06 - Toko Kue

1852 Words
Trisya melahap kue cokelat yang beberapa saat lalu diantar oleh seorang pelayan dengan sangat lahap. “Hmm … benar, kan, Kak. Rasanya memang selezat ini,” ujarnya. Aston terkekeh. “Makanlah pelan-pelan! Tidak akan ada yang berani merebut kue itu darimu, Trisya. Kalau kau mau, nanti kita juga akan bungkuskan beberapa untuk Tuan Duke dan Nyonya Duchess.” “Benarkah? Kalau begitu boleh juga. Oh iya, di mana Layla tadi? Apa dia tidak ikut masuk?” bingung Trisya, saat melihat tidak seorang pun dari rombongannya yang ikut masuk, termasuk dayang pribadinya itu. “Sepertinya mereka menunggu di luar. Atau mungkin sedang mencari tempat beristirahat yang lain?” balas Aston. “Loh, kenapa begitu? Tunggu sebentar, ya, Kak! Aku akan menyuruh mereka semua untuk masuk dan ikut makan bersama kita. Kakak tidak keberatan, kan, kalau membayarkan makanan mereka juga? Ini kan hanya kue, jadi aku rasa tidak akan menghabiskan terlalu banyak uang,” ucap Trisya. “Bahkan aku bisa membelikan semua kue di toko ini untukmu kalau kamu mau, Trisya. Lakukanlah apa pun yang kau inginkan selagi itu akan membuatmu senang!” ujar Aston. Trisya mengembangkan senyum lebarnya. Kemudian, ia pun segera keluar untuk mencari keberadaan rombongannya. Dan ternyata benar. Mereka menunggu tepat di depan kedai kue itu tanpa melakukan apa-apa. “Apa ada yang Anda butuhkan, Nona?” tanya Layla yang sigap menghampiri Trisya. “Ya ampun, Layla. Memangnya aku selama ini hanya memanggilmu saat aku membutuhkanmu?” heran Trisya. “Maaf? Apa ada yang salah dengan kata-kata saya, Nona? Kalau begitu, saya-“ “Layla, ajak yang lain untuk masuk ke dalam!” potong Trisya yang langsung mengatakan maksud utamanya datang ke sini. “Y- ya? Maaf, Nona? T- tapi kenapa? Apa kami-“ “Kau mau melakukan hal kekanakan dengan menyiksa dayang dan pengawalmu lagi, Nona Lovatta?” Mendengar ucapan sok tahu yang jelas diarahkan padanya karena ia lah satu-satunya nona muda di kediaman Lovatta itu, Trisya pun sontak menoleh. Ia menatap sangar ke arah pria yang sok tahu ingin menghakiminya itu. Dan dia – laki-laki itu berjalan mendekat, seolah belum puas melayangkan tuduhannya pada Trisya. Semua orang yang ada di sana termasuk dayang dan pengawal yang ikut Trisya kompak menunduk penuh hormat sambil menyapa lelaki sok tahu itu. “Hormat kami, Yang Mulia Putra Mahkota,” salam mereka kompak. Sementara itu, Trisya selaku orang yang baru saja dituduh seenaknya merasa enggan memberikan hormat. “Nona, saya mohon!” cicit Layla sambil memberi kode pada Trisya untuk ikut memberi hormat pada Pangeran Terry. “Apa? Memangnya aku harus apa, setelah dia bicara seenaknya denganku seperti itu?” protes Trisya. “Nona, tolonglah! Sekali ini saja!” pinta Layla, diangguki beberapa dayang yang ikut serta dengan mereka. Tentu, mereka mengkhawatirkan keselamatan sang nona muda jika nona muda itu masih keras kepala tidak mau memberi hormat pada Putra Mahkota. Trisya merasa tidak tega melihat raut memprihatinkan para dayangnya itu. dengan terpaksa, ia pun mulai menunduk dan memberikan hormat pada caon penerus tahta kerajaan itu. “Hormat saya, Yang Mulia Pangeran,” sapa Trisya singkat, sebelum akhir nya ia mengangkat kembali kepalanya dan memberanikan diri beradu tatap dengan sang calon pewaris tahta itu. “Nona, saya pikir Anda sudah sedikit berubah menjadi lebih baik. Namun, apa dugaan saya itu salah? Di luar sepengetahuan saya, apa Anda masih suka menyiksa dayang-dayang Anda?” tuduh Terry. Trisya mendelik sebal. “Menyiksa apa? Memang saya melakukan apa pada dayang-dayang saya?” “Jangan mengelak, Nona. Saya melihat sendiri Anda sedang memaksa mereka melakukan sesuatu. Benar begitu, kan?” lanjut Terry. “Woah, sejak kapan Yang Mulia Putra Mahkota memperhatikan saya sedetail ini, bahkan jadi terkesan seperti orang yang sok tahu?” ejek Trisya. “No- Nona, mohon biarkan saya saja yang menjelaskan pada Yang Mulia,” pinta Layla. “Benar, Nona. Sebaiknya Anda diam saja, supaya kami yang meluruskan kesalahpahaman ini,” sambung dayangnya yang lain. “Tidak tidak. Tidak apa. Biar aku sendiri yang menyelesaikan ‘kesalah pahaman’ ini,” tolak Trisya. “Non Trisya, mohon jaga sikap Anda pada Putra Mahkota!” tegur salah seorang pengawal Terry. Melihat sosok mengerikan dengan sebilah pedang di tangannya itu pun nyali Trisya menjadi ciut. Ia masih berani kalau sekadar hanya beradu mulut. Tapi, melihat adanya sosok yang siap kapan saja menebas lehernya itu, Trisya mendadak bungkam. “Maaf, Yang Mulia, tapi sepertinya Yang Mulia hanya salah paham. Nona tidak pernah menyiksa kami. Dan soal yang barusan itu, sepertinya dibanding memaksa kami, sebenarnya Nona sedang ingin mengajak kami masuk, Yang Mulia,” terang Layla mulai memberikan pembelaannya pada sang nona. “Kamu tidak perlu takut untuk bersuara, Nona. Katakan saja jika Nona Trisya memang sedang melakukan sesuatu yang tidak baik padamu!” sungut pengawal Pangeran Terry lagi. Trisya menatap tidak terima meski bibirnya hanya bisa diam. “Baiklah. Apa yang Anda pikirkan itu, terserah. Saya minta maaf jika menurut Anda itu salah. Tapi, bolehkan sekarang saya mengajak rombongan saya ke dalam?” tanya Trisya. “Nona!” tegur Layla. Biar bagaimana pun, seharusnya Trisya tidak boleh menyela saat ada keluarga kerajaan. Ia tidak boleh pergi dulu seenaknya seperi ini, terlebih mereka sedang berada di ruang publik. “Aku hanya ingin membelikan kalian kue. Kak Aston sudah bersedia untuk membayarnya,” balas Trisya pada Layla. Pangeran Terry menyeritkan alisnya saat ia masih bisa mendengar ucapan Trisya tersebut. Ia seakan tidak percaya jika Lady dari kediaman Lovatta itu mengajak para dayang dan rombongannya untuk makan kue bersama. “Membelikan kue?” kaget Pangeran Terry. “Hanya untuk rombongan saya – pelayan dan pengawal-pengawal saya yang baik hati. Maaf, Yang Mulia, tapi tawarannya tidak berlaku juga untuk Anda,” balas Trisya sengit. “Nona Trisya!” tegur pengawal Pangeran, untuk yang ke sekian kalinya. “Sudahlah, Tablo! Biar bagaimana pun, Nona Trisya adalah Nona di kediaman Lovatta – putri dari Duke Gerald dan adik dari Darian. Jadi kau juga harus menjaga sikapmu terhadapnya!” Pangeran Terry balas menegur pengawalnya yang sedari tadi berhasil mengintimidasi Trisya itu. Benar juga. Kenapa Trisya baru ingat kalau kedudukan keluarganya sangat tinggi – walau tidak setinggi keluarga Terry. Tapi setidaknya, jika hanya untuk melawan pengawal pria itu, atau orang lain di sekitar mereka, bukankah seharusnya Trisya masih mampu? “Baik. Maafkan saya, Nona Trisya,” ungkap Tablo sembari menunduk hormat. Seingat Trisya, di dalam n****+ dijelaskan bahwa Tablo ini merupakan putra kedua dari seorang bangsawan bergelar Count. Itu artinya ayah Tablo berkedudukan sama dengan Aston. “Trisya, kenapa belum masuk jug- ah, salam hormat saya, Yang Mulia.” Aston yang baru saja tiba segera memberi hormat saat melihat keberadaan Pangeran Terry. Sementara itu, Pangeran terry tampak memindai penampilan Aston dari atas sampai bawah, dan hal itu pun disadari oleh Trisya yang memang sejak tadi menjadi orang yang paling berani terang-terangan menatap sang putra mahkota itu. Melihat bagaimana Pangeran Terry memperhatikan kakak sepupunya, Trisya pun melakukan hal serupa. Ia mencari sesuatu yang mungkin saja menarik perhatian sang putra mahkota tersebut pada tubuh Aston. “Trisya, ada apa?” tanya Aston yang sadar jika sedang diperhatikan Trisya. Trisya mendongak, kemudian menggelengkan kepalanya. “Tidak ada apa-apa. Kak, ayo kembali masuk! Aku belum menghabiskan kueku. Aku juga ingin mencoba varian yang lain. Oh iya, Layla dan yang lainnya, ayo ikut masuk! Kue di toko ini benar-benar enak dan kalian harus mencobanya!” ajak Trisya, berusaha mengabaikan Pangeran Terry dan rombongannya. “Aku juga jadi merasa lapar dan penasaran dengan kue yang dibilang enak itu. Tablo, kita tidak sedang buru-buru, kan?” ucap Pangeran Terry yang membuata Trisya sontak mendapat sebuah firasat buruk. “Tidak, Yang Mulia. Masih ada waktu untuk beristirahat sebentar,” jawab Tablo. “Baiklah. Aku ingin mencicipi kue di sini. Siapa tahu rasanya memang seenak itu, sampai-sampai nona bangsawan seperti Nona Trisya saja tampak sangat menyukainya,” ujar Pangeran Terry, kemudian dengan santainya berjalan masuk ke toko kue itu, melewati Trisya beserta rombongannya. Bahu Trisya merosot. Ia menganggap hal ini sebagai kesialan yang besar. Kenapa untuk menikmati kue nikmat di toko ini saja, ia harus menghadapi ujian sebesar ini? Trisya menolehkan kepalanya ke arah Aston, kemudian melemparkan tatapan memelas ke arah laki-laki itu. “Kakak, bisakah kita pindah ke tempat yang lain saja?” “Maksudmu, ke tempat yang tidak ada Putra Mahkota nya?” tebak Aston setengah berbisik. Namun, tanpa laki-laki itu duga, ternyata Trisya malah menganggukkan kepalanya dengan kedua bilah pipi yang menggembung menggemaskan. “Jangan bercanda! Bukankah adikku yang satu ini sangat menyukai Yang Mulia? Jangan menutup-nutupinya dari Kakak, Trisya! Sudahlah, ayo kita masuk! Katamu, kamu ingin mentraktir para dayangmu, kan?” lanjut Aston. Trisya menoleh ke arah para dayangnya yang kini sedang menatapnya penuh harap. “Ada apa? Kalian benar-benar ingin mencicipi kue-kue itu juga?” tanya Trisya. “Jika Nona tidak keberatan, maka kami akan sangat berterima kasih pada Nona dan Tuan,” jawab salah seorang pengawal Trisya. “Masuklah dan pesan apa pun yang kalian inginkan!” ujar Aston santai. Kemudian, ia segera menggandeng Trisya untuk masuk lebih dulu ke toko itu. Mereka pun kembali ke meja yang sempat mereka tinggalkan tadi. Namun, sialnya, kenapa meja yang di sebelah mereka yang tadinya kosong, kini malah ditempati oleh Pangeran Terry dan juga Tablo? ‘Oh, s**t! Trisya, aku pikir kau gila sampai bisa jatuh cinta pada pria annoying seperti ini!’ Trisya mengumpati sosok Trisya yang asli – yang dulu bisa-bisanya jatuh cinta hingga akhirnya meregang nyawa gara-gara laki-laki bernama Terry itu. “Apa Nona terganggu dengan keberadaan kami di sini?” tanya Pangeran Terry dengan nada datar. ‘YA! SANGAT! Jadi kalau kalian sadar, segeralah pergi dari sini!’ jerit batin Trisya. “Ma- mana mungkin? Tentu tidak, Yang Mulia,” jawab Trisya. Rasanya ia ingin menampar mulut munafiknya itu dengan tangannya sendiri. ‘Dasar bodoh! Kenapa kamu tidak berani mengatakan yang sebenarnya, Trisya?! Bahkan menagih maaf setelah dia seenaknya menuduhmu saja, kau tidak berani. Apa gunanya gelar kebangsawanan yang sangat tinggi milik keluargamu itu kalau mentalmu saja masih seperti ini?’ Trisya mendudukkan dirinya kembali di kursinya. Lalu, ia berusaha menikmati kuenya sambil berusaha mengalihkan perhatiannya agar tidak menoleh ke arah Pangeran Terry yang kini sedang menunggu pesanannya datang. Sungguh. Kenapa kue manis, harum dan nikmat itu, kini seketika menjadi terasa hambar? Apa ini pengaruh dari suasana tak mengenakkan yang disebabkan oleh dua orang di meja sebelahnya itu? “Trisya, kau tidak apa-apa?” bisik Aston sambil mendekatkan wajahnya. “Tidak. Tapi, aku mengurungkan niatku untuk mencoba menu lain di sini. Kalau Kakak tidak keberatan, apa boleh aku minta varian lain untuk dibungkus sebagai oleh-oleh saja?” tanya Trisya yang memang sudah tidak betah untuk lebih lama lagi berada dekat dengan Pangeran Terry. “Kau serius? Bukankah ini akan lebih enak kalau dinikmati di tempat?” “Tidak. Aku ingin dibungkus saja, Kak. Aku-“ Ucapan Trisya terpotong saat tiba-tiba terdengar dehem yang cukup keras dari arah samping. Trisya menoleh ke samping – ke arah orang yang membuat suara deheman itu. “Saya tahu kalian adalah saudara jauh. Tapi saran saya, jangan tunjukkan kedekatan yang berlebihan di depan publik! Atau nanti publik akan salah menyangka jika Count Aston telah berkencan dengan saudari sepupunya sendiri,” tegur Pangeran Terry. Oh ayolah! Apakah itu masih termasuk hal yang perlu untuk seorang Putra Mahkota mencampurinya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD