BAB 4
Perjalanan cukup macet. Jarak dari perusahaan tempat mereka bekerja dengan perumahan tempat tinggal Kasih bisa menghabiskan waktu satu jam jika kondisi ramai lancar. Namun, karena tersendat dan hujan perjalanan pun menjadi terasa lebih lambat, atau mungkin karena Kasih juga tengah merasa takut dan tak nyaman berada dalam satu mobil denga Reyvan.
“Gimana kerja hari pertama? Betah?” tanyanya seraya tersenyum. Hanya menoleh sekilas pada Kasih lalu kembali melempar pandang ke depan.
“Alhamdulilah, Pak.” Kasih menjawab seperlunya.
“Semoga betah, sih. Di perusahaan Om Gasendra itu kalau saya lihat, sih, sudah merupakan tempat paling nyaman dibanding perusahaan kompetitor sejenis.” Reyvan menjelaskan.
Mendengar ucapan Reyvan, Kasih bukan fokus pada inti kalimat berita yang lelaki itu sampaikan. Namun, malah fokus pada kata “om” yang Reyvan sematkan untuk pemilik perusahaan. Namun, Kasih merasa terlalu lancang jika harus bertanya. Terdengar Reyvan kembali melanjutkan kalimatnya.
“Om Gasendra itu orang baik, Kasih. Saya ini adalah keponakan kesayangannya. Bahkan dia sudah seperti ayah sendiri untuk saya. Semua perlakuannya begitu mirip almarhum papa saya, Kasih. Bahkan ketika dulu kami tinggal di rumahnya, dia begitu lembut pada saya dan mama.”
Tanpa Kasih minta bercerita, Reyvan terus saja menjelaskan. Namun, semakin dijelaskan, justru semakin membuat Kasih penasaran. Meskipun demikian, Kasih hanya mengiyakan dan mendengarkan saja. Tak berani juga untuk sekadar bertanya. Padahal sekelumit pertanyaan bermunculan di hatinya. Namun, Kasih hanya mengangguk-angguk dan mengiyakan saja.
Hujan yang tadinya agak lebat sudah mulai mereda. Tampak menyisakkan tetes-tetes airnya membasahi deretan sepeda motor yang terparkir di depan ruko yang berjajar. Tak terasa sebentar lagi mereka akan segera tiba. Kasih tengah memutar otak agar tak sampai kejadian Reyvan mengantarnya diketahui Vania. Bisa-bisa dia diospek lagi nanti oleh kakaknya itu.
Di tengah kebingungan itu, tiba-tiba dari sebelah kanan ada sebuah sepeda motor yang melambat dan memasang sein kiri. Pengemudi dengan jaket ojol itu tampak memboncengkan seorang perempuan paruh baya. Kasih menyipit memperhatikan sepeda motor yang ditumpanginya. Tak banyak orang yang memiliki sepeda motor seperti itu. Kasih mengambil gawai dan memperhatikan dengan kode ojol yang dipesannya pagi tadi. Pengemudi ojol bernama Evan dengan plat nomor yang sama. Akhirnya Kasih harus segera memutuskan sekarang.
“Stop, stop, Pak,” tukasnya seraya masih menggenggam gawai. Decitan rem terdengar karena Reyvan cukup kaget dengan permintaan Kasih.
“Kenapa, Kasih?” tanya Reyvan menatap gadis yang membetulkan kerudungnya sedikit itu.
“Saya … hmmm … itu, Pak. Saya baru ingat diminta ayah untuk belanja bulanan ke minimarket.” Kasih akhirnya menemukan alasan yang logis.
“Oh gitu, saya kira kenapa. Ya sudah, kamu turun saja.” Reyvan tampak bijak. Dia pun menepikan mobilnya perlahan hingga akhirnya Kasih bisa turun di tepi jalan.
“Makasih, Pak.” Kasih tersenyum dan mengangguk sopan pada Reyvan.
“Sama-sama, Kasih.” Reyvan membalas anggukan dan senyuman Kasih. Sesekali dia melirik spion di mana tampak Kasih berlari melalui trotoar menuju ke deretan ruko. Ada senyum tersungging di bibir Reyvan. Entah kenapa melihat Kasih, dirinya merasakan ada hal berbeda. Kasih itu tampak begitu lembut, tulus, apa adanya dan tidak ambisius seperti kebanyakan teman wanita karir yang dikenalnya, salah satunya Vania.
“Gadis apa adanya,” tukasnya seraya tersenyum sendiri hingga mobilnya pun menjauh meninggalkan Kasih. Namun, sekilas matanya menangkap sosok yang seakan tak asing dari kaca spionnya di mana Kasih menuju ke arahnya. Kedua alis Reyvan saling bertaut dan kedua netranya menyipit. Namun, seketika dia kembali menepis pikirannya yang rasanya mustahil.
“Gak mungkin itu dia. Masa anak Om Gasendra jadi tukang ojol. Gue ini lagi kenapa, duh,” tukasnya menggelengkan kepala. Lalu mengabaikan sosok dengan jaket hijau yang mana Kasih tengah berlari menuju ke arahnya. Walaupun dia memang tahu betul jika anak Gasendra tersebut sedang minggat dari rumah karena permasalahan pelik yang melibatkan dirinya serta ibunya. Namun, mustahil rasanya jika kemudian Evander Gasendra yang bahkan lulusan cumlaude pada universitas ternama itu memilih menjadi tukang ojol dengan pendapatan tak seberapa.
Sementara itu, sosok jangkung dengan jaket hijau yang sudah setengah basah yang bernama Evan itu sudah hendak menarik gas sepeda motornya ketika Kasih berlari dan memburunya dengan napas terengah. Kasih mendekat pada sosok jangkung dengan helm dan masker, sehingga dia tak bisa melihat wajah tampan yang tersembunyi di baliknya.
“Mas! Mas!” seru Kasih seraya mengulangkan tangan.
Sepasang mata tajam dengan alis tebal yang bersembunyi di balik helm full face menatap tajam. Namun, tak urung juga, lelaki itu berhenti. Evan melihat Kasih yang tampak sedikit basah karena gerimis lembut masih menyentuhnya.
“Ada apa?” tanyanya ketika Kasih menyisakkan jarak beberapa langkah lagi dari arahnya.
“Hmmm … saya penumpang Mas yang tadi pagi, apa boleh bicara, Mas? Ini penting banget,” tukas Kasih dengan mimik wajah serius. Lelaki itu mengangkat tangan kanannya dan melihat putaran jarum jam tangan mahal yang melingkar di sana. Sejurus kemudian mengangguk. Dia menepikan kembali sepeda motornya ke tepian ruko.
Dengan segenap keberanian dan mencari alasan yang paling masuk akal. Kasih menceritakan keinginannya untuk menjadi langganan ojol pada lelaki tersebut. Kasih bahkan berani membayar lebih asalkan dia tak harus repot mencari orang yang mengantar jemputnya ke perusahaan dengan alasan memang menghabiskan waktu dan cukup melelahkan.
Setelah sejenak saling terdiam akhirnya lelaki itu mengangguk.
“Oke, deal. Besok gue sudah stanby di depan rumah lo,” jelasnya.
“Baik, Mas. Makasih.” Kasih tersenyum. Lalu dia mengeluarkan dompet hendak mengambil uang beberapa lembar seratus ribuan yang siang tadi diberikan Tuan Gasendra diam-diam. Namun, ketika dia sodorkan, lelaki itu menepisnya.
“Bayar gue kalau sudah kerja. Simpan saja uang lo sekarang,” tukasnya seraya berdiri lalu kembali menyalakan sepeda motornya dan pergi.
Kasih tersenyum. Dia bergegas mencari ojek pangkalan yang biasanya sering juga mangkal di dekat minimarket.
Kasih melaju pulang dengan perasaan senang. Rupanya menjalankan misinya tak sesulit yang dia pikirkan. Evan dengan mudah menerima tawarannya sehingga dirinya bisa mendapatkan tambahan uang transport dari pemilik perusahaan. Meskipun kasih tak tahu alasannya apa. Namun, keinginannya untuk memberikan gaji dengan utuh untuk ayah dan ibunya membuatnya semangat. Setidaknya ada sedikit yang bisa menjadikan dirinya dibanggakan di keluarga.
Kasih tiba di rumah dengan pakaian setengah basah. Perjalanan dari minimarket yang berjarak lima belas menitan dari rumah dan tak mengenakan jas hujan, membuatnya tak bisa mengelak dari serbuan titik-titik lembut yang masih berjatuhan.
Kasih bergegas masuk. Dia berjalan lurus, mengabaikan Vania yang sedang duduk di ruang tengah sambil meneguk cokelat hangat yang sisa setengah.
“Hei, nitip ini!” pekiknya pada Kasih yang berjalan tergesa dan melewatinya begitu saja.
Kasih menghentikan langkah lalu mendekat ke arah Vania untuk mengambil gelas yang Vania sodorkan. Namun, belum sempat tangannya meraih gelas itu. Tiba-tiba Vania menjatuhkannya.
“Astagfirullah, Mbak.” Kasih memekik kaget ketika pecahan gelas itu berserakan di dekat kakinya.
“Sok alim! Kamu pikir mbak gak tahu kamu habis ngapain tadi, hah? Dasar sok suci.” Kalimat Vania menukik tajam. Kasih menatap wajah kakaknya dengan pandangan mengembun. Setengah mati dia menekan perasaan yang selama ini direndahkan. Namun, tetap saja rasanya sakit diperlakukan demikian.
“Salah aku apa sama, Mbak? Kenapa Mbak selalu seperti ini sama aku? Apa Mbak gak takut jika nanti semua perbuatan buruk Mbak akan balik pada diri Mbak sendiri?” tanya Kasih dengan suara gemetar.