“Kak Aston, lepaskan!” Trisya menghempas tangan Aston yang sedang memaksanya pulang. Trisya tidak mau pulang secepat ini. Karena entah kapan lagi ia bisa memiliki waktu untuk keluar dari kediaman keluarganya seperti ini. Belum lagi, bahkan tujuan utama Trisya keluar dari kediamannya pun belum tercapai. Ia masih harus membeli beberapa perlatan melukis miliknya yang sudah habis atau rusak.
“Trisya, lain kali tolong jaga martabatmu sebagai seorang Lady! Kakak tidak mau masyarakat akan menilaimu dengan buruk!” saran Aston, dengan nada selemah lembut mungkin.
“Jadi Kakak juga memilih percaya pada orang-orang itu?” kaget Trisya. Jujur, hatinya kecewa. Jika Aston saja tidak percaya padanya, bagaimana dengan orang lain? Karena setahu Trisya, di antara semua tokoh yang ada di dalam n****+, Aston adalah salah satu tokoh yang paling mempercayai Trisya.
‘Apa ceritanya memang seperti ini? Atau alurnya sudah mulai berubah? Kenapa keadaannya bahkan lebih buruk dari yang aku perkirakan?’ batin Trisya.
“Trisya, ini bukan soal aku percaya pada siapa-siapa. Sudahlah, lebih baik kita pulang sekarang! Akan lebih baik kalau kamu berada di dalam kediamanmu saja beberapa waktu ke depan,” balas Aston.
Trisya menggeleng. “Kak, aku jarang keluar. Dan bahkan kita belum jadi membeli cat dan peralatan lukisku yang lain, kan?”
“Aku bisa minta pengawalku untuk membelikannya.”
“Tidak mau. Aku ingin beli sendiri sekalian berjalan-jalan,” kekeuh Trisya.
“Trisya, ini demi kebaikanmu,” balas Aston. Tapi Trisya tetap enggan mendengarkan ucapan sepupunya itu. Sepertinya, sifat keras kepala pemilik asli raga ini tertinggal sehingga Milla yang kini menempati raga ini pun ikut memiliki sifat tersebut.
“Trisya, kamu mau ke mana?” tanya Aston saat Trisya berjalan melewatinya.
“Kalau Kakak tidak mau menemaniku, Kakak kembali saja! Aku akan bersenang-senang di kota seharian. Pokoknya aku mau menikmati hidup dan memaksimalkan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya!” tegas Trisya. Ia tahu Aston masih mengikutinya. Sedangkan para pengawal dan dayangnya masih tertinggal di belakang Aston.
Keadaan jalanan kota yang cukup ramai, membuat Trisya begitu mudah memanfaatkan kesempatan. Ia mengawasi keadaan, dan ketika Aston lengah akibat keramaian yang memisahkan mereka, Trisya pun bergegas lari – kabur dari sang kakak yang ia anggap hanya akan menghambat kesenangannya hari ini tersebut.
“Trisya! Trisya, jangan lari!” Trisya masih dapat mendengar suara Aston yang sedang berusaha mengejarnya. Namun, tubuh Trisya yang begitu mungil mempermudah pergerakan gadis itu untuk menerobos keramaian. Merasa lelah, Trisya pun membelokkan langkahnya di sebuah gang sempit yang tampak lebih ‘alami’ dibanding jalanan utama kota yang ramai. Trisya bersembunyi di antara gerobak-gerobak milik para pedagang yang menjajakan jualannya di jalan utama. Gadis itu berjongkok sambil memegangi roknya. Matanya berusaha mengintip keberadaan Aston dan para pengawalnya.
“Huh huh huh huh … Maafkan aku, Kak. Tapi aku hanya ingin mencari hiburan hari ini. Aku ingin merasakan indahnya hidup di luar sangkar. Aku bukan Trisya yang terbiasa terkurung di kediaman yang mewah. Aku Milla, hanya seorang pegawai biasa yang masih butuh bersenang-senang di luar,” gumam Trisya.
