10 - Berusaha Menghindari Takdir

1549 Words
Hari demi hari berlalu. Trisya sudah mulai menjalani hari-harinya seperti biasa di kediamannya. Siang ini, ia berniat berjalan-jalan untuk mengusir penat setelah beberapa jam melukis. Ia hanya ditemani oleh Layla saat melewati ruang kerja ayahnya yang sedikit terbuka. Dan di sana, tanpa sengaja ia mendengar percakapan yang cukup penting dari ruangan ayahnya tersebut. “Jadi, para bangsawan menuntut Yang Mulia untuk segera mengadakan pemilihan Putri Mahkota?” Terdengar suara ayahnya – Duke Gerald bertanya dengan nada terkejut. “Benar, Tuan Duke. Dan Yang Mulia Raja sudah mulai kewalahan dengan adanya desakan-desakan itu. Bagaimana menurut Anda, Tuan?” Trisya tidak tahu siapa yang sebenarnya sedang berbicara dengan ayahnya tersebut. Namun, dari apa yang sempat Trisya tangkap, sepertinya orang tersebut adalah salah satu perwakilan dari istana yang dikirim oleh Raja Trovald. ‘Kenana juga Yang Mulia Raja butuh pendapat ayah soal hal seperti ini? Bukankah pemilihan calon Putri Mahkota adalah sepenuhnya hak milik keluarga kerajaan?’ batin Trisya. “Saya tidak tahu. Tapi Trisya … dia belum bisa melewati masa debutnya. Jadi saya khawatir mungkin Trisya tidak akan bisa mengikuti pemilihan calon Putri Mahkota. Ulang tahun Trisya baru akan terjadi tujuh bulan lagi. Dan bukankah itu akan terlalu lama, apabila kerjaan ingin menunggunya?” ‘Huh. Lagian kalau bisa, aku juga tidak ingin ikut pemilihan Putri Mahkota,’ batin Trisya. “Tapi Yang Mulia Raja menginginkan Lady Trisya mengikutinya, Tuan. Lady adalah kandidat terkuat yang pastinya akan mendapat dukungan penuh dari Yang Mulia Raja dan Permaisuri,” ujar orang itu. Trisya melongo. Ia memang sempat membaca dari n****+, jika yang menunjuk Trisya sebagai Putri Mahkota adalah Raja dan Permaisuri. Jadi, seperti ini awal mulanya? Sejak awal – sebelum pemilihan Putri Mahkota diadakan secara resmi, baik Raja mau pun Permaisuri sudah berpihak pada Trisya. Trisya pikir, menjauhi Pangeran Terry saja tidak akan cukup jika sejak awal masalahnya berasal dari Raja dan Permaisuri. Sepertinya Trisya juga perlu melakukan sesuatu agar Raja dan Permaisuri tidak mendukungnya untuk menjadi Putri Mahkota. “Nona! Nona mau ke mana?” Trisya berjalan – mengabaikan Layla yang memanggilnya. “Aku ingin bertemu dengan Ayah,” ucap Trisya pada dua prajurit yang berjaga di depan ruang kerja Sang Duke. “Maaf, Nona. Tapi Tuan Duke sedang menemui tamu penting di dalam,” larang salah satu prajurit itu. “Aku tahu. Tapi aku yakin Ayah tidak akan menolak kehadiranku sekarang. Jadi beritakan saja kedatanganku pada Ayah!” ujar Trisya. Dua prajurit itu saling pandang, dan akhirnya mereka mengangguk. Setelah itu, salah satu dari mereka masuk untuk mengabarkan kedatangan Trisya pada Sang Duke. “Nona, apa yang ingin Nona lakukan? Setahu saya, Tuan Duke sedang menerima tamu dari istana dan-“ “Kamu tenang saja, Layla! Kamu boleh menunggu di sini selagi aku masuk. Karena ada hal penting yang harus aku sampaikan pada ayahku,” potong Trisya dengan senyum penuh makna yang tampak di bibirnya, yang justru membuat Layla semakin khawatir dengan apa yang sekiranya akan dilakukan oleh nonanya. “Silakan, Nona. Duke mengizinkan Anda masuk,” ujar seorang prajurit yang baru saja kembali dari ruangan Duke, sambil membuka pintu lebar-lebar untuk Trisya lewati. “Baik, terima kasih.” Setelah itu, Trisya pun masuk ke ruang kerja sang ayah. Ia menunduk – menyapa Sang Ayah dan tamunya satu persatu dengan sopan. “Silakan duduk, putriku! Penjaga bilang, ada sesuatu yang ingin kamu sampaikan pada Ayah. Apa itu?” tanya Duke Gerald pada putri kesayangannya. “Ah … aku hanya dengar Ayah mendapat tamu dari istana. Lalu, saat melewati ruang kerja Ayah tadi, tidak sengaja aku mendengar ada namaku disebut. Apakah benar begitu, Ayah? Lalu ada apa, sehingga namaku disebut-sebut saat Ayah dan tamu Ayah membicarakan hal penting terkait kerajaan?” tanya Trisya begitu sopan. “Itu benar, Trisya. Kami memang sedang membicarakanmu, dan alasan Yang Mulia Raja mengutus Tuan Ervis, itu juga ada hubungannya dengan kamu,” jawab Duke. “Tuan Ervis, apa tidak apa-apa jika trisya mengetahui semuanya?” tanya Duke pada tamunya yang bernama Ervis, salah satu tangan kanan raja. “Hmmm … itu …” Tuan Ervis sepertinya ragu. Mungkin pengaruh kabar simpang siur yang ia dengar soal Trisya. “Jika Tuan Ervis keberatan, tidak apa, Ayah. Aku hanya-“ “T- tidak, Nona. Kalau menurut Tuan Duke tidak apa-apa, maka saya juga tidak masalah apabila Nona mendengarnya. Mungkin itu malah akan sedikit lebih baik mumpung saya juga masih ada di sini apabila Nona merasa perlu penjelasan lebih lanjut mengenai titah Yang Mulia Raja,” potong Ervis. Trisya mengangguk. Lalu, ia kembali mengarahkan atensinya ke arah Sang Ayah, bersiap mendengar penjelasan laki-laki itu. “Ini soal pemilihan kandidat Putri Mahkota, anakku. Dalam kata lain, calon istri untuk Pangeran Terry, sekaligus calon permaisuri di masa depan. Jadi, Keluarga Lovatta dan Keluarga Iscorra memiliki hubungan yang sangat baik sejak generasi kakekmu dan Raja terdahulu. Mereka sepakat untuk menjodohkan cucu mereka. Dan atas jasa besar kakekmu di masa lalu, Raja terdahulu berjanji akan membawa keturunan Lovatta menduduki kursi pemimpin di negeri ini. Dan sekarang, Raja Trovald menginginkan hal itu terjadi, melalui kamu,” terang Duke Gerlad. “Melalui aku? Maksudnya? Kenapa bukan Kakak?” Trisya sebenarnya sudah mengerti ke mana arah pembicaraan ini. Namun ia ingin menunjukkan sisi elegannya, dan menyelidikinya dengan cara yang anggun. “Maksudnya, Yang Mulia ingin, suatu hari nanti ada raja baru yang terlahir dari keluarga Lovatta melalui kamu. Yang Mulia dan Permaisuri ingin kamu menduduki kursi Putri Mahkota dan menjadi Permaisuri selanjutnya,” jelas Duke Gerald. “Mereka mau menjodohkanku dengan Pangeran?” tanya Trisya memastikan. “Lebih tepatnya, Yang Mulia Putra Mahkota,” ralat Ervis. Baiklah. Trisya sudah mengerti. “Ayah, tapi apa menurut Ayah aku bisa menduduki kursi setinggi itu? Terlebih hubunganku dengan Yang Mulia Putra Mahkota juga tidak bisa dikatakan baik.” “Anda ada masalah dengan Yang Mulia Putra Mahkota, Nona?” kaget Ervis. “Eh? Kok sampai ke situ? Bukan. Maksud saya, saya dan Yang Mulia Putra Mahkota bahkan tidak dekat. Dan saya yakin, di usia Yang Mulia Putra Mahkota yang sekarang, Beliau pasti sudah menemukan gadis lain yang Beliau cintai. Jadi-“ “Trisya, ada apa denganmu? Apa telah terjadi sesuatu padamu, Trisya?” tanya Duke dengan nada khawatir. Trisya mengejapkan matanya. “Tidak, Ayah. Memang apa yang salah denganku? Apa aku berbicara sesuatu yang salah, namun aku tak menyadarinya?” bingung Trisya. “Bukan itu. Tapi, soal perjodohan kau dan Pangeran Terry, bukankah seharusnya kamu senang?” heran Duke Gerald. Pasalnya, ia juga tahu jika sejak kecil Trisya sudah tertarik dengan putra sulung Sang Raja itu. “Apa? Hmm … itu ak- aku cuma merasa jika mungkin menjadi Permaisuri atau pun Putri Mahkota tidak akan mudah. Terlebih mengingat Pangeran Terry yang sepertinya kurang suka denganku,” jawab Trisya beralibi. “Tapi, sebelum penobatan pun pihak istana pasti akan mengenalkan Anda dengan kehidupan keluarga inti kerajaan, Nona. Anda juga akan memiliki banyak dayang yang membantu Anda. Bahkan para guru terbaik dan Permaisuri pun akan terjun langsung mengajari Anda. Jadi, soal sulit atau mudah, sepertinya itu bukan masalah, karena Anda pasti akan mendapat pelajaran di istana nantinya,” terang Ervis. Tunggu dulu! Kenapa dia jadi terdengar seperti mendukung perjodohan itu? Trisya kira, Ervis adalah salah satu orang yang termakan gosip tentang sikap buruk Trisya. Tapi, ternyata tidak? “Dan soal Putra Mahkota, bagaimana bisa kamu mengatakan demikian, saat kalian saja bahkan masih jarang bertemu? Ayah yakin, begitu kalian banyak menghabiskan waktu bersama nanti, pasti tak akan sulit bagi Putra Mahkota untuk membuka hatinya untukmu, putriku,” imbuh Sang Ayah. Trisya memutar otaknya. Ia harus mencari alasan lain agar ia bisa terbebas dari perjodohan itu, mumpung di sini masih ada Ervis yang bisa menyampaikan langsung pada Raja tentang jawaban Duke nantinya. “Ah iya. Lalu soal pemilihan Putri Mahkota, saya tadi tidak sengaja mendengar jika para bangsawan lain sudah mendesak Yang Mulia Raja agar acara itu segera diadakan, kan? Dan saya belum melewati pesta debut saya. Sungguh, saya tidak masalah jika memang saya tidak akan hadir dalam kegiatan pemilihan itu. lakukan saja semuanya sesuai dengan aturan istana, dan jangan sampai terjadi konflik antara Yang Mulia Raja dengan para bangsawan!” ujar Trisya. Gadis itu menoleh ke arah Sang Ayah. “Ayah, Ayah setuju, kan? Dibanding dengan siapa yang menempati posisi itu pada akhirnya, hal yang lebih penting daripada itu adalah memenuhi tuntutan para bangsawan untuk menghindari adanya perpecahan.” Trisya berbicara seolah-olah ia adalah orang yang sedang mengorbankan perasaan dan masa depannya sendiri demi kepentingan negara. Padahal aslinya, ia hanya sedang memikirkan nasibnya dan keluarganya sendiri saja – berusaha menghindar dari takdir Trisya yang asli, yang menyebabkan ia dan keluarganya mendapat hukuman berat dari pihak kerajaan. Duke dan Ervis saling pandang satu sama lain. Tentu saja, mereka terkejut dengan ucapan Trsiya. Bahkan Duke yang merupakan ayahnya saja tidak menyangka jika Trisya bisa berpendapat seperti itu. “Putriku, pendapatmu itu sangat baik dan Ayah sangat menghargainya. Tapi-“ “Maaf jika saya menyela, Duke, Nona. Tapi, Nona sudah menjadi pilihan Raja dan Permaisuri. Saya mungkin tidak akan bisa menyampaikan pesan penolakan tersirat dari Nona kepada Yang Mulia Raja. Jadi, harap Nona pertimbangkan baik-baik terlebih dahulu keputusan Nona, atau jika Nona tidak keberatan, saya bisa menyampaikan pada pihak kerajaan untuk mengadakan pertemuan langsung dengan Keluarga Lovatta untuk membahas masalah ini,” terang Ervis. Duke Gerlad mengangguk setuju, membuat bahu Trisya merosot seketika. Apa tidak bisa ayahnya setuju begitu saja dengan pendapatnya yang begitu ‘mulia’ itu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD