Chapter 4 - Ayah Bayinya

1354 Words
Omar segera menghampiri wanita yang dipanggilnya. “Ya, dok, ada apa ya?” jawab wanita asing, yang baru saja menoleh ke arahnya. Omar yang menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali karena merasa malu. Ternyata dia salah mengenali orang. “Eh, Maaf saya salah mengira. Saya kira Anda adalah orang yang saya kenal, sekali lagi Saya minta maaf, telah mengganggu waktunya. Silahkan dilanjutkan!” kata Omar kemudian membalik badannya dan segera bergegas menuju ke ruang kerjanya, sembari menutupi wajahnya menggunakan map karena malu. Wanita itu hanya mengernyitkan dahinya karena bingung, dengan tingkah Omar yang menurutnya tidak jelas sama sekali. “Dasar aneh,” gumam wanita itu. Di sepanjang dia berjalan di lorong rumah sakit, dia merutuki kebodohannya. “Bisa-bisanya Aku melakukan kesalahan. Apa karena, Aku masih dalam efek mabuk, sampai begini?” gumam Omar. Omar kembali ke ruangannya setelah apel paginya selesai. Omar segera duduk di kursi kerjanya, dan memulai membuka satu-persatu daftar pasiennya hari ini. Karena terlalu fokus dengan pekerjaannya, Omar bahkan tak menyadari jika dokter Kevin sudah berdiri mematung di ambang pintu, menatapnya sembari tersenyum geli. “Dok, Anda itu sengaja mengacuhkan Saya, atau memang benar-benar tak menyadari keberadaan saya di sini? Udah ngalahin keviralan hantu rumah sakit kalo emang, Aku diacuhkan,” gumam dokter Kevin di akhir kalimat. “Hah, Hantu?” teriak Omar yang samar-samar mendengar ucapan dokter Kevin, diakhir kalimatnya. “Nah, giliran disinggung soal yang begituan baru bereaksi,” kata dokter Kevin terkekeh. “Jangan bilang dia ada di sini?” tanya Omar waspada, dia juga melirik ke kiri dan juga kanan seolah mencari keberadaan hantu yang dikatakan oleh dokter Kevin. Siapa yang tidak tahu, Kevin si indigo. Selain spesialin gigi dia juga dikenal dengan dokter spesialis hantu wanita. “Ayolah, dok. Saya sedang tidak ingin membahas dunia perhantuan. Lagian, yang ada Anda malah lari jika saya menceritakan semuanya. Udah sini ceritain si cantik yang semalam. Ngaku deh, kalian sudah ngapa-ngapain ‘kan?” cecarnya sembari berjalan mendekat ke arah Omar. “Ngapain itu yang bagaimana sih, dok?” Sementara Omar hanya berdecak, seolah enggan membahas apapun karena secara tidak langsung harga dirinya sudah jatuh dengan uang dua ratus ribu yang ditunggalkan oleh Eva semalam. Namun, bukan dokter Kevin, jika tidak bisa mengulik hingga akar apa yang terjadi semalam kepada sahabatnya itu. “Dua ratus ribuan?” kata dokter Kevin seolah tak percaya dengan apa yang telah dialami sahabatnya itu. Setelah Omar menceritakan dia diberi uang dua rats ribu oleh Eva. Secara tidak langsung Eva telah melukai harga dirinya. Melihat tingkah dokter Kevin, Omar dengan replflek menutup mulut sang dokter menggunakan kedua tangannya, sembari menoleh ke kiri dan ke kanan memastikan tak ada yang mendengarnya, menjaga lebih baik sebelum orang tahu topik pembicaraan aneh mereka berdua. Dengan ekspresi sedikit mengolok, dokter Kevin masih menertawai nasib dokter Omar. “Kalo nggak diem juga, Aku pergi,” ancam Omar, kemudian dia beranjak dari kursinya. Dengan sigap, dokter Kevin menahan tangan kiri Omar agar dia tidak meninggalkannya sendiri. “Iya deh, jangan cerita sepotong gini dong, dok. Ya kalo kue yang sepotong mah enak aja, tapi kalo cerita yang sepotong kan gantung banget,” bujuk dokter Kevin dengan sedikit menampakkan wajah memelasnya. “Udah basi kali dok, ekspresi Anda itu,” kata Omar kemudian kembali duduk lagi. Omar mulai menceritakan segala yang dialaminya, hingga kekhawatiran mengenai dirinya yang tanpa sadar telah tidur dengan wanita itu. Ia hanya takut, jika dirinya tanpa sadar telah menabur benihnya kepada wanita itu. “Bukankah aku harus bertanggung jawab, dok?” Omar menatap ke arah dokter Kevin dengan wajah putus asanya. “Nggak usah lesu begitu kenapa sih, dok? Nanti aku bantu mencari dia. Banyak cara yang bisa kita gunakan,” kata dokter Kevin meyakinkan Omar. “Serius, Anda mau membatu saya?” Omar sedikit tak yakin dengan ucapan dokter Kevin. Apalagi playboy cap burung merak seperti dokter Kevin. Tidaklah patut untuk dipercayai ucapannya. Dokter Kevin menghadap ke arah Omar, kemudian dia memegang kedua pundaknya. “tatap mata saya!” bagai kerbau dicucuk hidungnya, Omarpun menatap dokter Kevin. “Ehem, sedang latihan buat casting drama telenovela, ya?” ujar dokter Mahen terkekeh melihat tingkah konyol kedua dokter itu. “Apaan sih, dok. Ganggu aja deh, lagian kalo masuk itu ngetuk pintu dulu kek,” sungut dokter Kevin. Keduanya segera melepaskan diri masing-masing. “Ikutan dong, mau juga Saya ngerumpi,” canda dokter Mahen. Padahal niat utamanya ke ruangan Omar untuk menanyakan mengenai pasien. “Ini tuh privasi, bukan konsumsi publik, seperti Anda,” sahut dokter Kevin kemudian berlalu meninggalkan ruangan Omar. “Dia sedang PMS ya, dok?” tanya dokter Mahen dengan wajah serius. Apalagi ketika dokter Kevin mendadak menjadi ketus. “Bisa jadi, dok.” Omar dan dokter Mahen seketika langsung saling berhadapan dan terkekeh menertawai kekonyolan mereka berdua. “Oh iya dok, ada perlu apa ya? Tumben ke ruangan saya?” “Ini, dok, ada titipan dari Bu Maita.” Dokter Mahen menyerahkan paper bag berwarna coklat yang tertuliskan Mecca Food. Jelas jika makanan itu dikirim oleh Maita untuknya. “Buat dokter saja deh.” kata Omar dengan wajah seriusnya. “Jangan gitu dong dok, pemberian mantan gebetan itu jangan ditolak. Kalo kata Mama Saya, pamali kalo menolak rezeki.” “Beneran, buat dokter Mahen aja, saya lagi diet,” jawab Omar dengan serius. Dia barusaha meyakinkan dokter Mahen agar mau menerima makanan itu. “Ya udah deh, terimakasih. Saya bawa ke depan aja deh, saya juga tidak enak memaksa orang yang sedang diet. Saya bawa ke depan unuk dibagi sama staf yang lain aja deh,” kata dokter Mahen. Omar hanya menjawab dengan senyum dan acungan kedua jempol kiri dan kanannya ke atas. Omar kembali duduk merenungi masalah yang tengah dia hadapi saat ini. ‘Kenapa sih, Mai. Di saat aku mau benar-benar ingin melupakan dan merelakanmu, tapi Kamu malah membuat aku sulit berpaling seperti ini. Tidakkah Kamu sadar, jika perhatian kecil yang kamu berikan kepadaku inilah, yang membuatku sangat sulit melepaskanmu, dan hanya membuatku semakin terikat olehmu jauh lebih dalam lagi.’ Dua pekan dari kejadian yang dialami oleh Eva dan juga Omar, keduanya kembali hidup dengan normal. Janji dokter Kevin akan membantunya hanya isapan jempol belaka. Omar mengambil selembar uang untuk membayar minuman kaleng yang dia beli di kantin. Sebuah kartu nama jatuh dari dompetnya. “Eh, ini ‘kan?” Namun, Omar sepertinya melupakan kartu nama yang seharusnya dia gunakan untuk menghubungi Eva. Hingga dia sadar ternyata dia menyimpan kontak Eva di dompetnya. “Astaga, kenapa aku berubah menjadi manusia pikun seperti ini, sih? Padahal dia sudah ada di dalam genggamanku. Tapi aku malah menyia-nyiakannya,” gumam Omar. Ketika jam istirahat, Omar memanfaatkan waktunya untuk menghubungi Eva. Namun bukan jawaban yang dia dapat, melainkan umpatan kasar dari Eva ketika mengangkat telepon darinya. “Halo, Mbak, ini saya.” “Apalagi, sudah gua bilang ‘kan, jangan hubungi gua lagi dasar, b******k!” Omar sedikit tersentak, padahal dia baru pertama menghubungi Eva, namun responsnya sangat tidak bersahabat. Omar mengurungkan niatnya untuk menghubungi via suara. Akhirnya dia mengirimi pesan yang tak mungkin akan diabaikan oleh Eva. Sebelumnya Omar sudah menyimpan foto pakaian yang ditinggalkan oleh Eva beberapa pekan lalu untuk dirinya. ‘Masih ingat dengan gaun ini?’ Omar mengirim pesan gambar dan juga pesan singkat untuk Eva. Satu jam berlalu hingga sore, Omar masih menunggu jawaban dari Eva. Namun sayangnya, gadis itu tak membalasnya sama sekali. Karena shift kerja Omar sudah selesai, dia akhirnya memutuskan untuk pulang dan akan mencari tahu tentang Eva setelah sampai di rumah. Ketika melalui lorong rumah sakit, Omar mendadak tersenyum dengan lebar, sepertinya dewi fortuna hari ini sedang berpihak kepadanya. Gadis yang dia cari keluar dari ruang obgyn bersama dengan wanita yang berbeda usia darinya. “Obgyn, jangan-jangan?” Tanpa berpikir panjang Omar segera berlari mengejar Eva, dia menarik pergelangan Eva hingga membuat gadis itu tersentak. “Apa-apaan sih!” cicit Eva, bahkan raut wajahnya saat ini terlihat begitu kesal. “Itu, Anakku kan?” kata Omar. “Anak?” “Jelaskan siapa si b******k ini, Eva?” teriak Leon, yang ternyata sudah berdiri di hadapan mereka. “Saya ayah dari bayinya,” sahut Omar tanpa berpikir panjang, sembari menunjuk perut Eva. “What?” teriak Eva.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD