Chapter 5 - Sah

1539 Words
Mendengar ucapan Omar, tanpa berpikir panjang, Leon langsung menarik kerah lehernya, kemudian memukulnya secara membabi buta. Bahkan, Leon sudah tidak memikirkan tatapan orang-orang yang berada di sekitar mereka. Bagai mendapatkan tontonan gratis, dalam waktu sekejap, begitu banyak orang yang sudah mengerumuni mereka. Bukannya melerai, beberapa malah sibuk mengabadikan momen langka perkelahian antara dokter dan juga seorang CEO. Omar yang belum siap dengan serangan ‘pun, hanya bisa pasrah dengan apa yang dilakukan oleh Leon kepadanya. Padahal belum sempat Omar menjelaskan, namun Leon sudah menghajarnya habis-habisan tanpa henti. Pasalnya, salah Omar juga yang tiba-tiba mengatakan jika dirinya adalah Ayah dari sang bayi, yang entah bayi siapa yang dimaksud olehnya. Padahal Eva hanya mengantar Raina ke rumah sakit. “Stop Bang!” jerit Eva, ketika menyadari amarah Leon sudah tidak bisa terbendung lagi. Apalagi ketika setelah mendengar jika, Eva tengah mengandung anak dari pria Asing, yang tentu tidak dikenalnya sama sekali. Siapa juga yang tidak marah, jika tiba-tiba saja, adik satu-satunya mengalami hal yang sangat memalukan seperti ini. Bagi Leon ini adalah aib. Apalagi status keluarga mereka yang bukan dari kalangan biasa. “Leon, stop!” jerit Raina bersamaan dengan Eva. Mereka bingung harus melakukan apa saat ini. Eva berusaha menahan lengan sang Kakak, namun sayangnya kekuatan Eva tidaklah sebanding dengan Leon, yang tentu jauh lebih kuat darinya. Eva yang berusaha menahan sang Kakak malah terjerembab ke belakang karena dorongan tidak sengaja dari Leon. Raina yang melihat Eva segera membantu adik iparnya untuk berdiri. “Stop By, hentikan! Malu diliatin orang!” teriak Raina seraya berusaha menarik lengan Leon agar segera menghentikan aksi konyolnya. “Persetan dengan orang-orang, yang jelas si b******k ini harus menanggung akibatnya.!” Teriak Leon. Karena keributan yang dibuat Leon, semua staf rumah sakit berhambur keluar, menghampiri kerumunan yang sudah membentuk lingkaran mengelilingi Omar dan juga Leon. “Stop-stop, ada apa ini, Pak?” tanya dokter Kevin yang langsung menengahi perkelahian Omar dan Leon. Bahkan beberapa orang sudah berhasil menahan Leon agar tak melanjutkan kegiatan hajar menghajarnya. “Jangan ikut campur, ini urusan saya dengan si b******k ini. Lepaskan Saya!” teriak Leon berusaha melepaskan dirinya. Namun kali ini Leon benar-benar sudah tidak bisa bergerak, karena dia telah ditahan oleh tiga orang sekaligus. Tentu membuat Leon sama sekali tidak bisa bergerak, walaupun hanya sedikit. “Tolong bawa suami saya ke dalam mobil, kalo perlu diikat saja,” pinta Raina sedikit memohon. “dan Kamu, ikut kami pulang sekarang juga!” titah Raina, kepada Omar yang sudah lemas karena dihajar oleh Leon tentunya. Tanpa mengatakan apapun, Omar segera berjalan dengan terseok-seok menuju ke dalam mobilnya. Sudut bibir Omar sedikit berdarah dan pipinya memar karena ulah Leon. “Dok, tunggu! Yakin, mau bawa mobil sendiri?” teriak dokter Kevin ketika menyadari Omar hendak pergi menggunakan mobilnya. “Tenang saja, biar saya yang membawa mobilnya,” jelas Eva yang tiba-tiba memotong ucapan dokter Kevin yang belum selesai. Eva segera menyusul dan segera duduk di kursi penumpang. Omar yang menyadari kehadiran Eva hanya meliriknya menggunakan ekor matanya. “Awas saja kalo kalian kabur!” teriak Leon dari dalam mobilnya. “Kamu, juga harus ikut!” teriak Leon seraya menunjuk ke arah dokter Kevin. “Kok jadi panjang begini sih urusannya, malah aku nggak tau permasalahannya lagi. Apa Aku kurang briefing kali ya,” gumam dokter Kevin, yang hanya menurut dengan keadaan. Tidak mungkin juga dirinya membiarkan Omar pergi sendiri. Dia sudah menduga jika ini adalah buntut dari permasalahan beberapa pekan lalu. Kini Eva dan Omar berada di dalam satu mobil. Eva merasa sangat geram dengan apa yang barusaja terjadi. Omar menampelkan keningnya pada lengannya yang berada di atas kemudi mobilnya. “Lo, apa-apaan sih, pake bilang kalo aku hamil. Aku tuh nggak hamil!” teriak Eva seraya menghadap ke arah Omar. Mereka hanya berdua di dalam mobil Omar, karena dokter Kevin memilih membawa mobilnya sendiri. “Aku hanya ingin bertanggung jawab,” jawab Omar singkat. Dia sebenarnya enggan untuk berdebat dengan Eva, apalagi setelah keadaannya yang begitu memilukan saat ini. Omar memposisikan duduknya kemudian menghadap ke arah Eva sesaat, mengamati wajahnya sebentar sebelum dia kembali menghadap ke arah depan. “Bertanggung jawab apa coba, gua nggak hamil!” kata Eva dengan tegas. Eva menyandarkan punggungnya di kursi penumpang dengan begitu frustrasi. “Jangan mengelak, apapun yang terjadi, aku akan bertanggung jawab penuh kepada bayi itu. Jangan sampai kamu buang anakku!” sahut Omar. “Anak? Anak siapa yang lo maksud, anak Cacing? Hello, gua nggak hamil, lebih baik lo pergi sekarang juga. Gue nggak mau menikah sama elo!” Eva memutar kedua bola matanya dengan jengah. Berharao hari ini tak pernah terjadi kepadanya. Tanpa mengatakan apapun, Omar segera melajukan mobilnya membelah keramaian kota. Setelah perjalanan setengah jam, akhirnya Omar kini sudah duduk di ruang tamu. Tentunya dengan tatapan intimidasi dari Leon. Tatapan tajamnya tak membuat Omar gentar sedikit ‘pun. Omar tidak ingin melakukan kesalahan seperti yang sudah dilakukan oleh Jeckson kepada Maita. Meskipun kasus mereka sangat jauh berbeda. Namun, pengalaman itu membuatnya menjadi sedikit trauma. “Saya akan bertanggung jawab penuh,” kata Omar penuh keyakinan. “Bagus jika begitu, menikahlah sekarang juga!” ujar Leon tanpa menunggu penjelasan dari Eva. “Tapi, Bang. Ini tuh nggak seperti itu. Aduh, kenapa jadi panjang begini sih, permasalahan. Aku jelasin deh, bagaimana detailnya. Begini awal mula.” Eva berusaha menolak rencana sang Kakak yang begitu mendadak. Dia kira menikah dengan cara seperti ini akan membuat Eva bahagia, apalagi menikah dengan pria yang tak dikenalnya sama sekali. “Tidak perlu. Penghulu sebentar lagi tiba. Siapkan mahar yang ada. Jika tidak ada aku yang akan membiayai segalanya. Kau cukup bertanggung jawab kepada adikku saja. Jika tak punya pekerjaan Aku akan memberikan itu,” potong Leon dengan angkuhnya. Siapa yang tak mengenal Leonard Emillio, seorang CEO kaya raya yang memiliki segalanya. Bahkan semua bisa dibeli olehnya hanya dengan menjentikkan jarinya saja. “Tenang saja, saya bukan seorang pengangguran yang tak memiliki masa depan. Saya bisa dan bahkan mampu membahagiakan adik Anda,” jawab Omar dengan tegas dan penuh keyakinan. “Bagus, jika begitu.” “Sebentar lagi, sepupu saya akan tiba. Dia yang akan menggantikan orang tua saya, karena mereka tidak mungkin bisa tiba sekarang. Maaf, jika cara melamar saya tidaklah terhormat. Akan tetapi saya berjanji akan membahagiakan, Eva.” “Simpan saja janjimu, aku tidak butuh itu. Cukup kau buktikan ucapanmu.” Leon seolah menantang Omar. Tak berselang lama, Jackson dan Maita datang bersamaan dengan penghulu yang akan menikahkan Eva dan juga Omar. “Omar, ada apa ini?” tanya Maita dengan wajah yang begitu bingung. Apalagi setelah melihat wajah Omar yang sudah tidak mulus lagi, karena penuh memar akibat serangan brutal dari Leon tentunya. “Loh ... Loh ini, Mbak Maita ‘kan?” tanya Raina yang baru saja keluar dari arah dapur membawa nampan berisikan minuman. “Loh, Mbak Raina.” Keduanya saling tunjuk, sehingga membuat mereka tertawa bersama-sama. “Ternyata dunia ini sempit ya,” lanjut Maita. Sementara Jackson langsung mendapatkan penjelasan dari Leon. Kebetulan keduanya sudah saling mengenal dengan baik. Sehingga percakapan mereka berjalan dengan baik. “Ngeselin banget, sih. Malah ngerumpi di saat yang nggak tepat. Ini nasib gue gimana,” gumam Eva yang sudah tak bisa melakukan apapun. Terlebih lagi, jika sudah Leon mengambil keputusan, mau hujan badai juga tidak akan bisa menghalangi niatnya itu. Eva tidak bisa melakukan apapun selain pasrah dengan keadaan. “Nah karena penghulunya sudah tiba, mari kita langsungkan pernikahan ini,” kata Leon. Dia tidak ingin menunda lagi, apalagi setelah mendengar penjelasan Omar yang sempat bertemu dengan Eva beberapa waktu lalu. Bahkan Omar juga menceritakan semua detail kejadian beberapa waktu lalu, yang mana hal itu semakin membuat Eva dilanda frustasi yang begitu hebat. ‘Lengkap sudah penderitaanku kali ini.’ Gumam Eva di dalam hatinya. Setelah persiapan dadakan siap, Omar segera mengucapkan akad. “Saya terima nikah dan kawinnya Camellia Evalina binti almarhum Kemal Emillio dengan mas kawin tersebut tunai.” “Bagaimana saksi? Sah?” “Sah!” jawab semua yang ada di ruangan secara serempak. “Alhamdulillah.” Penghulu melanjutkan membaca doa. “Tidak mungkin,” kata Raihan, yang berdiri mematung di ambang pintu menatap ke arah Eva dan juga Omar yang tengah duduk di depan penghulu. “Ada apa ini?” Raihan semakin dibuat bingung. Penglihatannya mendadak menjadi berkunang-kunang, Raihan—pun kehilangan kesadarannya. “Raihan!” teriak Raina ketika menyadari adiknya tak sadarkan diri. “Kak, Rai kenapa?” tanya Eva yang segera berlari menghampiri Raihan meninggalkan Omar. “Biar aku lihat,” kata Omar yang ikut memeriksa keadaan Raihan. “Dokter selesaikan saja dulu permasalahan kalian, biar Saya yang tangani Mas Raihan,” kata dokter Kevin. “Terimakasih ya, dok,” jawab Omar. Raihan segera dilarikan ke rumah sakit. Sementara Omar dan Eva harus menyelesaikan urusan mereka yang belum selesai sepenuhnya. Semua orang sudah pergi, kini tinggal Eva dan juga Omar. Keluarga yang lain menyusul ke rumah sakit untuk mengurus Raihan. “Kalian sudah menikah, tanggung jawabku sebagai seseorang kakak sudah berpindah kepadamu. Aku titipkan adikku. Dan kamu Eva, ini hukuman untukmu, apa ‘pun yang terjadi. Kamu harus menurut dengan suami dan kemana ‘pun dia pergi, kamu harus ikut serta mendampingi selayaknya seorang istri. Kamu harus patuh kepada suamimu!” kata Leon tanpa ekspresi. “Tapi, Bang!” “Bawa dia!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD