Bagi seorang putri bangsawan seperti Trisya, ia dilarang keluar dari kediaman keluarganya tanpa alasan yang jelas. Terlebih sebelum ia melewati pesta debutnya ketika berusia delapan belas tahun. Trisya hanya menghabiskan waktunya di rumah. Belajar tentang tata krama keluarga bangsawan, serta menekuni hobinya melukis. Trisya tidak tahu dari mana bakat melukis itu ada. Mungkin, bakat itu ditinggalkan oleh pemilik raga yang kini ia tinggali. Namun, ia tidak yakin, mengingat karakter Trisya dalam n****+ tidak digambarkan secara jelas – selain hanya keburukannya.
Adalah suatu keberuntungan bagi Trisya jika ia memiliki bakat menggambar seperti ini. Dalam kehidupan aslinya, Milla sama sekali tidak memiliki jiwa seni. Berbeda dengan orang kebanyakan yang sangat suka pelajaran seni budaya, Milla dulu justru sangat menghindari pelajaran tersebut, khususnya yang berhubungan dengan ‘gambar’. Namun kini, ternyata melukis justru menjadi penyelamatnya dari rasa bosan karena harus selalu tinggal di rumah nan megah ini.
“Hm? Sepertinya cat air berwarna biruku sudah habis,” ucap Trisya. Layla mendekat saat mendengar suara Nona-nya.
“Ada yang bisa saya bantu, Nona?” tanya Layla dengan sigap.
“Layla, kau bilang aku boleh keluar dari rumah kalau aku punya alasan yang jelas, kan? Kalau begitu, tolong siapkan pakaianku! Aku ingin pergi keluar untuk membeli car air yang baru, karena beberapa warnaku sudah habis,” pinta Trisya.
“Tapi, Nona. Meski pun demikian, Anda tetap harus meminta izin dari Tuan Duke dan Nyonya,” jawab Layla.
“Aku mengerti. Aku akan meminta izin setelah aku selesai bersiap,” balas Trisya, sambil mencicil membereskan barang-barangnya.
“Tapi masalahnya, saat ini Duke sedang ada tamu. Jadi-“
“Tidak apa-apa, Layla. Setidaknya aku bisa minta izin pada Ibu. Tolong siapkan saja keperluanku, selagi aku mencuci tanganku yang terkena cat ini!” potong Trisya. Ia tidak mau membuang waktu lebih lama. Setelah itu, ia pun beralih membersihkan dirinya ke kamar mandi.
***
“Jadi, boleh kan, Ibu?” tanya Trisya ketika ia berhasil menghadap Sang Ibu.
“Ibu tidak melarang, putriku. Tapi Ibu juga tidak bisa memberikan izin sebelum kau bertanya langsung pada ayahmu. Sementara Beliau sekarang sedang menjamu tamu penting di ruangannya,” terang Duchess Amara.
“Apa tidak bisa Ibu yang menyampaikan pesanku pada Ayah? Aku takut akan keburu siang kalau aku harus menunggu Ayah selesai menjamu tamunya, Bu,” pinta Trisya.
“Tidak bisa, putriku. Hanya ayahmu langsung lah yang berhak memberimu izin keluar. Ibu tidak bisa memberimu izin sembarangan, sebelum ayahmu membuat keputusan,” jawab Duchess.
Bahu Trisya merosot. Namun, ia tak punya pilihan lain selain hanya menuruti ucapan ibunya. “Baiklah. Kalau begitu, Trisya akan menunggu di depan ruangan Ayah sampai para tamunya itu keluar.”
Duchess mengangguk, kemudian membiarkan putrinya pergi menunggu sang ayah. Kebetulan, di depan ruang kerja Duke memang ada beberapa kursi yang biasa digunakan untuk menunggu. Dan di sanalah Trisya menunggu ayahnya.
Hampir setengah jam Trisya menunggu bersama Layla di depan ruangan Sang Duke. Hingga akhirnya pintu itu pun terbuka. Trisya segera bangkit dan membalas sapaan tamu Sang Duke.
“Selamat siang, Lady,” sapa tamu tersebut.
“Selamat siang …” Trisya tampak ragu. Ia tidak mengenali siapa orang itu sehingga tidak tahu bagaimana ia bisa memanggilnya.
“Aston. Nama saya adalah Aston. Silakan panggil saya senyaman Lady,” ucap pria itu.
Trisya membungkukkan tubuhnya saat mendengar nama itu. “Oh, maaf saya tidak mengenali Anda, Count Aston.”
Count Aston merupakan saudara sepupu jauh Trisya dari pihak Duke. Mendiang ayah Count Aston merupakan sepupu dari Duke Gerald. Dan dalam n****+, Count Aston merupakan salah satu teman masa kecil Trisya, sebelum akhirnya lelaki itu juga jatuh hati pada Rania.
‘Ah iya. Di antara Trisya, Pangeran Terry, Pangeran Avery dan Count Aston, dialah orang yang pertama kali bertemu dengan Rania. Kediaman Count Aston cukup dekat dengan kediaman Rania. Dan sekarang, mereka pasti sudah saling mengenal,’ batin Trisya.
“Sudah lama tidak bertemu ya, Lady? Anda sekarang sudah tumbuh besar dan jauh lebih tinggi dari yang terakhir saya ingat,” ucap Count.
Trisya hanya terkekeh. Tentu saja. Dijelaskan dalam n****+ kalau pertemuan terakhir mereka terjadi saat Trisya berusia dua belas tahun. Dan itu sudah bertahun-tahun lalu. “Tentu, Count Aston. Saya sudah remaja sekarang.”
“Cukup panggil saya Aston, Lady!” pinta Count Aston.
“Kalau begitu, Anda juga harus memanggilku Trisya, Kak!” balas Trisya. Seingat Trisya, Aston bukanlah pihak yang akan membuat Trisya menderita. Jadi, Trisya tidak perlu terlalu waspada padanya.
“Baiklah kalau begitu. Ngomong-ngomong, apa yang kau lakukan di sini, Trisya? Kau ingin bertemu Tuan Duke?” Trisya mengangguk. Sesaat kemudian, munculah sosok yang Trisya cari itu dari dalam ruangannya.
“Trisya? Ada apa? Apa aku ingin bertemu dengan Ayah?” tanya Sang Duke.
“Ya, Ayah. Saya ingin meminta izin untuk pergi ke kota sebentar, karena saya harus membeli beberapa peralatan melukis saya yang sudah habis. Apakah Ayah bisa memberi saya izin?”
Awalnya, Duke tampak ragu. Namun, setelah melihat ke samping dan masih ada Aston di sana, seketika sebuah senyum tipis terbit di bibir pria paruh baya itu. “Dengan siapa rencananya kau akan pergi, putriku?”
“Itu … dengan Layla dan dua orang pengawal, mungkin?” Trisya tampak tidak yakin. Kenapa perasaannya jadi tidak enak?
“Aston, bisa Paman minta tolong temani Trisya? Dia tidak pernah keluar sendirian sebelumnya,” pinta Sang Duke.
“Eh? Trisya tidak sendirian, Ayah. Trisya akan membawa Layla dan dua pengawal. Atau kalau tidak, Ayah bisa menambah jumlah dayang atau pengawalnya,” serobot Trisya.
Meski Aston bukan orang yang berbahaya, tapi, dalam dunia nyata saat masih menjadi Milla, dia Trisya memang cukup menjaga jarak dengan lawan jenisnya. Terlebih yang seumuran seperti dirinya dan Aston yang hanya selisih empat tahun.
“Saya bersedia, Duke. Kebetulan, sudah lama juga saya tidak mengobrol dengan Trisya,” jawab Aston yang membuat semua terasa semakin runyam.
“Memang Kakak tidak punya pekerjaan? Kakak pasti kan sibuk, sekarang sudah menjadi bangsawan dan menggantikan tugas mendiang paman.”
“Aku masih bisa membagi waktu, Trisya. Kalau begitu, ayo aku antar! Aku akan menemanimu berbelanja sembari berkeliling kota hari ini,” ajak Aston.
“Pergilah bersama Aston, putriku! Ayah tidak teg ajika membiarkanmu pergi tanpa perlindungan dari siapa pun. Maksud Ayah, pengawal saja tidak cukup. Dan kakakmu – Darian kini sedang bertugas di ibu kota. Jadi, kalau kau ingin pergi, pergilah sekarang mumpung ada Aston yang bisa menjagamu!” ujar Duke Gerald.
Sepertinya Trisya memang tidak punya pilihan lain. Jika dirinya menolak ditemani oleh Aston, kemungkinan ayahnya malah akan melarangnya pergi sama sekali. Jadi sepertinya untuk yang satu ini ia harus mengalah dan mencoba membiasakan diri. Lagi pula, Aston masih kerabat Trisya, kan? Mungkin saja keadaannya tidak akan secanggung yang Trisya khawatirkan.
“Baiklah kalau begitu, Ayah. Kakak, bisa kita langsung pergi sekarang?” tanya Trisya yang kemudian diangguki oleh sepupu jauhnya itu.
Setelah itu, kedua remaja itu pun berpamitan dengan Sang Duke. Mereka pergi dengan kereta milik Aston, ditemani beberapa dayang dan juga pengawal.
“Apa saja yang ingin kau beli, hm?” tanya Aston.
“Hanya cat air, kuas dan kanvas saja, Kak. Oh iya. Apa bisa kita nanti berkeliling dengan jalan kaki saja? Aku juga ingin melihat keramaian kota secara langsung. Karena aku memang hampir tidak pernah keluar dari kediaman keluargaku selama ini,” pinta Trisya.
“Baiklah. Nanti aku akan menyuruh keretanya berhenti saat kita hampir tiba di kota,” jawab Aston.
Dalam n****+, karakter Aston memang digambarkan dengan sosok yang paling lembut dan baik. Meski memang jarang muncul, namun seingat Trisya, lelaki itu tidak pernah menunjukkan kebenciannya pada tokoh lain. Bahkan pada Trisya yang dulu sangat menyebalkan dan sering kali mencelakai wanita yang dicintai Sang Count itu – Aston tidak pernah bisa membencinya.
‘Andai jalan ceritanya bisa aku ubah dan aku keluar dari alur utama, mungkin aku akan memilih untuk bersamamu, Kak. Setidaknya kau selalu ada di pihak netral dan tidak pernah menghakimi Trisya meski tahu Trisya sangat keterlaluan,’ batin Trisya sambil menatap paras rupawan Aston.
***
Aston membantu Trisya turun dari kereta, kemudian keduanya menyusuri jalanan yang di samping kanan-kirinya terdapat banyak toko. Mereka juga menyempatkan untuk saling mengobrol santai sambil sesekali membalas sapaan orang-orang.
“Kue itu sepertinya sangat enak! Aromanya bisa tercium sampai sini, Kak,” seru Trisya saat melihat toko kue seperti bakpau yang ada di seberang jalan.
“Kau mau? Bagaimana kalau kita beristirahat sebentar sambil membeli beberapa kue itu?” tawar Aston yang langsung saja diangguki oleh Trisya.
“Kakak yang akan membayarkannya untukku?”
“Tentu saja. Kau bisa makan sebanyak yang kau mau. Biar aku yang membayarnya,” jawab Aston.
“Wah, hebat! Aku bahkan tidak ingat kapan kakak kandungku mentraktirku makanan. Sepertinya aku akan lebih senang jika Kak Aston yang menjadi kakak kandungku dibanding kakakku yang satunya lagi itu,” canda Trisya.
“Hey, tapi aku kan memang kakakmu juga. Selama ini kita jarang bertemu karena aku yang sibuk dengan tugasku. Tapi, kalau kau mau, aku bisa menjemputmu untuk berkunjung ke kediamanku sekali-sekali,” ujar Aston.
“Hm, aku tidak bisa menolak. Lagi pula aku juga bosan di rumah terus,” balas Trisya.
“Sabarlah, Trisya! Kau pasti akan segera mendapat banyak teman setelah pesta debutmu nanti. Kau pasti akan mendapat banyak undangan jamuan minum teh mengingat latar belakang keluargamu yang sangat disegani di negeri ini,” ucap Aston berusaha menghibur adik kecilnya itu.
“Teman?”
Sayang sekali, Trisya memang ditakdirkan untuk tidak memilikinya, Aston. Di dalam n****+, bahkan putri bangsawan lain akan terang-terangan menunjukkan ketidak sukaannya pada Trisya. Ia akan jarang mendapat undangan jamuan minum teh meski sudah melewati debutnya nanti. Hal itu lah yang emmbuat Trisya akan semakin merasa kesepian, tersisih dan akhirnya memiliki rasa iri pada Lady Rania yang tampak begitu dicintai, meski derajat kebangsawanan keluarga Trisya lebih tinggi dibanding keluarga Lady Rania.
Ya. Lady Rania bisa mendapatkan semua yang seharusnya menjadi milik Trisya. Dan Trisya merasa dunianya seakan direbut oleh Lady Rania. Karena itulah ia akan sangat membenci Lady Rania dan terus berusaha menjatuhkannya – yang membuat dia akhirnya menjadi tokoh antagonis dalam n****+ “Lady Rania and The Crown Prince” itu.
‘Andai aku bisa berubah menjadi lebih baik dan berhasil menarik perhatian orang-orang, apa mungkin aku bisa menghindar dari takdir pemeran antagonis itu? Apa mungkin aku akan memiliki kesempatan untuk merasakan hidup lebih lama?’
‘Lagi pula, aku berbeda dengan Trisya yang ada dalam n****+. Bahkan meski pun semua perhatian publik termasuk Pangeran berhasil Rania ambil dariku, mungkin itu tidak akan menjadi masalah besar untukku, kan? Aku hanya harus berusaha berubah menjadi lebih baik, membangun imej yang baik, dan menahan diri agar tidak dibutakan oleh cintaku pada Pangeran. Ya. Dengan begitu, seharusnya aku bisa bertahan hidup dan menghindari takdir kematian tragis itu.’
Sementara itu di sisi lain …
“Maaf, Yang Mulia, tapi bukankah itu Lady Trisya?” ucap seorang pengawal pada majikannya saat mereka sedang berkeliling di tengah pertokoan.
Si pria yang diberi tahu pun sontak saja mengalihkan tatapannya ke arah yang ditunjuk oleh pengawalnya. Dan seketika itu pula, alisnya menyerit saat berhasil menemukan titik yang dimaksud oleh pengawalnya.
“Untuk apa dia berada di sini bersama Count Aston? Apa Duke langsung yang telah memberinya izin? Tapi, bagaimana bisa?” gumamnya dengan nada tidak suka.