"Kayaknya kamu sama Alfian tuh ada sesuatu yang gak biasa gitu deh, Nak. Dilihat dari jauh tadi tuh, kalian cocok banget. Udah kayak pasangan suami istri tau nggak. Terus masa ketemu kebetulan terus-terusan, sih? Itu kebetulan apa takdir?" ucap Mamanya saat kini keduanya tengah merapikan barang-barang belanjaan dan memasukkannya ke dalam kulkas dan lemari penyimpanan di sana.
"Ah, Mama bisa aja. Kenapa semua orang ngiranya kami suami istri sih? Ibu hamil yang tadi juga gitu. Makanya Via sama Pak Alfi suruh elus perutnya barengan karena katanya dia ngidam tadi. Biar anaknya ganteng dan cantik kayak kami. Terus ya, Ma, pas Via elus perut ibu itu, tuh, dede bayinya nendang. Kayak nyapa gitu. Kalo ditendang gitu sakit gak sih, Ma? Maha Besar Tuhan Sang Pencipta, bisa buat dede bayi hidup dan tumbuh di dalem perut ibu yang ruangnya terbatas kayak gitu," ucap Silvia yang memang terus mengingat momen tendangan dede bayi di dalam perut tadi.
"Gimana jelasinnya ya, Nak. Mama sendiri udah lupa gimana rasanya ditendang dede bayi. Seingat Mama, nih, kayaknya nggak sakit deh. Rasanya tuh lebih kayak, kaget dikit aja. Tapi tendangan dede bayi tuh bagus. Itu tandanya dia tumbuh sehat dan aktif di dalam sana. Dulu mama inget banget, pas Abi bacain surat Al-Kahfi tuh kamu seneng banget di dalem perut Mama sampe nendang-nendang mulu sampai Abi selesai bacanya. Terbukti, 'kan? Sampai sekarang itu masih jadi favorit kamu sampai sekarang," ucap Mamanya membuat Silvia mengangguk cepat tanda setuju.
"Menurut Mama tadi, Pak Alfian orang kayak apa? Ya... bukannya apa-apa. Via cuma_____"
"Dia kelihatannya baik kok. Terus sopan juga dan gak basa-basi pula. Meskipun tadi setengah bercanda, Alfian tadi berani minta kamu langsung sama Mama, 'kan? Itu artinya dia bukan tipe orang yang suka bermain wanita dan sering berhubungan dengan wanita. Pria seperti Alfian itu adalah tipe pria yang akan langsung mengajak satu orang wanita yang menurutnya tepat untuk langsung diajaknya menikah. Begitulah menurut Mama. Masih kurang?" ucap Mamanya menjelaskan dan menjawab pertanyaan Silvia dengan jelas dan cukup lengkap, membuat Silvia merasa sedikit malu.
"Dari jawaban Mama tadi, kayaknya Mama udah suka banget sama dia, ya? Via cuma mau ingetin nih, jangan ngarep terlalu banyak. Nanti kalo ternyata Via sama pak Alfian gak jodoh, Mama kecewa lagi," ucap Silvia membuat Mamanya tertawa kecil.
"Iya-iya. Mama paham. Terus yang katanya yang Hana mau nikah tuh kapan, Nak? Mama sama Abi titip salam aja, ya. Dari dulu Hana tuh tegas dan cepet banget kalo ambil keputusan, ya. Gak pernah ada ragu-ragunya. Mama suka, deh," ucap Mamanya membuat Silvia menjadi cemberut.
"Mama nyindir Via, nih? Kan Via tuh gak mau nikah dulu karena______"
"Siapa yang nyindir? Kan bener Hana emang kayak gitu, Nak. Mama suka liat gaya pertemanan kalian. Hana yang periang dan rame orangnya. Ketemu kamu yang kalem dan lembut. Cocok banget. Itulah kenapa pertemanan kalian langgeng sampai sekarang. Rencananya kamu bakal berangkat sama siapa? Naik apa?" ucap Mamanya terlihat sedikit khawatir, mengingat rumah teman putrinya itu tidaklah dekat.
"Gak tau, Ma. Nanti Via pesen taksi online ajalah. Pernikahannya masih 9 hari lagi, kok. Masih lama. Via lagi bingung mikirin kado apa yang bagus buat dia. Selera kami kan beda, Ma," ucap Silvia terlihat bingung, membuat Mamanya juga jadi ikut berpikir di sana.
"Hadiah yang meski gak mahal tapi maknanya indah, Nak. Apa, ya?" ucap Mamanya memberikan gambaran dan ide, membuat Silvia kini terlihat berpikir lebih keras lagi.
"Eum... gak tau ah, Via jadi bingung. Dipikirin nanti aja. Udah selesai semua barang belanjaannya ditata, 'kan? Via masuk kamar dulu ya, Ma. Mau ngerjain tugas," ucap Silvia yang dijawab anggukkan tanda setuju oleh Mamanya.
"Makasih udah bantuin Mama, ya. Nanti Mama bantuin mikir, deh. Kalo makan siangnya udah siap, nanti Mama panggil," ucap Mamanya terdengar perhatian, membuat Silvia tersenyum kecil dan langsung bergegas masuk ke dalam kamarnya di sana.
"Huh... capeknya," ucap Silvia saat kini sudah berbaring nyaman di ranjangnya. Silvia menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan kosong awalnya tapi, saat mengingat kejadian di mana dia dianggap sebagai pasangan suami istri, membuatnya menjadi tersenyum malu dan refleks menutup wajahnya dengan kedua tangan.
"Kenapa denganku ini? Dan ya, kenapa sejak kemarin dia terus saja datang saat aku memerlukan bantuan? Apakah dia sengaja kau kirim untukku Tuhan? Apakah dia hanya sebatas penolong ataukah, kau mengirimkannya untuk sekalian menjagaku kedepannya nanti? Apapun itu, terima kasih atas perhatiannya. Aku merasa sangat-sangat senang karenanya," ucap Silvia sendiri dengan suara pelan tapi, siapa yang menyangka jika Abinya bisa mendengar semua itu, lewat celah pintu yang tak tertutup rapat di sana.
Mendengar ucapan putrinya itu, Abi Silvia merasa ada yang tidak benar. Ya, jelas sekali jika putrinya itu sudah menaruh hati pada sosok laki-laki. Jika dibiarkan terus menerus, dia takut putrinya itu akan berbuat lebih jauh dan lebih nekad lagi. Karenanya Abi Silvia sudah bertekad akan melakukan sesuatu kepada putrinya itu.
'Sepertinya aku harus mencarikan calon yang tepat untuknya. Jika melakukan ta'aruf sekarang dan baru menikah nanti, bukankah tidak masalah? Yang terpenting, aku sudah bisa merasa tenang, saat putriku satu-satunya nanti berada di tangan yang benar,'
• • • • •
"Papa udah dimaafin belum sama Mama? Niat Papa tuh baik, loh Ma. Papa sayang banget sama Mama," ucap Alfian saat kini sedang duduk di ruang makan sambil menunggu Mamanya yang sedang memasak makan malam.
"Kalian ini memang kompak banget, ya. Kalo Alfi yang buat salah, Papa akan bujikin Mama, kalo Papa salah, Alfi yang bujukin Mama. Tapi Mama sama Papa udah baikan kok. Soalnya Mama dikasih hadiah cincin ini semalem. Cantik, nggak?" ucap Mamanya sambil menunjukkan cincin yang melingkar indah di jarinya, membuat Alfian mengangguk pelan.
"Bagus kok. Wah... kalo istri marah tuh berarti obatnya kado perhiasan ya, Ma?" tanya Alfian polos, membuat Mamanya tertawa kecil sambil melanjutkan acara memasaknya.
"Ya nggak gitu juga, sih. Intinya kalau suami kami juga mau meminta maaf dengan tulus, gitu aja udah cukup, kok. Hadiah mah, anggep aja poin tambahannya," ucap Mamanya membuat Alfian mengangguk kecil tanda mengerti.
"Gimana progres pembangunan rumah kamu, Nak? Ada masalah lagi atau semuanya lancar? Kira-kira udah berapa persen progresnya?" tanya Mamanya beruntun karena ya, mengingat Alfian melakukan semuanya tentang pembangunan rumah itu sendiri dan tidak ingin dibantu sama sekali. Mulai dari memilih arsitek, lahan, dan segalanya. Alfian mengatakan ingin mengurus semuanya sendiri tanpa ingin merepotkan kedua orang tuanya.
"Sebenernya tuh, proses pembangunan rumahnya udah 70% mau jadi tapi, Alfian suruh arsitek dan para pekerja lainnya buat gak usah buru-buru pas garap. Takutnya kalo buru-buru nanti hasilnya gak maksimal gitu, Ma. Lelah banget rasanya nyiapin rumah yang nyaman buat calon istri Alfi nantinya. Ya, semoga nanti jadinya sesuai sama yang Alfi harapkan," ucap Alfian terlihat kurang bersemangat saat menceritakan progres pembangunan rumahnya, membuat Mamanya sendiri tahu benar kenapa putranya seperti itu.
"Amin. Mama doain semuanya berjalan lancar dan gak ada halangan lagi kedepannya. Semoga rumah impian yang kamu bangun untuk keluarga kecil kamu itu nanti, jadi dalam kondisi baik dan sesuai sama keinginan kamu, ya. Oh iya, Mama lupa. Ada undangan yang dateng buat kamu kemarin. Ada di laci deket pintu depan. Coba ambil, deh," ucap Mamanya membuat Alfian kemudian bangun dan berjalan ke depan untuk mengambil undangan yang dimaksud Mamanya itu.
"Apa ini, ya? Dari siapa?" ucap Alfian kemudian membuka undangan yang tertera namanya di sana dan,
"Akmal? Akmal mau nikah?!!!"
Alfian terlihat berlari kecil kembali ke arah dapur untuk menemui Mamanya dan mengonfirmasi hal itu, apakah benar teman dekatnya itu akan menikah atau tidak karena ya, kedua Mama mereka sudah bersahabat sejak lama.
"Ma! Mama!! Bener ini Akmal nikah? Kok Alfian baru tahu sih? Kapan dia deket sama ceweknya? Kok cepet banget?" tanya Alfian beruntun pada Mamanya, membuat Mamanya tertawa kecil dan mengangguk pelan.
"Iya. Bener. Mama sengaja gak mau kasih tahu kamu biar kamunya kaget aja. Masa kamu kalah sama Akmal yang selalu kamu sebut culun dan kutu buku itu, sih? Nanti kamu baru nikah, Akmal udah punya anak, Fi? Gak malu? Dulu aja waktu sekolah kamu menang terus dari dia. Selalu juara diatasnya. Tapi liat di kehidupan nyata, kamu gak ada apa-apanya. Kapan dong ini Mama punya menantunya? Mumpung Mama sama Papa masih ada umurnya, Fi. Kamu Mama daftarin ta'aruf aja, ya? Siapa tahu nanti bisa_____"
"Gak mau, ah. Kok jadi buru-buruin Alfian gitu, sih. Rejeki, jodoh dan maut kan ada di tangan Tuhan, Ma. Kita gak boleh buru-buruin gitu. Mungkin Alfi disuruh selesaiin pembangunan rumah dulu sebelum nanti nikah. Udah, Mama tenang aja. Anak ganteng Mama ini bukannya gak laku, kok. Cuma sedang menunda dan lagi dalam tahap pencarian. Cari wanita yang mirip-mirip Mama tuh susah loh. Yang cerewet, pinter masak, terus selalu kelihatan cantik setiap saat kayak Mama sekarang kan langka. Mama yang sabar, ya," ucap Alfian yang selalu mengeluarkan jurusnya memuji Mamanya saat dia terjepit dalam situasi yang kurang menguntungkan.
"Yaudah iya. Semoga sabarnya Mama nih, dikasih hadiah wanita muslimah kayak Silvia buat jadi menantu Mama nanti. Ah, pasti seneng banget," ucap Mama Alfian dengan wajahnya yang terlihat riang gembira, membuat Alfian tersenyum kecil.
"Amin. Insyaallah ya, Ma. Tapi soal undangan dari Akmal ini, kayaknya Alfi gak bisa dateng, deh. Alfi nanti titip salam aja buat dia, ya," ucap Alfian yang langsung mendapat lemparan roti dari Mamanya di sana.
"Titip salam? Kamu sama temen deket yang baru aja nikah gak mau kasih selamat sendiri? Tega bener kamu? Kalo Mama jadi Akmal, Mama bakal bales kamu nanti dengan gak dateng ke acara pernikahan kamu. Biar tau rasa. Emangnya kamu mau ke mana kok gak bisa dateng segala? Gak usah sok sibuk gitu, ah," ucap Mamanya memarahinya yang berarti mau tidak mau Alfian harus datang bagaimanapun caranya ke acara pernikahan teman dekatnya itu.
"Ya, sebenarnya tuh Alfian harus keluar kota di tanggal-tanggal ini. Alfian ada acara di Bandung dan kayaknya harus stay 2 hari di sana. Lagian ya, Ma, dateng ke acara pernikahan tuh pasti nanti yang ditanyain juga 'mana pasangannya?' Kan Alfi males juga jawabnya," ucap Alfian kemudian dengan satai memakan roti tawar yang dilempar ke arahnya oleh Mamanya tadi.
"Ya... solusinya tuh gampang aja, 'kan? Kamu cuma perlu______"
"Udah. Jangan mulai lagi. Mama nih udah kayak netizen tau, nggak. Kalo orang jomblo suruh cepet nikah, nanti kalo udah nikah ditagih terus kapan punya anak, terus udah punya anak satu ditanya kapan nambah anak lagi. Iya udah iya, Alfi nakal dateng ke acara nikahannya Akmal. Udah lega Mama dengernya sekarang? Udah jangan nyuruh-nyuruh Alfi nikah mulu. Kesel Alfian lama-lama," ucap Alfian membuat Mamanya tertawa kecil mendengarnya.
"Nah gitu. Kamu ini profesor tapi cerewetnya minta ampun kali sama Mama. Kamu tuh digemari dikalangan wanita pas keluar rumah tuh gara-gara apanya, sih? Nih ya, Silvia juga kalo tahu gimana kelakuan kamu pas di rumah, pasti bakal_____"
"Ih, kok gitu. Mama tega mau buka rahasia anaknya keluar rumah? Alfian nih kayak gini juga cara untuk menunjukkan kasih sayang Alfi sama Mama. Emang mau punya anak yang banyak diemnya, cuek terus kaku kayak tembok. Diajak ngobrol diem, ditanyain pendapat ngangguk doang, terus_____"
"Pada ngomongin apa, sih? Kayaknya seru banget, sampe ada tamu yang dari tadi ucap salam sama ngetuk pintu diluar gak ada yang denger,"
Mendengar suara seseorang dari arah belakangnya, Alfian terlihat langsung memutar badannya untuk melihat siapa orang itu dan,
"Alana?"
Bersambung...