Sadar jika sang kakak sepupu dan pasukannya sudah berlalu, Trisya pun kembali menegakkan tubuhnya. Ia merasa letih. Ia juga tidak tahu pasti harus ke mana ia sekarang. Namun yang pasti, ia masih harus berusaha menghindar dari Aston dan yang lainnya. Jadi, ia pikir akan lebih baik jika ia menghindari jalan utama atau jalanan-jalanan yang ramai. Trisya pun memilih menyusuri gang itu, mencari tempat yang bisa ia gunakan untuk beristirahat sejenak sebelum ia melanjutkan perjalanannya.
Tempat ini tak terlalu buruk. Dibanding gang sempit, tempat ini lebih seperti jalanan pedesaan yang memiliki nuansa asri karena di beberapa tempat terdapat beberapa jenis tanaman hias yang cantik. Trisya merasa dirinya seperti sedang menapaki jalanan taman bunga yang memanjang.
Setelah berjalan sejauh hampir seratus meter, akhirnya Trisya melihat sebuah kedai kecil yang cukup sepi. Tampaknya tempat itu cukup baik untuk dia beristirahat. Kebetulan, kakinya juga sudah mulai lelah sejak ia harus berlari tadi. Dengan penuh semangat, Trisya pun melangkah ke arah kedai itu. Namun, baru beberapa langkah, tiba-tiba ada empat orang berbadan kekar menghadang jalannya.
Trisya terkejut bukan main. Ia pun langsung menoleh ke segala penjuru untuk melihat apakah ada orang lain di sini selain mereka. Karena dari penampilan orang-orang yang menghadangnya itu saja, Trisya yakin mereka bukan orang baik-baik.
“Wah wah wah … Nona Muda dari kediaman mana lagi yang kini datang untuk menyapa kita?” ucap salah seorang dari lelaki yang menghadang Trisya itu.
“Wajahnya sangat asing. Pasti Nona ini masih sangat muda dan belum melakukan debut. Benar, kan, Nona?” sahut yang lain.
“Siapa kalian?” Trisya berusaha menyembunyikan ketakutannya. Karena ia tidak mau orang-orang itu merasa semakin menang atas dirinya. Trisya menoleh ke belakang. Jarak antara dirinya dan jalan utama yang ramai itu ternyata belum terlalu jauh. Masih memungkinkan bagi Trisya untuk kabur ke sana dan berteriak meminta bantuan.
“Ada apa, Nona? Apa yang sedang Nona pikirkan saat ini?”
“Nona tidak sedang bebrniat kabur dari kami, kan? Kami di sini hanya ingin berkenalan dengan Nona. Karena kebetulan kami suka berteman dengan para putri bangsawan.”
Trisya menghela napas panjang saat empat orang itu mulai mengelilinginya, seakan tahu apa yang sedang ada dalam pikiran Trisya saat ini.
“Aku datang ke sini bersama saudaraku dan para pengawal. Jadi, sebaiknya kalian pergi sebelum- ah! Apa yang kau lakukan?” Trisya terlonjak kaget saat salah seorang dari preman itu hendak membungkamnya dengan sebuah sapu tangan ketika Trisya hendak mencoba mengancam.’
“Diam! Jangan banyak bertingkah, Nona!” sentak salah seorang dari mereka.
“Lepas! Aku bilang lepas! Tolong! Tol- tolong!” Trisya berteriak histeris. Namun anehnya, meski jarak antara mereka dan keramaian itu tidak terlalu jauh, tak ada seorang pun yang tampak ingin menolong Trisya. Semua orang yang berlalu Lalang tampak acuh. Kalau sudah begini, Trisya jadi menyesal kabur dari Aston.
“Menurutlah, Nona! Kami tidak akan menyakitimu kalau kamu mau menurut. Kami hanya mau uang dari keluargamu, dan akan segera melempaskanmu setelah kami mendapatkan apa yang kami inginkan itu!” tegas mereka.
“Tidak! Aku itu kabur dari kakakku agar aku bisa bebas bersenang-senang, bukannya malah berpindah menjadi tahanan kalian, sialan!” umpat Trisya. Jiwa bar-barnya sebagai Milla mulai muncul. Ia berontak sekuat tenaga, hingga akhirnya salah satu dari preman itu memukul kepalanya hingga mendadak terasa pening.
Trisya terduduk di tanah sambil memegangi kepalanya dengan satu tangannya yang terbebas. Sedangkan satu tangannya yang lain masih dicengkram erat oleh salah satu penjahat itu. Trisya juga mulai merasakan adanya sebuah kain yang membekap hidungnya, membuatnya semakin merasa pusing dan lemah hingga ia tak bisa lagi melakukan perlawanan.
‘Astaga! Apa ini hukuman untuk gadis yang kabur dan membuat kakaknya kerepotan?’ batin Trisya. Sungguh, ia sangat menyesal dan berharap ada keajaiban yang membuat Aston tiba-tiba muncul menyelamatkannya, seperti yang biasa ia lihat di sinetron-sinetron. Namun sayangnya, kehidupan yang Trisya jalani kini tidak mungkin akan semulus seperti dalam sinetron, kan?
Saat Trisya sudah benar-benar pasrah dan membiarkan para penjahat itu menculiknya, ia mendengar suara gaduh disusul oleh sentakan kasar di tangannya. Akhirnya, Trisya benar-benar terjatuh karena kini tak ada lagi yang menahan tangannya. Namun, belum sempat kepala Trisya menyentuh tanah, Trisya bisa merasakan sebuah lengan yang menahan bahunya.
“Tidak! Jangan pingsan! Bangunlah! Nona Trisya, jaga kesadaran Anda!” ujar orang yang merangkul bahu Trisya itu. Merasa sangat familier dengan suara itu, akhirnya Trisya pun memaksakan diri untuk mendongakkan kepalanya.
Semua tampak seperti mimpi. Bagaimana mungkin Pangeran Terry tiba-tiba bisa ada di sini? Bukankah tadi lelaki itu berniat mengawal Lady Rania? Trisya tersenyum miris. Sepertinya mata dan otaknya benar-benanr sedang kacau, sampai-sampai ia bisa ‘melihat’ sosok Pangeran Terry di hadapannya.
“Nona! Trisya! Kau dapat mendengarku, kan?”
Namun, bukankah orang sembarangan tidak akan mungkin memanggil Trisya langsung dengan nama sapaannya?
Di tengah keadaannya yang setengah sadar, tiba-tiba saja Trisya teringat sebuah adegan dalam n****+. Adegan yang awalnya Trisya kira sebagai awal pertemuan Trisya dengan Pangeran Terry. Adegan yang digambarkan dalam n****+ sebagai awal mula kemunculan sosok si antagonis itu.
Trisya mendorong d**a Terry ketika kesadarannya perlahan mulai kembali. “Lepas!”
“Yang Mulia, semua sudah dibereskan dan kami akan segera memasukkan mereka ke penjara,” ujar Tablo.
Pangeran Terry mengeraskan rahangnya, menatap marah ke arah Tablo. “Apa? Penjara? Apa menurutmu penjara adalah tempat yang tepat untuk para penjahat yang telah melukai putri seorang Duke, sekaligus adik kesayangan sahabatku?”
“Mohon maafkan hamba, Yang Mulia. Mohon petunjuk dari Yang Mulia Pangeran. Hukuman seperti apa yang sekiranya layak untuk para penjahat itu?” Tablo menundukkan kepalanya saat bicara pada Pangeran Terry. Sementara itu, Trisya setengah menyimak dengan kepalanya yang masih terasa pening.
“Penggal kepala mereka semua!” geram Pangeran Terry.
Trisya yang mendengarnya pun bergedik ngeri dan langsung menatap Pangeran Terry horror. Namun ternyata laki-laki itu sekarang malah sedang sibuk menatap sesuatu. Penasaran, Trisya pun mengikuti arah pandang Sang Pangeran, kemudian mendapati tangannya yang sudah memerah, bahkan terdapat luka kecil di sana.
“Ash … kenapa aku tidak menyadari keberadaan luka-luka ini?” keluh Trisya.
“B- baik, Yang Mulia. Kami akan melaksanakan perintah Yang Mulia Putra Mahkota.” Terdengar nada keraguan dari suara Tablo. Tapi, memang siapa yang akan dengan tenangnya menyetujui permintaan seseorang untuk memenggal kepala orang lain?
“Yang Mulia, tapi, bukankah itu sedikit berlebihan? Tuan Tablo, mohon berhenti sebentar!” Ucap Trisya kelabakan.
“Apanya yang berlebihan, Nona?” bingung Pangeran Terry.
“Kesalahan mereka tidak seburuk itu. Mereka hanya berniat menculikku untuk mendapat tebusan, bukannya berkhianat pada kerajaan kerajaan. Maksud saya- ah!” Trisya mengakhiri ucapannya dengan ringisan saah Pangeran Terry menyentuh lukanya.
“Yang seperti ini kamu bilang bukan kesalahan besar?” tanya Pangeran Terry dengan nada heran.
“Tapi tidak sebesar itu hingga harus membuat mereka meregang nyawa, Yang Mulia,” kekeuh Trisya. Sungguh, ia tidak mau menjadi alasan atas kematian orang. Apalagi empat orang sekaligus. Bisa semakin hancur reputasinya kalau hal itu benar-benar terjadi.
“Kau sedang meragukan persahabatanku dengan Darian?” tuduh Pangeran Terry.
“Apa? Siapa yang berkata demikian? Saya hanya-“
“Saya hanya sedang menuntut keadilan untuk adik dari sahabat saya, Nona Trisya. Jadi, mohon kerjasamanya!” tegas Pangeran Terry. Sepertinya laki-laki itu tidak berniat untuk mengganti hukumannya.
“Di mana aku bisa menemukan tabib terdekat?” tanya Pangeran Terry pada Tablo.
“Tak jauh dari sini ada, Yang Mulia. Ke arah sana, mungkin sekitar dua ratus lima puluh meter dari sini,” jawab tablo yang segera diangguki Pangeran Terry.
“Kamu bisa berjalan sendiri?” tanya Pangeran Terry pada Trisya.
“B- bisa. Tapi, bisakan Yang Mulia ganti dulu titah Yang Mulia tadi?” Trisya memohon.
“Tidak.” Pangeran Terry merangkul Trisya – membantu gadis itu untuk bangkit dengan setengah paksa.
‘Tunggu dulu! Harusnya bukan seperti ini kejadiannya. Seingatku Pangeran Terry langsung pergi setelah menolong Lady Trisya,’ jerit batin Trisya.
“Yang Mulia, saya mohon. Akan menjadi beban yang sangat berat bagi saya jika sampai ada empat nyawa yang melayang karena saya. Saya mohon, beri keringanan pada mereka! Lagi pula, luka saya tidak parah. Saya tidak apa-apa,” Trisya kembali memohon.
Pangeran Terry menatap Trisya dengan tatapan yang rumit. “Jika aku mengubah hukuman untuk mereka, Nona akan diam dan menurut?”
Trisya mengangguk ragu. Toh ia tak punya pilihan lain, kan? Karena yang terpenting sekarang, Trisya bisa menyelamatkan nyawa penjahat-penjahat itu dan membuat mereka mendapat hukuman sesuai ketentuan yang berlaku di istana.
Pangeran Terry akhirnya menolehkan kepalanya ke arah Tablo. “Penjarakan mereka seumur hidup!” titah Pangeran Terry mutlak.
Meski bagi Trisya hukuman itu masih terlalu berat, namun setidaknya itu sudah lebih baik dibanding keempatnya mati akibat hukuman yang berhubungan dengan Trisya.
“Ah!” Trisya tersentak. Pasalnya, tiba-tiba saja Pangeran Terry mengangkat tubuh itu dengan sangat mudah, dan menggendongnya ala bridal style.
“Yang Mulia, saya-“ Trisya bersiap untuk protes, namun ucapannya sudah lebih dulu dipotong oleh Pangeran Terry.
“Bukankah Anda sudah berjanji untuk diam dan menurut, setelah saya meringankan hukuman mereka?” potong Pangeran Terry tegas, membuat Trisya tak dapat membantah lagi. Akhirnya, Trisya hanya bisa menyembunyikan wajahnya di d**a Sang Pangeran karena pusing dan malu yang saat ini dia rasakan.
‘Benarkah ini tempat yang digambarkan dalam n****+ menjadi tempat pertemuan Pangeran Terry dengan Lady Trisya yang asli? Berdasarkan deskripsinya sih mirip. Tapi dalam mimpi itu, bukankah Lady Trisya yang asli mengatakan jika tempat pertemuan kami waktu itulah tempatnya?’ bingung Trisya.