Trisya menundukkan kepalanya. Berusaha fokus dengan hidangan mewah yang kini ada di hadapannya. Pagi ini, suasana di meja makan memang tampak begitu istimewa. Beraneka ragam makanan mewah nan lezat tersaji dengan tatanan yang serba berkelas. Ini semua pasti demi untuk menyambut Sang Pangeran.
“Kau terlihat begitu menikmati makananmu. Jadi aku simpulkan, kau sudah sembuh,” ujar Pangeran yang membuat Trisya mendongak. Gadis itu tidak berani menatap Pangeran lama-lama. Ia takut terpikat oleh keindahan paras pria yang seharusnya ia hindari itu.
“Trisya, katakan sesuatu pada Pangeran! Sejak tadi kau banyak terdiam. Kau tidak sedang sakit, kan?” tegur sang ayah – Duke Gerald.
“Seperti yang Anda lihat, Pangeran,” ucap Trisya sebisa mungkin tetap sopan. Memang, ia harus mengatakan apa lagi?
Namun, sepertinya ucapannya barusan masih saja dianggap sebuah kesalahan bagi semua orang yang ada di sana. Tampak dari bagaimana mereka semua kompak membuat suasana menjadi terasa lebih canggung begitu Trisya selesai mengatakan ucapannya.
Trisya menatap satu per satu orang di sana kecuali Pangeran Terry. Menyadari suasana menjadi kurang nyaman, ia pun lantas berdehem hingga membuat Duke semakin menajamkan matanya.
“Trisya, apa kau sedang tidak sehat, putriku?” tanya Duchess Amara.
“Aku …” Seketika tatapan Trsiya bertemu dengan manik gelap yang menyorot aneh ke arahnya – Pangeran Terry. ‘Kenapa dia menatapku seperti itu? Dia mau terang-terang menunjukkan ketidaksukaannya padaku atau apa?’
“Aku- maksudnya saya tidak apa-apa, Bu. Tapi jika diizinkan, setelah sarapan nanti, bolehkah saya langsung istirahat di kamar saja? Mungkin saya memang butuh lebih banyak istirahat,” jawab Trisya.
“Trisya, Yang Mulia datang untuk menjengukmu. Dan bukankah kemarin-kemarin keadaanmu sudah membaik?” sambung Darian. Trisya harus ingat. Selain berstatus sebagai kakaknya, Darian juga merupakan salah satu orang yang paling dekat dengan Pangeran Terry. Untuk itu, ia tidak bisa sepenuhnya mengandalkan kakaknya itu.
“Saya baik-baik saja. Kalau memang Nona tidak ada waktu untuk bicara pada saya, saya masih bisa berkeliling di kediaman Lovatta untuk mengisi waktu sampai tiba saatnya saya kembali ke istana,” sambung Pangeran Terry.
‘Cih. Kenapa dia tidak langsung pulang saja?’ keluh Trisya dalam hati.
Meski Pangeran Terry memiliki paras yang luar biasa tampan melebihi anggota boy band Korea favorit Trisya, namun tetap saja orang itu ditakdirkan menjadi malaikat pencabut nyawa Trisya yang sebenarnya dalam n****+. Jadi sebisa mungkin, akan lebih baik jika Trisya berusaha menghindari takdir buruk itu jika tidak ingin hidup keduanya berakhir tragis.
‘Ya kali, setelah aku mati sebagai Milla dengan tragis, jatuh dari bangunan gedung saat berusaha melerai temanku yang sedang berkelahi, di sini pun aku masih harus mati konyol di tangan pria yang berstatus sebagai tunanganku?’ batin Trisya.
Trisya menggeleng-gelengkan kepalanya. Setelah itu, ia mempercepat kegiatan makannya. Meski ia tidak bisa pergi sebelum anggota yang lain selesai, setidaknya ia bisa langsung berpamitan sebelum ada orang yang menyela perkataannya nantinya.
“Maaf, Yang Mulia, Ayah, Ibu, Kakak, tapi bolehkah saya ke kamar sekarang?” pamit Trisya.
“Jika sakit, kau bisa langsung meminta Layla menyiapkan obatmu, Trisya. Tapi yang pasti kau tidak bisa pergi begitu saja hari ini, karena di sini ada Yang Mulia Pangeran yang datang khusus untuk kamu,” terang Duke.
“Eh?” Trisya hendak melontarkan protes. Namun, suaranya sudah lebih dulu teredam oleh suara milik Pangeran Terry.
“Tidak apa, Duke. Untuk saat ini, kesehatan Nona Trisya adalah yang utama. Saya tidak mau kedatangan saya di sini justru hanya akan membuat keadaannya menjadi semakin buruk,” sambung Pangeran Terry.
Trisya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sudah sepantasnya Pangeran Terry membantu Trisya untuk lolos dari keadaan ini. Toh, pria itu juga pasti tidak mau menghabiskan waktu bersama Trisya, kan? ‘Sama. Aku juga ogah bicara terlalu lama sama kamu. Takut oleng,’ jerit batin Trisya.
“Jadi, ini saya boleh langsung ke kamar, kan?” tanya Trisya tidak sabaran.
“Biarkan saya mengantarny, Nona Trisya,” ujar Pangeran Terry yang membuat mata Trisya membola.
“Eh, tidak usah,” tolak Trisya dengan senyum yang dipaksakan. Sadar ucapannya terkesan terlalu santai, Trisya cepat-cepat meralatnya, “Mak- maksud saya, Anda tidak perlu mengantar saya, Yang Mulia. Bukankah Anda ingin berkeliling? Maka sebaiknya Anda segera berkeliling saja ditemani Kak Darian,” usul Trisya.
“Hm. Dan kita bisa mulai berkelilingnya dari kamar Nona Trisya, kan, Darian?” tanya Pangeran Terry.
“Hah?!” kaget Trisya. Apa dia tidak salah dengar? Sebenarnya apa yang sedang pangeran tampan itu rencanakan? Kenapa mendadak ‘baik’ dan ‘perhatian’ seperti ini pada Trisya?
“Bisa, Yang Mulia,” jawab Darian. Trisya melongo menatap satu per satu orang yang ada di meja makan, dan berakhir dengan tatapan tajam yang ia lontarkan pada sang kakak. ‘Dasar tidak bisa diandalkan sama sekali!’
“Kalau begitu, silakan, Yang Mulia. Mohon nikmati waktu Anda di sini dengan baik! Dan jika Anda memerlukan sesuatu, jangan sungkan untuk langsung mengatakannya pada saya atau pun Darian. Kami akan selalu berusaha memberikan pelayanan yang terbaik selama Yang Mulia ada di sini,” ujar Duke menyahuti.
“Terima kasih, Duke. Kalau begitu, saya mohon permisi. Mari, Nona Trisya! Mari Darian!” pamit Pangeran Terry, sembari mengajak sepasang kakak beradik itu untuk ikut dengannya.
Trisya memilih berjalan di belakang Pangeran Terry. Ia menunduk canggung dengan hati yang masih dongkol. “Nona tidak apa-apa?” bisik Layla.
“Aku hanya ingin segera sampai di kamarku, Layla,” jawab Trisya.
“Nona Trisya,” panggil Pangeran Terry.
“Ya, Pangeran?”
“Kenapa dari tadi kau terus terdiam? Apa kau sakit?” tanya Pangeran Terry sambil menolehkan kepalanya.
“Iya, Trisya. Kau tampak berbeda hari ini. Kau yakin, tidak perlu memanggil tabib?” sambung Darian. Trisya hanya memutar bola matanya malas.
“Berjalanlah di sini, Trisya! Jangan di belakang seperti itu. Kakak bisa telat mengetahuinya kalau kamu sampai pingsan.” Darian membawa Trisya untuk berjalan di samping Pangeran Terry. Darian memegangi lengan adiknya – berusaha selalu memastikan jika Trisya tidak akan tiba-tiba ambruk tidak sadarkan diri di jalan.
“Aku tidak apa-apa, Kakak,” ujar Trisya yang mulai jengah dengan perlakuan sang kakak.
“Kakak hanya ingin menjagamu,” balas Darian. Akhirnya, Trisya hanya bisa pasrah, membiarkan sang kakak menuntunnya seperti orang sakit.
Setibanya di depan pintu kamar, Pangeran Terry memutar tubuhnya menghadap ke arah Trisya hingga membuat Lady Lovatta itu menyeritkan alisnya. “Anda tidak berniat untuk ikut masuk ke dalam, kan? Saya tahu Anda seorang pangeran – bahkan putra mahkota di kerajaan ini. Tapi sangat tidak baik jika seorang pria masuk ke kamar seorang perempuan begitu saja, tanpa adanya hubungan apa pun di antara mereka,” oceh Trisya.
