BAB 3

1022 Words
BAB 3 “Ada apa ya, Pak? Saya gak akan dipecat ‘kan Pak?” Kasih menatap Asep takut-takut. Dia teringat ancaman Vania tadi yang mengancamnya akan menghabiskan kontraknya. Asep terkekeh dan menggeleng kepala. “Gak ada lah, mana mungkin kalau gak salah tiba-tiba dipecat. Bisa jadi kamu tadi kurang bersih ketika membersihkan kaca ruangannya atau ada yang salah menata barangnya ketika habis mengelap meja. Soalnya dia orang perfeksionis,” jelas Asep. “Terus kalau saya salah gimana, Pak?” Wajah Kasih cukup pucat. “Pergilah dulu ke sana. Itu juga baru dugaan saya. Bisa jadi dia mau berterima kasih karena kerjaan kamu rapi. Intinya selama kita melakukan hal benar, jangan pernah takut. Tak ada orang sempurna yang tak melakukan kesalahan. Gih, sudah ditunggu,” titahnya lagi seraya berjalan meninggalkan Kasih dengan hati berdentum-dentum. Kasih menatap pintu kaca itu dengan ragu. Di dalam tampak ada Vania yang tengah tersenyum dan mengangguk-angguk di depan Tuan Gasendra. Kakaknya berbicara dengan gaya seperti biasa penuh senyuman dan rasa percaya diri. Itu memang kelebihan yang dimiliki Vania, tetapi tak dimiliki olehnya. Dia menunggu hingga akhirnya pintu itu terbuka dan Vania menyapanya dengan senyuman dan anggukan. Sikap ramah yang akan ditunjukkan di depan semua staf apalagi bos, tetapi tidak ketika berpapasan dan tak ada orang yang melihatnya. Tuan Gasendra mengangguk ketika dari celah pintu yang Vania tinggalkan dia menatap wajah Kasih yang tampak penuh rasa ragu. Melihat anggukan sang pemilik ruangan. Kasih masuk dengan hati takut-takut. “Selamat siang, Tuan.” Kasih menyapa dengan suara gemetar. “Siang,” tukas Tuan Gasendra. Wajahnya memang terlihat tegas, tetapi dari suaranya terdengar lembut dan tak tampak jika tengah marah. “Duduk,” titahnya. Kasih ragu, menatap kursi empuk yang bahkan hanya berani dia sentuh ketika membersihkannya. “Duduk.” ulangnya. “Makasih, Tuan.” Kasih menarik kursi itu dan duduk di sana. “Kamu yang tadi pagi berpapasan di depan gerbang dengan saya ‘kan?” Tuan Gasendra memastikan. “S-saya, Tuan?” Kasih tak paham. Karena memang dia tadi tak tahu juga jika di belakang ojol yang ditumpanginya adalah mobil sang pemilik perusahaan. Sepertinya Tuan Gasendra mengerti. Dia tersenyum lalu menjelaskan kembali. “Kamu yang naik ojol dengan pengemudi yang memakai matic itu ‘kan?” telisiknya. “Ah, iya saya, Tuan.” Kasih mengangguk karena memang ingat. “Apa tiap hari kamu b**********n dengan ojol tersebut?” tanyanya lagi. “Ahm ... tidak Tuan. Tadi kebetulan memang yang nyantol di aplikasi ojol saya dia, Tuan.” Kasih paham. “Boleh saya minta tolong kamu, tapi jangan dibicarakan dengan siapa pun, ya,” tukasnya menatap Kasih dengan sungguh-sungguh dan membuat perempuan itu merasa takut. “Boleh, Tuan, kalau saya bisa saya akan bantu Tuan.” Kasih memberanikan diri mengambil pilihan. “Tolong kamu b**********n dengan ojol tersebut. Jadi, pulang pergi, kamu minta dia yang antar jemput,” tukasnya dengan tersenyum lembut. “T-tapi, Tuan. Mungkin kadang saya dianter ayah kalau lagi dia gak sibuk buat mangkas ongkos, Tuan.” Kasih sedikit bingung juga. “Ah, soal itu. Gini, selama kamu b**********n ojol tersebut. Tiap bulan, saya akan mengganti uang transport yang kamu gunakan, tapi tolong rahasiakan semuanya dari siapa pun. Bisa?” tandasnya. Seketika pikiran Kasih langsung menangkap sinyal baik. Meskipun ini permintaan yang aneh dan tak bisa dia pahami. Namun, Kasih tak bisa melewatkan peluang. Ini kesempatan untuknya mendapatkan gaji utuh sehingga uang yang diberikan pada ibu dan ayah bisa lebih besar nantinya. Berharap, ayah akan bangga padanya. Kasih tersenyum dan mengangguk. “Akan saya coba, Tuan. Kebetulan tadi saya sempat SS nomor tukang ojolnya. Semoga dia mau, Tuan.” “Oke, kamu boleh kembali bekerja. Terima kasih, ya,” tukasnya lembut. “Sama-sama, Tuan.” Kasih tersenyum dan meninggalkan ruangan dengan perasaan lega dan heran. Dia tak mengerti apa maksud dan tujuannya, tetapi yang dia mengerti ini adalah peluang. Asep sudah menunggunya tak jauh dari pantry. Dia tampak cemas karena salah satu cleaning service yang merangkap office girl itu dipanggil langsung oleh bos besar di hari pertamanya kerja. “Dipanggil buat apa, Kas?” Asep menatap Kasih. “Oh, itu, Pak. Hmmm … Tuan Gasendra ngasih tahu aku jadwal bikin kopi buat dia.” Kasih berbohong. Dia pun bingung harus menjelaskan seperti apa karena Tuan Gasendra memintanya merahasiakannya. “Oh, oke … syukurlah. Kembalilah kerja! Baik-baik, ya. Kalau ada masalah info saja,” tukasnya. Kasih mengangguk lalu kembali berkutat dengan peralatan kerjanya. Hatinya semringah karena di hari pertama sudah mendapatkan hal baik. Setidaknya dia akan mendapatkan uang transport tambahan tiap bulan. Sepanjang hari juga dia bersikap tak saling kenal dengan Vania. Perempuan itu hanya ramah ketika di depan semuanya. Pencitraan yang sempurna. Namun, menatap benci ketika kadang hanya berpapasan berdua. Sore menjelang, Kasih berdiri di depan gerbang. Beberapa kali dia mencoba menelepon nomor ojol yang pagi tadi mengantarnya. Namun, tak semudah perkiraan. Nomor Mas ojol yang terdaftar bernama Evan itu tak juga mengangkat panggilannya. Mobil Vania berhenti sebentar di gerbang ketika security memeriksanya. Semua mobil yang keluar melewati tahap pemeriksaan. Namun, Vania tetap bersikap tak acuh. Jangankan memberikan tumpangan untuk pulang, dia pun tak menyapa sama sekali pada adik kandungnya yang tengah mencari transport untuk pulang. Sialnya, nomor tukang ojol yang pagi itu tak mengangkat teleponnya juga. Akhirnya Kasih memesan ojol lainnya. Namun, sayang pada jam sibuk agak susah mendapatkannya hingga sebuah mobil berhenti di depannya. Kaca mobil itu diturunkan dan seorang lelaki berwajah tampan tersenyum padanya. “Kamu belum pulang?” Reyvan menyapa Kasih. Wajah lugu gadis itu menyentuh hatinya. “Lagi cari ojol, Pak.” Kasih mengangguk sopan. “Rumah kamu di mana memangnya? Jam segini agak susah cari ojol di daerah sini.” Reyvan masih bertahan di sana. Kasih menyebutkan nama perumahannya. “Oh, padahal tadi bisa nebeng Bu Vania, Kas. Dia alamatnya di sana juga. Ya sudah saya anter, yuk! Saya pernah beberapa kali juga ke rumah Bu Vania, searah, kok, sama perumahan tempat saya,” tukas Reyvan yang tak mengetahui jika Kasih adalah adik kandung stafnya. Awalnya Kasih hendak menolak. Namun, tiba-tiba langit mendung menurunkan butiran hujan yang membuat Kasih tak punya pilihan. Kasih pun naik ke sisi sebelah kiri Reyvan. Mobil melaju meninggalkan kantor dan menuju ke perumahan tempatnya tinggal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD