Dengan berat hati, Eva mulai mengemasi barang-barangnya. Entah mengapa dalam sekejap, dia sudah merasa menjadi orang asing di rumahnya sendiri.
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Eva, sang Mama sudah muncul dari ambang pintu sembari membawa sebuah kotak berwarna kuning keemasan.
“Eva sayang, ada yang ingin Mama sampaikan kepadamu,” jelas Farida, sembari menatap Eva sendu.
Eva segera menghentikan kegiatannya. Eva bahkan sudah tak kuasa menahan air matanya sedari tadi. Gadis itu menenggelamkan wajahnya ke dalam ceruk leher Sang Mama.
“Ma, apakah keadaan sudah tidak bisa kembali seperti dulu? Aku bahkan baru akan memulai kuliah. Kenapa nasib buruk ini malah menimpaku. Aku belum siap menikah secepat ini. Aku juga tidak hamil, Ma,” jelas Eva dengan terisak. Meskipun Eva sudah mengelak dan berkata jujur, namun semua seolah enggan menerima ucapan Eva.
Farida tak sanggup mengatakan apapun, Dia bahkan tak mampu melakukan apapun ketika Leon sudah mengambil keputusan. Bahkan Farida sendiri sudah membujuk, Leon putranya agar tidak bersikap gegabah dalam mengambil keputusan.
Mengingat, betapa paniknya mereka ketika malam peresmian perusahaan yang baru, ketika Eva tiba-tiba menghilang entah ke mana? Hal itu membuat Leon berpikir untuk segera menikahkan sang adik tanpa menunggu nanti. Bukan tanpa sebab Leon berani menikahkan Eva dengan Omar. Dia sebenarnya sudah menyelidiki Siapa Omar jauh sebelum kejadian pernikahan dadakan itu terjadi.
Leon juga sengaja mengatur pertemuannya dengan Omar di rumah sakit, agar berjalan alami seperti tidak direncanakan. Namun, di luar dugaan, Omar malah langsung mengakui bahwa Eva mengandung anaknya. Leon yang murka malah langsung memberikan pelajaran kepada Omar.
“Percayalah, Eva. Semua yang dilakukan oleh Kakakmu itu demi kebaikanmu, Nak,” jelas Farida seraya mengusap punggung Eva dengan penuh kasih sayang.
“Dengan menikahkan, Aku bersama Om-om kayak dia!” ujar Eva terisak.
“Kamu tidak boleh berkata seperti itu, Sayang. Biar bagaimanapun dia sekarang adalah suamimu. Kamu wajib menghormati dan menjaga marwahnya. Lagian, dia belum tua, Eva. Masih muda lho, lebih tepatnya pria dewasa yang sudah siap menikah,” jelas Farida dengan sabar.
“Dia, Ma yang siap menikah, bukan Eva!” lanjut Eva yang masih enggan melepaskan pelukannya kepada sang Mama.
‘Suatu hari kamu akan mengerti, Nak. Bagaimana lebih baik keputusan ini diambil. Daripada kamu terus-terus disakiti oleh pria Bule tidak jelas itu.’
Sayangnya Farida tak mau mengungkit hubungan Eva yang sudah kandas dengan, Max. Pria berkebangsaan asing, yang selalu Eva puja selama beberapa tahun ini. Eva memang anak yang cukup bebas, bahkan Leon memberikan kebebasan dengan catatan dirinya harus berprestasi di sekolahnya. Dan Eva memang bisa memenuhi syarat itu.
“Lepasin dulu dong pelukan Mama, ada yang ingin Mama berikan kepada kamu,” kata Farida. Dia mengulurkan kotak emas kemudian segera membukanya.
Eva yang masih berlinang air mata, segera mengusapnya dengan kasar. Rasa sakit masih berdenyut nyeri di bagian paling dalam yang bersemayam di dadanya.
“A-apa itu, Ma?” kata Eva dengan sedikit terisak.
“Ini adalah kalung dari Nenek buyutmu, Mama punya dua, yang satu sudah Mama berikan untuk, Raina. Ini adalah bagian dari tradisi keluarga kita. Jika ada yang menikah, maka kalung ini akan diturunkan untuk pengantinnya.”
Farida segera menautkan kalung dengan hiasan permata dari batu tanzanite yang berwarna biru keunguan.
“Ini ‘kan kalung kesayangan, Mama.” Eva memegang liontin yang begitu indah, seraya menatap dirinya dari pantulan cermin yang ada di dalam kamarnya.
“Kamu tahu, Sayang. Kalung ini dibuat dari batu permata yang langka. Dulu Kakek buyutmu memberikan ini sebagai hadiah untuk Nenek, dengan penuh perjuangan mendapatkannya. Jadi kamu wajib menjaganya baik-baik!”
“Seharusnya Mama yang menyimpannya saja, dan berikan ini kepada Celana kelak,” kata Eva. Bagi Eva dia tak membutuhkan kalung itu, dan alangkah lebih baiknya jika Celena yang meneruskan adat aneh itu.
“Celena akan mewarisi kalung dari Ibunya kelak,” kata Farida dengan tersenyum.
Sementara di ruang tamu, Omar masih menunggu Eva yang masih mengemas pakaiannya untuk dibawa pulang ke rumahnya.
“Omar, semuanya sudah selesai, ya? Tanggung jawab tuh anak orang, baik-baik juga kamu menjaganya,” pesan Jackson yang kini duduk di sampingnya.
Omar hanya tersenyum kecut sembari mengangguk perlahan. “Selamat ya, Omar. Aku turut bahagia dengan pernikahanmu. Meskipun Kamu hampir membuat jantungku copot, ya pokoknya aku ikut bahagia aja, deh,” lanjut Maita menimpali ucapan Jackson.
“Terimakasih,” jawab Omar lirih.
‘Seandainya Kamu tahu, Kamu lah yang begitu aku dambakan. Apakah sudah tidak ada kesempatan untukku? Mampukah Aku tak memikirkanmu setiap harinya? Mampukah lukaku ini sembuh jika tanpamu? Mampukah aku menjalani hidup tanpamu nantinya? Tapi jika suatu hari nanti kamu terluka, aku siap ada untukmu.’
Sungguh, kata-kata itu sangat ingin meluncur dari bibir Omar. Bahkan, Omar sudah tak sanggup menatap ke arah Maita. Baginya, Maita adalah cinta pertama yang salah. Entah sejak kapan rasa itu tumbuh dan bersemi di dalam hatinya. Amanah menjaga Maita dan Mecca malah membuatnya jatuh cinta kepada wanita itu hingga sedalam itu.
“Ehem!”
Eva sudah berdiri di hadapan Omar dengan memegang gagang kopernya yang berisikan penuh baju dan juga perlengkapannya.
“Sudah?” tanya Omar singkat.
“Masih ada lagi di atas,” jelas Eva dengan ketus.
Maita dan Jackson yang mendengar percakapan dua pengantin baru itu hanya mampu menahan senyumnya.
Sementara Leon sudah pergi menyusul Raina ke rumah sakit untuk melihat keadaan Raihan, adik iparnya yang entah kenapa tiba-tiba saja bisa pingsan tanpa sebab. Leon hanya takut, jika Raihan mengalami sakit yang disembunyikan seperti almarhum istrinya, Farah.
Semenjak kejadian itu, Leon menjadi semakin protektif kepada keluarganya.
“Kalian berangkat saja, nanti biar barang-barangnya diantar oleh, Pak Arif. Padahal Eva tidak perlu membawa semua barangnya,” gumam Farida di akhir kalimatnya.
“Lagian kan, kata Bang Leon kalo sudah menikah aku harus ikut suami. Jadi untuk apa aku masih menaruh barang di sini,” ketus Eva. Dia berusaha mengeluarkan kata-kata pedas nya, seolah ingin menutupi luka di hatinya.
“Kami pamit dulu ya, Ma,” pamit Omar seraya meraih tangan Farida dan mencium punggung tangannya.
“Mama titip, Eva ya. Tolong jaga dan bimbing Dia dan selalu lindungi dia. Kamu yang sabar, karena istrimu ini jiwanya masih labil, maklum lah.”
“Cukup, Ma. Jangan buka aib Eva!”
Semua hanya terkekeh kecuali Eva dan juga Omar. Keduanya seperti sedang memiliki beban masing-masing.
Setelah berpamitan, Jackson dan Maita memutuskan untuk segera pulang, karena dia tak bisa meninggalkan Mecca terlalu lama di rumah.
Sementara Omar kini sudah bersiap mengendarai mobilnya untuk pulang ke rumahnya.
“Stop, tunggu sepatuku masih ketinggalan!” teriak Eva kemudian segera turun dari mobil.
Omar mulai terlihat kesal, dia hanya mampu memijit pelipisnya yang. “Sepertinya aku butuh aspirin,” gumam Omar yang merasakan pening di bagian kepalanya.
Eva memasuki mobil, menutup pintu dengan sedikit keras. Hal itu membuat Omar sedikit terjengit kaget. Dia hanya melirik ke arah Eva yang sedang sibuk memasang sabuk pengaman.
“Masih ada lagi? Ini sudah kali ke sepuluh kamu kembali ke rumah.”
“Hem.” Eva menjawab tanpa menoleh ke arah Omar. “Ingat, ya. Kita harus rapat setelah sampai rumah!” kata Eva kembali mengingatkan untuk kesekian kali.
“Ini sudah ke tiga puluh tiga kamu mengatakan hal yang sama. Apakah kamu kamu tidak punya kosakata lain?” Omar menatap Eva dengan lekat. Sementara yang ditatap hanya melihat lurus ke depan seraya melipat kedua tangannya.
“Sempat-sempatnya lo ngitungin ucapan gue. Begini nih, kalo nikah sama Om-om. Cerewetnya ngalahin emak-emak.”
Omar hanya menggeleng, dia segera menyalakan mesin mobil dan mulai melajukan mobilnya meninggalkan kediaman Emillio.
Setelah sampai, Omar langsung mengajak Eva menuju ke kamarnya.
“Ini kamar siapa?” tanya Eva bingung.
“Kita.”
“Kita?” Ulang Eva dengan ekspresi kagetnya. Matanya bahkan melotot seolah akan lepas dari kelopak matanya.
“Kenapa?” tanya Omar yang mendekat ke arah Eva berdiri. Bahkan Omar semakin melangkah mendekat, hingga tidak ada jarak di antara keduanya.
Omar mendekatkan wajahnya ke wajah Eva, menahan satu lengannya di dinding. Omar menatap setiap inchi wajah Eva dengan intens. Dengan cepat Eva memalingkan wajahnya ke samping karena malu. Dia sangat yakin jika saat ini mungkin wajahnya tak kalah dengan warna udang yang habis direbus.
“Tenang saja, bukankah kita pernah tidur berdua. Tidakkah kamu sadar apa yang telah kamu perbuat malam itu?” bisik Omar di samping telinga Eva. Embusan napas Omar bahkan mampu membuat seluruh tubuh gadis itu meremang.
“Yaak!” Eva menghadap ke arah Omar.
Cup.
Bibir keduanya bertaut secara tidak sengaja. Mata mereka terlihat membola karena kaget Eva segera mendorong d**a Omar agar segera menjauh darinya. Bahkan saking kuatnya, mampu membuat Omar terjerembab ke belakang.
“Sukurin, makanya jadi Om-om nggak usah genit!”
Sementara Omar terlihat mengaduh menahan rasa sakit. Niatnya ingin mengerjai Eva malah dirinya mengalami sial untuk kesekian kalinya.
“Aish ... Awas saja kamu, Eva!” teriak Omar.