Darian memilih diam, selagi apa yang adiknya katakan tidak salah. Ia khawatir adiknya yang rapuh itu akan kenapa-kenapa kalau ia malah mengajaknya berdebat sekarang.
“Saya bisa menunggu Darian di sini. Biar dia mengantarmu masuk dan memastikan kamu beristirahat dengan baik terlebih dahulu,” ucap Pangeran Terry.
‘Loh, kok baik?’ batin Trisya. Seingat Trisya, Pangeran Terry dalam n****+ selalu bersikap dingin pada Trisya, entah sejak kapan.
Trisya menoleh ke arah sang kakak, dan Darian menganggukkan kepalanya, pertanda jika ia juga ingin mengantar Trisya hingga ke dalam.
“Baiklah. Kalau begitu, saya permisi, Yang Mulia. Sekali lagi, mohon maaf karena saya tidak bisa menemani Anda lebih lama, meski Anda sudah menyempatkan waktu Anda yang berharga untuk menjenguk saya,” ungkap Trisya setengah tulus.
“Tidak masalah. Toh masih ada lain waktu,” jawab Pangeran Terry.
Apa Trisya tidak salah dengar? Lain waktu? Siapa juga yang masih mau berjumpa dengan pria itu setelah ini? Kalau bisa, justru Trisya ingin segera kabur. Tinggal di kota yang jauh dari istana agar ia tidak bisa bertemu lagi dengan Pangeran Terry. Namun sayangnya Trisya tidak bisa melakukannya, karena akan sangat sulit baginya untuk mendapat izin dari Duke, mengingat ia merupakan putri bungsu bangsawan kelas tinggi di sini.
“Kau melamun? Kakak jadi semakin yakin kalau kau tidak sedang baik-baik saja,” komentar Darian ketika ia membantu Trisya berbaring di atas tempat tidurnya.
“Memangnya aku kenapa? Aku tidak apa-apa. Aku hanya ingin beristirahat, Kakak,” jawab Trisya.
“Tidak mungkin. Bahkan jika kau demam tinggi, Kakak yakin kamu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan emas kali ini. Pangeran sedang di sini, Trisya. Bukankah itu yang kau mau? Dan Kakak sudah berhasil membawanya ke sini untukmu. Tapi kenapa kamu malah tidak mau menemaninya?” selidik Darian.
Trisya melemparkan tatapan mematikan – memelas. Membuat Darian hanya bisa menghela napas panjang. “Kakak hanya khawatir ada yang bergeser di kepalamu. Kau sangat aneh, Trisya. Tidak biasanya kau seperti ini pada Pangeran,” terang Darian yang segera mengubah nada bicaranya menjadi lebih halus agar Trisya tidak tersinggung.
“Kakak, Pangeran pasti menunggu Kakak sekarang. Jadi, bisakah-“
“Baiklah baiklah. Kakak tahu kau sedang berusaha mengusir Kakak sekarang. Terserah. Tapi, Kakak rasa kau emmang harus benar-benar istirahat, Trisya. Maka dari itu, beristirahatlah dengan baik! Kakak akan segera kembali saat ada waktu nanti,” ujar Darian sambil mengusap puncak kepala Trisya.
Trisya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Setelah itu, pria itu pun keluar untuk kembali menghadap pada sang pangeran yang menunggu di luar.
“Kau sudah pastikan dia akan beristirahat?” tanya Pangeran Terry.
“Sudah, Yang Mulia.”
“Apa kau yakin dia tidak membutuhkan tabib?” tanya Pangeran Terry lagi.
“Sepertinya tidak. Akan lebih baik kalau untuk saat ini ia benar-benar beristirahat saja. Dan kedatangan tabib mungkin hanya akan mengganggunya,” jawab Darian.
Pangeran Terry menatap pintu kamar Trisya yang telah kembali tertutup rapat. Entah kenapa, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Apa hanya perasaannya saja, atau memang ada yang aneh dengan gadis itu? ‘Dia sangat berbeda dengan Trisya yang terakhir kali aku temui. Ini bukan salah satu dari tanda-tanda kematian yang sudah dekat, kan?’
Pangeran Terry teringat kembali dengan ucapan sang nenek saat dirinya masih kecil dulu. Kata nenek – mendiang Ibu Suri, orang-orang terkadang memang bersikap aneh saat mendekati ajalnya. Sebenarnya Pangeran Terry tidak terlalu peduli pada Trisya. Tapi, membayangkan gadis semuda itu berada sangat dekat dengan kematian, sepertinya hal itu cukup membuatnya ngeri.