11 - Sang Permaisuri

1249 Words
Trisya tidak menduga jika ucapannya tempo hari di ruang kerja Sang Ayah akan menjadi boomerang untuknya seperti sekarang – membuat Trisya harus berhadapan dengan Permaisuri negeri ini. Permaisuri mengundang Trisya datang ke istana. Mungkin jika Trisya adalah gadis bangsawan lain, ia akan merasa sangat senang dan terhormat. Namun, sayangnya bagi Trisya itu justru bukanlah hal yang bagus. Selain karena ia sudah terlanjur memiliki kesalahan yang mungkin membuat keluarga kerajaan tersinggung, Trisya juga bukanlah orang yang suka mengobrol dengan orang yang belum ia kenal, terlebih memiliki kedudukan sangat tinggi seperti Sang Permaisuri. “Ah, Trisya. Akhirnya kita bisa berjumpa juga setelah sekian lama!” seru seorang wanita paruh baya, membuat Trisya melongo saat melihat penampilannya. Hanya dengan melihatnya sekali saja, Trisya langsung tahu siapa yang baru saja menyapanya tersebut. Beliau lah Sang Permaisuri negeri ini – orang yang mengundang Trisya untuk datang ke istana siang ini. Sadar jika dirinya bahkan belum menyapa, Trisya mengejapkan matanya. Ia langsung menunduk sopan. “Y- Yang Mulia … selamat siang, Yang Mulia Permaisuri,” sapa Trisya berusaha sesopan mungkin. Masalahnya, yang ada di hadapannya kini adalah orang yang paling dihormati dan dicintai di negeri ini. Jika sampai Trisya membuat masalah sekecil apa pun, bisa-bisa ia mendapat hukuman berat dari pihak kerajaan. Namun, setelah Trisya berusaha ingat-ingat, sepertinya di dalam n****+ tidak terlalu dijelaskan seperti apa karakter permaisuri. Tidak dijelaskan juga bagaimana hubungan yang terjalin antara Trisya dengan permaisuri. Pertemuan ini pun tidak ada dalam n****+ yang ia baca. Entah memang pertemuan ini aslinya tidak ada, atau memang sengaja tidak diceritakan saja oleh penulis karena menurutnya tidak terlalu penting. Namun hal itu berhasil membuat Trisya cemas bukan main. Pasalnya, ia jadi tidak bisa menebak apa yang sekiranya akan Permaisuri katakan padanya hari ini. Tapi, jika mengingat ucapannya yang terkesan seperti menolak ketetapan perjodohan kerajaan beberapa haari yang lalu, Trisya cukup khawatir jika apa yang akan Permaisuri katakan akan bersifat kurang baik untuknya. “Duduklah, Trisya! Ah ya. Teh yang kami sajikan itu adalah teh bunga krisan terbaik di istana ini. Biasanya hanya keluarga kami saja yang meminumnya. Bahkan ayah dan kakakmu yang sudah lama bekerja bersama keluarga kami saja belum pernah merasakannya,” terang Permaisuri, yang berhasil membuat pupil mata Trisya membesar. “Be- benarkah? Lantas kenapa teh sespesial ini dihidangkan untuk saya, Yang Mulia?” tanya Trisya. “Karena bagiku, kau adalah bagian dari keluarga ini,” jawab Permaisuri sembari tersenyum. Trisya menelan salivanya dengan susah payah. Apa ia tidak salah dengar? Apa ia tidak salah lihat? Kenapa kelihatannya Permaisuri sangat sayang pada Trisya? “Yang Mulia-“ “Aku dengar, kamu menyarankan pihak istana untuk mengadakan pemilihan Putri Mahkota tanpa kamu, ya, Trisya? Apa itu benar?” tanya Permaisuri – tepat seperti yang Trisya duga. Trisya menunduk, kemudian mengangguk kecil. Sungguh, ia tidak ada niat menghina keluarga kerajaan sedikit pun. Merendahkan pun tidak. Trisya hanya fokus untuk menyelamatkan dirinya dan keluarganya dari kabar buruk. “Ada apa? Kenapa kamu menyarankan hal seperti itu?” Suara Permaisuri terdengar sendu, layaknya sedang menyimpan sebuah kekecewaan yang besar terhadap Trisya. Trisya merasa serba salah. Ia tidak mungkin menjelaskan yang sesungguhnya. Namun, ia juga takut berbohong di depan Permaisuri. Jika ia sampai ketahuan membohongi Permaisuri, bukankah tidak mustahil ia juga akan mendapat masalah? Terlebih, otaknya terasa buntu sekarang. Ia bahkan tak punya ide untuk sekadar mengarang cerita. “Apa Terry mengancammu, Trisya? Dia yang memaksamu mengatakan itu, sayang?” “Ah … ti- tidak. Saya bahkan belum pernah membicarakan tentang ini pada Yang Mulia Putra Mahkota. Itu … murni dari pemikiran saya sendiri, Yang Mulia. Tapi sungguh, saya tidak ada niatan untuk merendahkan atau menghina keluarga kerajaan. Saya hanya berusaha untuk membuat keadaan ibu kota tetap dinamis – hubungan keluarga kerajaan dengan para bangsawan tetap baik seperti semestinya. Dan saya tidak mau menajdi penghalang dari hal seperti itu,” terang Trisya. Setelah cukup lama berpikir, akhirnya ia berhasil menyusun kalimat-kalimat itu. Permaisuri tak langsung menyahuti ucapan Trisya, membuat gadis berusia tujuh belas tahun itu mulai kembali overthinking. “Y- Yang Mulia, apakah saya salah bicara?” tanya Trisya hati-hati. Jangan sampai pulang dari istana nanti organ tubuhnya sudah tidak utuh karena ucapannya yang dianggap tidak sopan atau sebagainya. “Tidak. Hanya saja, bagaimana kami bisa melakukan itu, Trisya? Bagaimana kami bisa melakukan pemilihan calon Putri Mahkota, sedangkan orang yang kami inginkan untuk menempati posisi itu saja tidak ada?” ujar Sang Permaisuri. “Maaf?” Trisya merasa dirinya baru saja mengalami masalah pendengaran. Ya! Dia pasti salah dengar, kan? Tidak mungkin Permaisuri seberharap itu padanya. Memang apa istimewanya Trisya. “Hanya kamu yang layak menjadi pendamping pemimpin negeri ini setelahku, Trisya. Dan hanya kamu yang layak melahirkan calon pemimpin negeri ini di generasi selanjutnya. Kami berharap banyak padamu,” terang Permaisuri, membuat Trisya sejenak menahan napas saking terkejutnya. Apa iya, di dalam n****+ Permaisuri sesayang ini pada Trisya? Lalu di mana Beliau saat Pangeran Terry mengeksekusi Trisya? Trisya tidak bisa membayangkan, jika wanita lemah lembut di hadapannya kini itu, suatu hari nanti akan menatapnya penuh kecewa dan terlibat dalam pengeksekusian Trisya dan keluarganya. Trisya menggeleng kuat. Tak masalah jika ia kehilangan cinta dan kepercayaan Pangeran Terry. Toh sejak awal Pangeran Terry juga memang tidak pernah peduli pada Trisya, kan? Bahkan, bisa dikatakan dial ah penyebab segala nasib buruk yang terjadi pada Trisya dalam bovel. Trisya gila – menjadi jahat dan kejam karena cintanya yang tak terbalas oleh Pangeran Terry. Tapi, Permaisuri? Trisya tidak bisa merelakan begitu saja perhatian tulus wanita itu. seketika, Trisya pun kembali merasa takut menatap massa depannya. ‘Bagaimana jika pada akhirnya aku tetap tidak bisa mengubah takdir ini? Apa itu artinya aku akan kehilangan kasih sayang Permaisuri? Apa aku akan membuatnya kecewa, lalu membenciku juga sama seperti yang lain?’ batin Trisya. “Trisya, kamu tidak apa-apa? Apa kamu merasa tidak enak badan? Perlu dayang memanggilkanmu tabib istana?” tawar Permaisuri. Benar, kan? Permaisuri sebaik itu pada Trisya. “T- tidak, yang Mulia. Saya tidak apa-apa. Hanya saja, s- saya merasa tidak pantas,” ucap Trisya. “Tidak pantas apa?” heran Permaisuri. “T- tidak pantas mendapat perlakuan seperti ini. Maksudnya, soal pemilihan Putri Mahkota. Jika memang saya tidak bisa mengikutinya, istana tidak perlu menundanya hanya demi saya. Saya rasa-“ “Kamu harus ikut, Trisya. Kamu tenang saja. Kami pasti akan mencari cara sehingga kamu bisa mengikuti pemilihan calon putri mahkota ini. Bahkan kalau memang tidak biasas, aku sudah membicarakannya pada Yang Mulia, agar Yang Mulia segera menunjukmu secara langsung sebagai Putri Mahkota. Yang jelas, kami ingin kamu tinggal di sini bersama kami, mendampingi Terry di masa depan. Karena untuk saat ini, tidak ada yang bisa kami percayai selain keluarga Lovatta, untuk membantu mengatur jalannya pemerintahan ini, sekaligus urusan di dalam istana,” terang Permaisuri. Oh ayolah, di sini usia Trisya baru tujuh belas tahun. Bukankah ia belum seharusnya memikirkan masalah sebesar ini? Masa depan sebuah negara? Itu terlalu berat bagi Trisya. “Trisya, dengarkan aku!” Permaisuri membawa jemari Trisya ke dalam genggamannya, hingga membuat gadis itu terkejut. “Kamu pasti bisa. Kami akan mendukungmu. Dan soal Terry, cepat atau lambat kamu pasti akan berhasil mendapatkan hatinya. Percayalah, Trisya. Aku ibunya. Aku tentu tahu apa yang dibutuhkan putraku.” Trisya menggigit bibir bagian dalamnya. ‘Tapi bukan itu yang saya butuhkan, Yang Mulia. Saya hanya ingin bertahan hidup lebih lama untuk menikmati kekayaan keluarga Lovatta. Di kehidupan sebelumnya, saya hanyalah orang susah yang bahkan mati sebelum sempat merasakan kebahagiaan. Dan sekarang, di sini saya hanya ingin menikmati hidup saya dengan sebaik-baiknya – menjauh sejauh mungkin dari ajal yang dituliskan dalam novel.’
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD