapi dia benar-benar butuh waktu sendiri untuk menangis sebentar saja, agar dia bisa merasa sedikit lega.
Akhirnya Silvia berhenti di taman belakang ruangan Dosen yang cukup asri dan sangat sepi, mengingat jarang sekali ada mahasiswa yang ke sana karena ya, tahu sendiri bagaimana jadinya jika berurusan dengan Dosen. Tapi itu tidak berlaku bagi Silvia. Dia merupakan salah satu mahasiswa pandai juga rajin dan bisa dikatakan juga dia favorit para Dosen jadi, dia cukup berani ke sana bahkan jika harus sendirian saja.
Silvia akhirnya menumpahkan air matanya saat setelah dia duduk di salah satu bangku di bawah pohon rindang di sana.
'Kenapa dia selalu mengungkit hal yang terjadi di masa lalu? Kenapa dia terus berusaha balas dendam padaku? Apa yang kulakukan padanya dulu begitu menyakiti harga dirinya? Aku sudah menolaknya dengan baik dan juga dengan alasan yang cukup logis. Tapi kenapa dia seolah sangat terluka karenanya? Apakah perbuatanku padanya sungguh sebuah kesalahan yang fatal? Aku tidak mengerti sama sekali,' batin Silvia dalam hati sambil terus menangis.
"Syukurlah ternyata dugaanku salah. Kukira ada hantu di taman ini. Ternyata ada seorang wanita yang menangis rupanya. Tunggu? Kau bukan hantu, 'kan?" ucap seorang pria secara tiba-tiba sudah ada di dekat Silvia di sana.
Silvia yang panik langsung berusaha menghapus sisa air matanya dan kemudian berdiri.
"Tidak-tidak. Silahkan duduk. Maaf sudah mengganggu. Biar aku yang pergi," ucap pria itu lagi kepada Silvia yang masih terus menunduk di sana mungkin karena malu setelah tertangkap basah menangis seperti tadi.
"Tidak. Mungkin aku saja yang cengeng. Maaf karena sudah_____ Kau?!" ucap Silvia terlihat terkejut sesaat setelah melihat siapa pria yang ada di depannya itu.
"Oh hai?! Kita bertemu lagi rupanya. Sepertinya kau Mahasiswi di sini, ya? Salam kenal. Namaku____"
"Salam kenal tapi maaf, aku tidak membawa payungmu saat ini jadi, aku tidak bisa mengembalikannya sekarang," ucap Silvia cepat hampir tanpa jeda nafas, membuat pria yang ada didepannya itu terlihat tertawa kecil.
"Wanita itu memang aneh. Baru sesaat tadi kau menangis dan sekarang terlihat kebingungan membicarakan payung? Sudahlah, ambil saja payungnya. Aku juga tidak berniat mengambil payung itu lagi. Tenang saja ya. Ini. Pakai sapu tanganku. Jangan menghapus air mata dengan tangan kosong. Itu akan membuat wajahmu merah-merah nantinya," ucap pria itu sambil menyodorkan sapu tangan pada Silvia di sana.
"Tidak, terima kasih. Rasanya kau selalu saja menolongku setiap kali kita bertemu. Tapi aku sudah baik-baik saja. Kalau begitu aku permisi dulu. Banyak pekerjaan yang harus kulakukan sekarang," ucap Silvia kemudian langsung pergi begitu saja meninggalkan pria itu sendiri di sana.
Setelah kepergian Silvia, pria itu nampak tersenyum kecil karena terasa seperti, wanita yang ditemuinya itu terus saja menghindarinya.
"Sebenarnya apa yang salah denganku? Apa aku menakutkan? Atau apa aku terlihat seperti orang jahat? Kenapa dia terus menghindar dan menolak saat aku hanya ingin membantu saja? Sudahlah. Lebih baik aku kembali masuk dan membaca materi sekali lagi, agar nanti aku bisa semakin lancar saat berbicara di depan banyak orang. Oh... aku gugup sekali," ucap Pria itu sendiri sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali masuk ke dalam ruang Dosen kembali.
Skip...
"Kau dari mana saja? Aku dengar dari anak-anak kau habis bertengkar dengan Denis tadi. Kau tidak apa-apa, 'kan? Tunggu?! Kau habis menangis, ya? Kali ini Denis Wiraguna itu harus diberi pelajaran, Sil," ucap Tasya saat Silvia baru saja kembali ke ruang tempat seminar yang sepertinya akan berlangsung sebentar lagi.
"Sudahlah, biarkan saja. Tapi tunggu?! Kenapa aku merasa ada yang beda di ruangan ini? Tidak seperti saat kutinggalkan terakhir tadi. Ada apa ini?" tanya Silvia beruntun pada sahabatnya itu dan,
"Kau tahu? Kurasa Tuhan merasa kasihan setelah melihatmu menangis tadi dan karenanya, dia mau bermurah hati untuk memberikan apa yang kau mau sebagai hadiah untuk menghiburmu. Lihatlah, tema yang denis buat sekarang berganti menjadi tema yang kau ajukan dalam proposalmu, 'kan? Itu artinya______"
"Pembicara yang kupilih akan datang ke sini?!! Sungguh?!"
Bersambung...