Bab 2
Kasih sampai di loker karyawan dengan napas terngah-engah. Beruntung dia masih belum terlambat. Masih ada beberapa menit tersisa. Dia segera menyimpan tas dan ponselnya ke dalam loker lalu mengenakan celemek dan topi yang sudah disiapkan untuknya. Semua itu diberikan pada Kasih setelah sesi wawancara dengan bagian HRD kemarin. Dia pun langsung menyimpannya ke dalam loker yang diberikan untuknya.
Dia bergegas bergabung dengan para cleaning service yang sudah berdiri membuat lingkaran di dekat pantry. Sang leader yang bertugas mengatur pekerjaannya adalah seorang operator di bagian GA. Lelaki bertubuh subur itu menatap satu per satu para pekerja.
“Selamat pagi semua,” sapanya. Total ada empat orang yang masuk shift pagi, termasuk Kasih yang menggantikan salah satu cleaning service yang mengundurkan diri.
“Pagi, Pak Asep,” ucap mereka serempak.
“Terima kasih sudah datang tepat waktu, ya. Hari ini pembagian tugasnya masih seperti biasa. Ibro di Gardening, tolong pangkas rumput bagian belakang pabrik yang sudah agak tinggi, terus nanti siang buat lubang untuk tanam pohon di halaman depan. Akan ada customer dari Jepang yang datang lusa dan kita mau memberikan momen berkesan dengan kehormatan pada mereka untuk menanam pohon itu. Nanti papan namanya akan saya pesankan siang ini,” jelasnya. Lelaki yang dipanggil Ibro itu mengangguk.
“Terus Esih, kamu utamakan dulu kantin karyawan. Saya lihat pagi tadi sangat berantakan bekas shift malam makan. Baru setelah itu ke area musala dan area produksi bagian belakang,” tukasnya lagi menjelaskan.
“Baik, Pak.” Esih mengangguk sopan.
“Untuk Ajat, pastikan kejadian kemarin tak terulang, ya! Pasokan galon ke semua divisi harus diperiksa berkala. Saya gak mau lagi ada komplainan kamu tiduran, sedangkan kerjaan kamu terbengkalai,” tukasnya seraya melirik kepada Ajat.
“Maaf, Pak, saya salah. Kemarin memang lagi gak enak badan. Kalau gak masuk nanti kena potongan. Maaf, Pak.” Ajat tampak memasang wajah penuh rasa sesal.
“Oke, saya maafkan, tapi tolong jangan diulangi, ya.” Asep bertutur tetap lembut dan sopan.
“Terus kamu yang baru, Kasih, ‘kan ya namanya?” Asep melirik Kasih.
“Iy-iya, Pak.” Kasih tergugup.
“Kasih, kamu menggantikan Bu Wati. Bagian dia itu area office, pantry, dan bagian depan lobi. Cuma di sini kamu harus kerja keras. Karena kamu ngepel dan nyapu gak hanya sekali. Selain itu, tugas kamu setiap pagi setelah menyapu, maka kamu harus melayani para staf yang meminta kopi. Jadi, nanti kamu ambil nampan ini dan membagikan air putih dalam gelas ke kubikel semua staf, ya Terus kalau ada yang minta kopi, kamu buatin. Nah, sebetulnya jam kerja kamu dua jam lebih awal.
“Mbesok, kamu masuk jam enam, bukan jam delapan. Jadi, sebetulnya jadwal kamu pulangnya jam tiga siang dan sabtunya libur, tapi biasanya ada lembur otomatis selama dua jam, jadi tiap hari kamu pulangnya tetap jam lima sore. Paham?” Asep menjelaskan.
“Paham, Pak.” Kasih mengangguk.
“Oke, briefing kita selesai. Mari kita mulai hari ini dengan berdoa. Semoga dilancarkan semua pekerjaan kita.”
Mereka menunduk sejenak. Lalu usai berdoa semuanya membubarkan diri dan mengambil alat kerja masing-masing.
Kasih mengambil nampan dan mengisi air bening pada beberapa gelas tinggi. Ada sekitar tiga puluh staf yang harus dia layani. Asep mengarahkan dia pada beberapa kubikel dan memperkenalkannya. Lalu dia meninggalkan Kasih setelah dirasa dia paham. Asep sendiri merangkap sebagai staf GA yang bertanggungjawab terhadap pemesanan catering karyawan, pengaturan mobil operasional, pengadaan seragam, serta pastinya terhadap event-event customer juga dan lain-lain.
Kasih mendekat dengan nampan di tangannya pada Vania tengah menyuap setangkup roti bakar yang dibawakan Reyvan---seniornya di divisi business Development. Meskipun sudah sarapan, tetapi sayang jika harus melewatkan momen spesial dibawakan sarapan oleh Reyvan—assisten manajernya yang masih sangat muda dan tentunya masih single.
“Permisi, Pak, Bu.” Kasih meminta izin untuk masuk ke kubikel Vania di mana Reyvan duduk di sana juga.
“Pagi … eh, kamu baru, ya?” Reyvan tersenyum ramah. Dia menatap wajah Kasih yang tampak gugup. Tangannya bahkan tampak gemetar ketika meletakkan gelas berisi air bening ke atas mejanya.
“Iya, Pak. Saya menggantikan Bu Wati,” tukas Kasih setelah menyimpan gelas di dekat Vania yang tak mengacuhkannya.
“Wah, semoga betah, ya. Umur kamu berapa, sih? Baru lulus, ya?” tanyanya seraya menatap wajah Kasih yang memang tampak lebih muda daripada usianya.
“Saya sudah dua puluh tahun, Pak. Nganggur dua tahun kemarin.” Kasih menjelaskan seraya memegang nampan dan tetap menundukkan pandangan.
“Oh, gitu, yang semangat ya kerjanya. Nanti jam sepuluh buatkan saya kopi, ya.” Reyvan mengangguk dan tersenyum menatap Kasih.
“Baik, Pak! Makasih, Pak. Permisi.” Kasih bergegas pergi. Lirikan sinis Vania membuatnya benar-benar merasa tak nyaman.
Kasih berjalan kembali ke pantry, dia menyimpan nampan dan segera mengambil alat pembersih kaca yang ada di tempat peralatan kerja. Namun, suara seseorang derit pintu pantry membuat dirinya menoleh. Vania berjalan mendekat ke arahnya.
“Kasih! Kamu lancang banget, sih. Baru hari pertama kerja sudah caper.” Vania mendekat dan menatapnya dengan penuh kemarahan.
“Caper gimana, Mbak?” Kasih bingung dan menatap sang kakak.
“Eh, ini di kantor. Kamu panggilnya ibu, jangan Mbak!” hardik Vania bertambah kesal.
“Eh, maaf aku lupa, Bu. Caper gimana, Bu?” Kasih mengulang kalimatnya.
“Sok polos lah kamu. Ini, saya kasih tahu, ya. Pak Reyvan itu sebentar lagi jadi calon suami saya. Jadi, jangan sok keganjenan senyum-senyum di depan dia. Awas aja kalau makin lancang. Kontrak kamu bakal segera dihabiskan,” gerutunya seraya menatap Kasih dengan tajam.
Kasih belum menjawab apa-apa ketika pintu pantry terdorong dari luar. Asep yang muncul di sana dan menatap Vania dan Kasih bergantian.
“Eh, ada Mbak Vania cantik. Ada apa ini pagi-pagi?” Dia melirik wajah Kasih yang tampak tertekan.
“Eh, Pak Asep, saya lagi ngasih tahu OB baru ini, Pak. Takutnya nanti pas buatin kopi buat Pak Reyvan salah takarannya. Baik-baik, ya, Mbak kerjanya. Permisi, Pak.” Vania tersenyum dan menepuk bahu Kasih dengan lembut. Lalu berjalan meninggalkan Asep dan Kasih di sana.
“Mbak Vania itu salah satu staf paling populer di sini, Kasih. Dia itu cerdas dan cekatan, sudah gitu ramah pada semua orang. Makanya dia jadi kesayangan Tuan Gasendra dan Aoyama San.” Asep menjelaskan.
Kasih hanya tersenyum dan mengangguk saja. Hatinya sedih dan terluka mendengar semua itu. Kenapa kakaknya bisa baik pada semua orang, sedangkan tidak pada dirinya. Seburuk itukah dirinya yang memang selalu dianggap bodoh di keluarga?
“Eh, sampai lupa … hmmm kamu gak berbuat salah kan sepagi ini pada bos besar?” Asep menatap Kasih.
“Enggak, Pak. Ketemu saja belum.” Kasih cukup terkejut dengan ucapan Asep.
“Syukurlah kalau gak ada, soalnya saya kaget saja, sepagi ini kamu diminta Tuan Gasendra ke ruangannya. Ditunggu sekarang katanya,” tukasnya.
“Ada apa ya, Pak? Saya gak akan dipecat ‘kan, Pak?” Kasih menatap Asep takut-takut. Dia teringat ancaman Vania tadi yang mengancamnya akan menghabiskan kontraknya.