BAB 5

1152 Words
BAB 5 “Eh, baru kerja jadi OB sehari doang sudah songong. Memang kamu itu gak tahu diri ya. mbak sudah susah-susah masukin kamu kerja biar kamu sedikit berguna. Eh, malah ngelunjak! Kamu pikir mbak gak tahu kalau kamu tadi pulang ikut Pak Reyvan. Kamu pasti sengaja mau goda dia di belakang mbak, ‘kan? Kamu pasti iri, ‘kan? Mbak yang selalu lebih beruntung dari kamu,” oceh Vania. “Vani ... Kasih! Kalian itu kebiasaan, ya. Ribut mulu kalau ketemu,” tegur ibu. Perempuan paruh baya itu baru saja turun dari tangga dan menghampiri kedua putrinya yang berada di ruang tengah. Rumah mereka tak besar, hanya saja memiliki dua lantai. Lantai atas terdiri dari tiga kamar tidur dan satu ruang keluarga. Sedangkan di lantai bawah hanya ada ruang tengah, ruang makan dan dapur. “Anak kesayangan Ibu, tuh! Baru saja kerja sehari sudah ngelunjak,” gerutu Vania seraya kembali menghampiri sofa dan menjatuhkan bokongnya di sana. Kasih tak lagi menjawab. Dia langsung menaiki tangga, bahkan sampai lupa untuk mencium tangan ibu yang berada di sana. Hatinya sedih. Selalu saja dirinya salah dan tak berarti. Di pertengahan tangga, dirinya berpapasan dengan ayah. Namun, Kasih hanya menunduk dan mempercepat langkahnya. Dia pasti akan tambah diceramahi ayah jika Vania sudah mengadukannya. Itulah konsekuensi menjadi anak terbodoh dan yang paling tak disayang di keluarga. Kasih pun sudah mencoba ikhlas dan menerima. Kasih bergegas membersihkan diri di kamar mandi atas. Setelah itu, dia berganti pakaian lalu menunaikan tiga rakaat kewajiban. Kebetulan sejak tadi sudah masuk waktu maghrib. Usai melipat mukena, dia membuka Alqur’an digital pada gawainya. Sengaja berlama-lama agar Vania, ayah dan ibu sudah selesai makan ketika dia turun. Ketika dirasa waktu sudah beranjak, Kasih pun turun setelah azan isya berkumandang dan dia tunaikan dulu empat rakaat kewajiban. Perut yang lapar sejak tadi ditahan sudah berteriak minta diisi. Di ruang tengah tampak ayah dan Vania tengah duduk. Seperti biasa, Vania memang sangat manja pada ayah. Dia bersandar pada pundak ayah yang duduk berselonjor di lantai beralas karpet beludru yang selalu ibu gelar setiap sore. Kasih langsung berbelok ke ruang makan. Namun, dia masih mendengar rengekan Vania pada ayah. “Yah, tuh anaknya sudah turun.” “Iya, entar ayah bilangin. Biar Kasih makan dulu.” “Ihhh … Ayah.” Kasih tak lagi menyimak suara samar yang berbaur dengan suara televisi itu. Dia menyendok nasi lalu segera mengambil lauk yang masih tersisa. Kasih makan sendirian. Ibu keluar dari dapur dan melirik ke arahnya. “Baru makan kamu, Sih?” tegurnya. Datar dan tak ada ekspresi. “Iya, Bu.” jawab Kasih seperlunya. Ibu berdiri di dekat lemari es dan mengambil dua stoples camilan kesukaan ayah dan Vania. Dia pun mengambil satu minuman dingin dari sana. Terdengar suaranya kembali berkata, “Nanti habis makan, ayah mau bicara katanya.” “Hmmmm ….” Kasih menyahut hanya menggumam. Sudah tahu apa yang akan dia dapatkan. Pastilah wejangan panjang lebar yang akan dia dengar dari sang ayah. Makan pun tak lagi menjadi begitu nikmat. Kasih memejamkan mata sejenak lalu menatap bengong pada gelas yang sudah kosong. Enggan beranjak dari ruang makan. Andaipun beranjak ingin sekali rasanya langsung ke peraduan. “Baiknya aku akan pura-pura lupa saja,” tukas Kasih. Dia pun akhirnya beranjak dan berjalan meniti tangga. Hendak langsung menuju ke kamarnya di lantai dua. Namun, ayah terdengar memanggilnya. “Kasih, sini dulu. Ayah mau bicara.” “Iya, Yah.” Akhirnya, hanya pasrah ketika ceramah pun dimulai. Ayah kembali menasihatinya seolah dirinya adalah orang yang paling salah. “Kakak kamu bilang, hari pertama kerjamu sudah gak bener, ya?” Kasih hanya diam. Percuma menjelaskan karena bagi ayah hanya ucapan Vania yang benar. Ayah pun kembali menyambung kalimatnya. “Kamu itu harus bisa membawa diri, Kasih. Beruntung ada kakak kamu yang sudah supervisor di sana jadinya kamu bisa dengan mudah mendapatkan pekerjaan ini. Ya, walaupun pekerjaan kamu hanya jadi OB, tapi di luar sana bahkan banyak yang harus kasih uang sogokan. Kamu beruntung ada Vania. Jadi, Ayah minta hormati dia di sana … jangan buat malu apalagi sampai buat ulah. “Ayah juga bukan gak mau kamu kuliah lagi, tapi ya mau gimana … kan kamu gak sepandai kakak-kakak kamu. Mana bisa kamu dapet beasiswa kalau nilai saja hanya rata-rata. Jadi, kamu harus bisa mawas diri dan menempatkan diri. Paham?” “Paham, Ayah.” Kasih berucap lirih. Sementara itu, senyum Vania tampak mengembang penuh kebanggaan. Ya, memang dirinya yang selalu ayah banggakan berbeda dengan Kasih. Lelaki itu mengakhiri kalimat panjang lebarnya setelah sukses membuat kuping Kasih terasa memanas. Dia pun bangkit lalu beranjak ke kamar. Kasih menutup pintu lalu mengambil buku diary. Satu-satunya benda yang bisa dijadikan tempat untuknya berbagi. [Apa aku salah jika dilahirkan tak sebaik mereka? Ini bukan inginku. Tuhan yang memberikan ini padaku. Dicubit itu memang sakit, tetapi disepelekan lebih menyakitkan. Bantu aku menemukan sendiri jalan hidupku.] *** Sudah hampir seminggu Kasih berlangganan ojol dengan lelaki beralis tebal yang setiap hari wajahnya tertutup masker itu. Namun, tak banyak hal yang bisa dia ketahui selain sesekali melihat Tuan Gasendra menatap pengemudi ojol itu dengan tatapan sendu dari kejauhan. Hari ini pun Evan sudah menjemputnya, Kasih baru saja hendak menaiki sepeda motor Evan yang sudah menunggunya ketika Vania hendak keluar dengan mobil avanza silver-nya. “Hei, minggir dong. Jangan ngalangin mobil orang!” teriak Vania. Evan dan Kasih menoleh. Evan menyipit memperhatikan wajah perempuan yang ada di dalam mobil itu. “Dengar gak, sih?!” bentak Vania lagi. Evan yang merasa jarak sepeda motornya aman dari mobil Vania merasa terusik. Dia yang tengah duduk di atas sepeda motor pun turun dan mendekat. Lalu menatap wajah perempuan itu. “Mbak, baru punya mobil, ya? Jaraknya itu sudah lebih dari aman. Kalau jadi OKB jangan norak.” Kalimat pedas itu terlontar dari mulut Evan yang tertutup masker. “Eh, lu baru jadi tukang ojek aja belagu. Mana ngerti lu bawa mobil. Jangan sok tahu, deh!” bentak Vania. Evan mengedik lalu tersenyum miring. Namun, karena wajahnya memang tertutup masker, yang terlihat hanya matanya yang tampak menyipit. “Gue gak nyangka, baru jadi staf doang gaya lu udah selangit.” kekeh Evan seraya kembali ke sepeda motornya di mana Kasih tengah menunggu dan tak ikut campur. Vania berdecak kesal seraya tak henti mengumpat. Namun, tak urung dia tetap melajukan mobilnya dan memang terbukti jarak dengan sepeda motor Evan yang terparkir tak jauh dari gerbang masih aman. Evan tersenyum miring lalu menoleh ke arah Kasih yang sudah rapi dengan helmnya. “Dia serumah sama lu? Terus sekantor juga?” tanyanya. “Iya, Mas. Tapi dia supervisor, aku cuma OB. Jadi, kasta kami beda,” tukas Kasih dengan tersenyum hambar. “Lu mau bikin syok terapi buat dia gak? Kok gue enek lihat tingkahnya.” Evan menatap mobil Vania yang menjauh. Dia tahu betul seperti apa sikap Vania jika di kantor. Beberapa kali dia pernah berpapasan dengannya dalam kondisi yang berbeda. “Caranya?” Kasih menatap dengan tatapan polosnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD