Erica yang sedang menikmati minggu santainya di taman mini rumahnya, sambil meminum secangkir teh manis yang ia buat sendiri, menghirup udara yang sejuk. Nyaman! Satu kata yang pantas untuk dirinya saat ini. "Enak banget kalau tiap hari udaranya sejuk, tenang kaya gini," cetus Erica sambil menatap lurus.
"Ka." Erica yang mendengar langsung menoleh ke arah sumber suara yang ternyata tak jauh dari tempat ia bersantai, ternyata itu Gerry- Papahnya. Masih ada raut wajah kesal ketika mengingat bagaimana sang papah dengan gampangnya menjodohkan dirinya.
Erica menyahut, "Iya." Sesekali ia meminum teh manisnya. Gerry jelas langsung menghampiri sang anak dengan wajah yang sendu, ia tahu perasaan sang anak saat itu. Ia langsung duduk di kursi sebelah Erica, mereka terhalang meja di tengah.
"Apa kamu menerima perjodohan ini?" tanya Gerry dengan ragu, Erica tersenyum simpul mendengar pertanyaan tersebut.
Erica menjawab, "Kalau nolak percuma kan." Gerry jelas terdiam mendengar jawaban dari sang anak, apa segitu egoisnya dirinya soal kebahagian sang anak satu-satunya. Erica tersenyum tipis walau di hati terasa tidak terima.
"Papah minta maaf." Gerry menunduk seolah perminta maafnya itu tulus, Erica melirik melalui ekor matanya, entah kenapa rasanya sesak melihat sang papah meminta maaf.
Erica menyela, "Udah lah, kan enggak akan ngerubah apapun." Gerry merasakan hantaman yang berat ketika mendengar perkataan dari Erica.
"Apa kamu marah?" tanya Gerry lembut
"Percuma kan Erica ngomong panjang lebar, kalau Papah enggak ngertiin Erica, Papah tuh egois enggak mau dengerin pendapat Erica, Papah selalu ngerasa Papahlah yang paling benar dan mengerti soal kebahagian Erica," jelas Erica, ia bernafas lega ia bisa mengungkapkan walau dalam hati ia merasa terhimpit sesak.
"Kamu tahu, Papah tak ingin kejadian seperti ini. Papah mengerti hati kamu sakit, nak! Papah juga sakit melepasmu begitu cepat, tapi Papah juga enggak selamanya bisa menjaga kamu, Papah akan pergi suatu saat nanti dan Papah mau ada yang jaga putri kecil Papah," ujar Gerry, Erica yang mendengar dadanya langsung di penuhi oleh rasa sesak! Ia tak berani menatap mata sang papah , helaan nafas dari sang papah begitu berat seolah ada beban yang sedang ia pikul.
"Apa gue udah keterlaluan," batin Erica.
Gerry menatap lurus dan mengambil nafas perlahan. "Papah pikir dulu Ibu kamu cinta pertama Papah tapi, ternyata Papah salah semenjak kamu lahir Papah menyimpulkan cinta pertama seorang ayah adalah anak perempuannya, Papah ingat dulu kamu pernah jatuh karena baru belajar bersepeda, tapi kamu malah berlari dan memeluk Papah, disitu tangisan kamu pecah, di pelukan papah."
Erica mendengarkan dengan seksama ungkapan sang Papah, Gerry tersenyum tipis melihat ke arah sang anak. "Itu saat kamu umur 5 tahun. Dulu kamu selalu menceritakan hal kecil apapun ke Papah, nyariin Papah di saat Papah kerja, sekarang kamu sudah besar, bahkan kamu sudah bisa beradu argumen sama Papah."
Tanpa sadar air matanya lolos dari sudut matanya mengingat semua hal kecil dulu waktu anak gadisnya berumur lima tahun, waktu seolah berjalan begitu cepat sekarang anak kecil itu sedang duduk di sampingnya.
"Papah emang enggak mengerti kamu, enggak paham gimana kamu, papah juga enggak bisa kaya Ibu kamu yang selalu ada buat kamu, bahkan di saat kamu menangis karena Papah, karena ucapan Papah. Nak, Papah minta maaf. Papah hanya ingin kamu bahagia," putus Gerry.
Erica menatap rumput seolah mempertahankan bendungan air mata yang dari tadi ia tahan, namun air mata wanita tersebut lolos begitu saja, setiap ucapan yang keluar dari mulut Papahnya mampu membuat sesak begitu dalam.
"Pah," panggil Erica, namun ia tak berani menatap sang Paapg di saat air matanya turun deras.
Geryy menyela, "Kamu benar Papah egois." Sambil tersenyum tipis memandang langit.
"Kamu boleh menolak perjodohan ini kalau itu buat kamu bahagia, dan maaf kalau Papah membuat kamu merasa sakit hati," lanjutnya, Gerry lalu berdiri dan mencium pucuk kepala Erica dengan lembut lalu melangkah masuk kedalam rumah meninggalkan Erica yang masih terdiam tertunduk dengan deraian air mata karena setiap ucapan sang papah.
Erica diam, dadanya benar-benar di penuhi rasa sesak air matanya seolah tidak mau berhenti, hatinya benar-benar tertusuk karena ucapan papahnya bukan karena sakit hati, tapi karena ngerasa ia adalah anak yang bodoh. Ia mengingat dulu, orang tuanya akan melakukan apapun untuk dirinya bahkan ia merasa kebahagiaan orang tuanya adalah kebahagiaan dirinya. "Gue harus apa?!" tanya Erica sedikit lantang, ia menyenderkan tubuhnya di kursi dengan kepala yang mendongak ke atas langit.
Beberapa detik kemudian ia kembali menegapkan tubuhnya. "Gue terima aja, kali ini gue yang bahagiain Papah walau bukan kebahagiaan gue sesungguhnya," cetus Erica.
Wanita tersebut berjalan memasuki rumah dan langsung menuju kamarnya. Ia berganti pakaian, lalu menacapkan sedikit polesan make up di wajahnya. Tanpa pikir panjang setelah memasukkan handphone, lipbalm dan keperluannya di dalam tas selempang miliknya ia keluar dari kamar.
Reti menoleh ke arah sang anak yang sudah berpenampilan rapih. "Kamu mau kemana Kak?" tanya Reti lembut, Erica mihat sejenak ke arag kedua orang tuanya terlebih ke arah sang Papah yang ia tahu kalau papahnya sedang melirik.
Wanita tersebut tersenyum ke kedua orang tuanya "Mau nurutin kata papah, Erica harus bahagia," jawab Erica. Ia lalu berpamitan ke sang Ibu yang hanya mengernyitkan dahi bertanya
"Pah." Retti memanggil sendu, sang Suami hanya menghela nafas perlahan seolah ia tahu bahwa anaknya tidak akan menerima itu.
Gerry memegang lembut sang istri dan berkata, "Biarkan Bu, Papah enggak mau menjadi orang tua yang egois, Papah enggak mau membuat anak tidak bahagia." Ia tersenyum simpul menatap sang istri.
"Tapi gimana dengan kamu Pah?" tanya Retti dengab raut wajah khawatir.
"Kamu enggak usah khawatir, Papah akan lebih sakit kalau anak kita tiidak bahagia karena permintaan Papah," ucap Geryy lembut. Retti hanya mengangguk sambil tersenyum sendu, tanpa sadar Erica sedari tadi masih mendengar percakapan mereka dan tersenyum tipis seolah berdoa dengan mata penuh harap.
Wanita tersebut kini berjalan ke arah garasi rumahnya dan menaiki mobil, kedua orang tuanya yang sadar Erica baru saja melajukan mobilnya salng memandang satu sama lain. "Bu, enggak mungkinkan Erica mendengar semuanya?" tanya Gerry menatap sang istri.
Reti membalas, "Aku harap enggak Pah."
Erica menyetel lagu untuk menemaninya selama di perjalanan, ia membuka kaca mobilnya setengah untuk menikmati udara, ia tersenyum terus selama perjalanan menuju tempat yang tuju. Setelah beberapa lama kemudian, Erica memarkirkan mobil di tempat parkir lantai apartemen yang sahabatnya tempatin.
"Pasti Anti bakal ngejerit kalau gue datang enggak ngabarin," gumam Erica lalu menekan tombol kunci, dan berjalan ke arah lorong apartemen tersebut, kebetulan kamar apartemen Rianti paling pojok.
Kini langkah kakinya sudah berada di pintu apartemen sahabatnya, ia memasuki kunci mobil ke dalam saku celana. Terkadang wanita tersebut juga heran kepada sahabatnya kenapa harus tinggal di apartemen padahal ia punya rumah.
Erica mengetuk pintu dan sesekali menekan tombol bell. Rianti yang sedang menonton drama korea jelas terganggu, ia menoleh ke arah pinty apartemennya dan sesekali mengomel sendiri. "Ganggu aja si!" seru Rianti kesal.
Rianti berjalan ke arah pintu untuk membukanya, namun ketukan tersebut semakin kencang dan membuat Rianti mengumpat. "Siapa si anj–"
"Erica!" seru Rianti ketika tahu yang ada di hadapannya adalag Erica sahabatnya. Wanita tersebut masuk begitu saja dengan sahabatnya yang masih terdiam karena kehadiran Erica.
Rianti berkata, "Kok lu ke sini enggak ngabarin gue dulu si?" Erica duduk di sofa dan langsung memakan cemilan yang sudah di buka sahabatnya.
"Lu ngedrakor sepagi ini?" tanya Erica ketika melihat laptop Rianti di hadapannya.
Rianti menyela, "Ngedrakor itu enggak kenal waktu." Sambil menaikkan kedua alisnya, Erica hanya memutar bola matanya dengan jengah namun yang di bilang sahabatnya emang benar.
Erica berkata, "Gue ada berita, gue yakin lu bakalan kaget." Rianti melirik ke arah sahabatnya yang kini senyam-senyum sendiri.
"Alah paling dapet cowok baru," cetus Rianti.
"Bukan!" seru Erica sambil berjalan ke arah kulkas untuk mengambil minuman bersoda yang sering sahabatnya stock.
Rianti lalu mengernyitkan dahinya menatap sahabatnya yang kini sudah duduk kembali di sampingnya dan memberikan satu kaleng soda kepada sahabatnya
"Bukan cowok baru? Berarti di beliin tas terbaru?" tanya Rianti sambil membuka minuman kalengnya.
Erica menjawab,"Tas gue udah banyak, itu aja mau gue jual-jualin." Rianti kembali terdiam dan mengerutkan keningnya menoleh ke arah sahabatnya yang benar-benar tidak ia mengerti saat ini.
"Di transfer?" Rianti kembali menembak.
Erica membalas, "Itu mah udah biasa. Payah banget lu ah enggak bisa nebak." Rianti yang mendengar langsung menoleh ke arah sahabatnya dengab tatapan tajam.
"Kamperet lu!" seru Rianti, lalu melempar bantal soffa yang sedang ia peluk.
Erica dapat menghindar dari timpukan tersebut. "Eits enggak kena," cetus Erica.
"Terus apa Ri?! Ish lu mah bikin orang penasaran aja? Atau gue di kerjain lagi sama lu!" seru Rianti. Erica yang mendengar hanya tertawa, mengerjai sahabatnya dengan penuh penasaran itu menyenangkan.
"Gue–" Baru saja Erica ingin berbicara, dering handphone Erica berbunyi yang membuat Erica langsung menoleh ke arah handphonenya, ia mengerutkan keningnya yang membuat Rianti menatap heran.
"Ntar dulu, gue nerima telepon dulu dari Boby," ucap Erica, sedangkan Rianti hanya memutar bola matanya dengan jengah.
Rianti mendengus kesal dan berkata, "Kamperet lu dasar!" Erica yang mendengar hanya menyengir saja tanpa dosa, Erica lalu mengangkat telepon tersebut.
"Halo sayang." Rianti sudah hafal betul dengan nada dan logar sahabatnya, ia pura-pura muntah ketika mendengarnya. Erica yang melihat lalu mencubit pelan sahabatnya.
"Kamu lagi dimana?"
"Aku lagi di apartemen Rianti, kenapa?"
"Aku kangen sama kamu, kita jalan yuk, aku beliin apapun yang kamu mau." Erica terdiam sejenak, Rianti mengernyitkan dahi penasaran.
Rianti berbisik, "Kenapa wey."
"Doi ngajak jalan plus belanja," bisik Erica kembali.
"Halo, sayang. Halo." Telepon tersebut masih tersambung.
Erica langsung kembali mendekatkan kembali handphonenya yang sempat ia jauhkan karena gibahan sebentar dengan Rianti. "Hari ini aku enggak bisa sayang, Rianti lagi galau banget di tinggalin pacarnya." Rianti yang mendengar langsung menoleh tajam dengan mulut penuh cemilan.
Baru saja ingin teriak, jari telunjuk Erica sudah berada di bibir Rianti seolah menyuruhnya untuk tetap diam.
"Jadi kita enggak bisa pergi berdua nih?"
"Lain kali aja ya sayang, kasihan sahabat aku. Takutnya dia tenggelem di bak mandi." Rianti jelas kembali melotot ke arah Erica yang menyengir tanpa dosa.
"Ya udah kalai gitu lain kalo tapi harus bisa ya, salam buat Rianti semoga nemui pengganti yang setia kaya aku."
"Iya sayang. Bye." Erica langsung mematikan teleponnya, ia menghempaskan handphonenya ke sampingnya, lalu ia berdecak kesal ketika Bobya entah pacar yang keberapa bilang kalau ia setia.
Rianti berkata, "Lu kenapa?"
"Laki-laki kadang lucu ya Nti," ucap Erica tiba-tiba, ia meminum minuman kalengnya.
Rianti menyela, "Ya ada yang manis juga si." Wanitantersebut jelas menoleh ke arah sahabatnya, lalu menoyor kepala sahabatnya tanpa ijin.
"Bukan itu maksudnya bambank!" seru Erica.
"Ya terus apa? Kan lu bilang lucu?" tanya Ranti dengan bingung.
Erica menatap jengah ke sahabatnya, ia lalu mengambil cemilan dan memakannya. "Maksud gue, lucu cowok bilamg setia padahal dia buaya kelas kakap," ujar Erica.
Rianti jelas ber Oh ria ketika mendengar perkataan sahabatnya, ia baru paham maksud kata lucu yang di lontarkan. "Ya itulah laki-laki, dia bisa belaga setia padahal menyimpan simpanan dengan rapat," cetus Rianti sambil menyenderkan tubuhnya di sofa.
"Menurut lu apa gue salah pacaran dengan para cowok?" tanya Erica.
Sahabatnya menoleh ke arahnya dan menjawab, "Sebenarnya si salah, cuman percuma kan kalau lu punya argumen yang membenarkan itu semua." Erica tersenyum menyeringai ketika mendengar jawaban sahabatnya.
"Lagi pula kalau gue dapet karma enggak nyesel-nyesel banget lah, soalnya gue mainin para buaya," cetus Erica.
Rianti menggelengkan kepala sambil tersenyum mendengarnya. "Lagi kenapa lu capek-capek jadi fakgirl si?" tanya Rianti.
"Ngasih pelajaran aja ke mereka gimana sakitnya kalau di mainin, di sakitin, di manfaatin, terus di buang gitu aja," jelas Erica. Rianti hanya tersenyum simpul mendengarnya, tujuan dari sahabatnya memang baik namun caranya salah. Kebanyakan pacar Erica adalah playboy kelas kakap, namun di mata wanita tersebut mereka hanyalah benalu.
Rianti berkata, "Gue cuman takut lu di labrak sana sini sama mantan-mantannya pacar lu."
Erica jelas tertaaa mendengarnya, ia menoleh ke arah sahabatnya dan memeluknya secara tiba-tiba yang membuat Rianti mengernyitkan dahi. "Mulai dah enggak jelasnya," cetus Rianti.
"Tenang aja Nti, gue enggak takut sekalipun mereka keroyokan. Eh, tapi bukannya mereka harus bersyukur sama gue ya karena membalas sakit hati mereka," cetus Erica.
Rianti menoyor kepala sahabatnya hingga membuat Erica tersungkur bersandar ke sofa. "Enggak semua otaknya picik kaya lu, dan enggak semuanya orang tahu cara berterima kasih," ungkap Rianti.
"Lancar juga otak lu," cetus Erica sambil tertawa jelas membuat sahabatnya hanya menggelengkan kepala menatapnya.
Notifikasi pesan yang terus menerus masuk di handphone-nya Rianti membuat Erica menoleh sambil mengerutkan kening, ia menatap handphone sahabatnya dan sesekali menatap Rianti. "Balas apa itu, daripada spam terus," ujar Erica.
"Ini gara-gara lu ya!" seru Rianti lalu memukul lengan sahabatnya hingga membuat Erica mengerutkan keningnya heran.
Erica menyela, "Awskhh sakit Nti. Suka banget mukul lu!" Ia memegang lengan tangannya yang sedikit nyeri.
"Lu tahu enggak yang nyepam itu cowok yang waktu itu minta nomor, dia ngajak gue ketemu mulu," cetus Rianti sambil memanyunkan bibirnya.
Erica lalu mendekatkan duduknya ke arah sahabatnya dan berkata, "Gerak cepet juga tuh anak."
Rianti menatap menyalang ke arah sahabatnya yang di balas hanya cengiran khas tanpa dosa dari Erica.