Mereka berdua berjalan melewati lorong kampus. "Udah enggak ada jadwal lagi kan?" tanya Erica.
"Kayanya si enggak," jawab Rianti lalu tertawa mmebuat Erica menoleh sambil memandang sengit.
Erica menyela, "Serius anjinc."
"Iya Ericaku, udah enggak ada jadwal lagi kita," balas Rianti.
Mereka berdua melangkah ke arah parkiran, tentu setiap kali mereka lewat godaan-godaan selalu terdengar di telinga mereka, Rianti yang bosan mendengarnya hanya mengabaikan dengan wajah yang biasa saja, sedangkan Erica tersenyum manis yang membuat siapapun terhipnotis karena senyumnya tersebut.
"Fans lu tuh," cetus Rianti.
Erica tertawa sejenak menatap Rianti yang sepertinya kesal dan kebisingan karena godaan tersebut."Iri aja lu maemunah," balas Erica.
"Enak aja lu, sorry ya gak level," ketus Rianti yang membuat Erica tertawa menatapnya. Mereka berdua lalu melanjutkan langkah kakinya menuju parkiran.
Erica mencetus, "Let's goo!" Ketika sudah membuka pintu mobil.
"Heh! Berhenti lu!" seru seseorang, Erica dan Rianti jelas menoleh ke arah sumber suara. Erica langsung kembali menutup pintu mobil, sedangkan Riantin kini berjalan menuju sahabatnya, ia hanya takut jika sahabatnya akan lepas control.
Rianti memperingati, "Jangan emosi." Dengan berbisik.
Erica bertanya, "Ada apa?!" Wanita tersebut menatap dari atas sampai bawah kepada wanita yang menegurnya tadi.
Rianti menyela, "Kak Fiu maaf ya kita buru-buru." Rianti berusaha menarik tangan Erica.
"Udah tenang, gue enggak bakal main kasar," cetus Erica berbisik.
Fiu memandang remeh ke arah dua wanita yang ada di hadapannya. "Enggak usah belagu lu jadi junior! Pelakor dasar!" seru Fiu, ia lalu menjambak rambut Erica dengan tiba-tiba membuat Rianti jelas terkejut.
"Ka, enggak usah pake jambak bisa kan?!" seru Rianti dengan nada naik satu oktaf membuat Gia teman Fiu tersulut emosi juga menjambak rambut Rianti. Tanpa sadar mereka menjadi pusat perhatian, dan banyak yang memvideokan adegan mereka tersebut.
Erica sudah sangat tersulut emosi, tanpa pikir panjang ia mengambil tangan Kakak tingkatnya tersebut lalu memelintir hingga membuat Fiu meringis dan melepas jambakannya tersebut. Gia yang melihat lalu melepas dengan kasar jambalannya dari Rianti hingga membuat tubuh wanita tersebut terdorong ke mobil Erica.
"Awkshh." Erica tersenyum simpul mendengar ringisan tersebut.
Gia menyela, "Lepasin tangan kotor lu!" Erica lalu melepas dengan kasar hingga membuat Fiu terdorong dan di tangkap oleh Gia.
"Gue peringatin sama lu! Kalo lu mau main kasar, inget gue bisa lebih kasar!" seru Erica. Semua melihat itu, mereka tahu bagaimana sosok Erica sejak pertama masuk kuliah, tak pernah ada yang ia takuti di kampus selain dosen.
Erica berjalan ke arah Rianti dan membantunya berdiri. "Lu enggak papa Nti?" tanya Erica.
"Enggak papa santai," balas Rianti.
Baru saja Erica ingin membuka pintu mobil, ia membalikkan badan dan berkata, "Ah iya gue lupa! Pelakor? Heh sampai saat ini yang ngejar itu cowok lu bukan gue. Jadi kalau mau ngatain pikir dulu mbak?!"
Rasanya Erica ingin sekali menghabisi wanita yang tidak punya etika tersebut, namun tangannya di tahan oleh sahabatnya. "Udah! Jangan di ladenin lagi," cetus Rianti.
Erica menghela nafansya dengan kasar, matanya masih menyalang ke arah dua orang yang mengaku sebagai senior dengan bangganya. Mereka berdua kini memasuki mobil menimggalkan Fiu yang terdiam dan menjadi pusat perhatian.
Fiu mengepalkan tangan menatap mobil Erica yang melaju di hadapannya. "Ngapain lu lihatin gue?!" seru Fiu berteriak ketika sadar kalau ia di lihatin.
"Siyalan!"seru Erica, lalu memukul stir mobilnya, Rianti hanya menoleh sambil menggelengkan kepalanya pelan.
Rianti berkata, "Udah enggak usah di pikirin."
"Gila Nti, gue di katain pelakor! Kan gila tuh orang," ucap Erica dengan nada kesal yang masih mengebu-gebu.
Rianti menyela, "Emang kenapa si kok dia bisa bilang lu pelakor?"
"Lu tahu Riza kan?" tanya Erica yang membuat Rianti terdiam seolah memikirkan.
Rianti menyela, "Riza anak teknik?" Erica mengangguk untuk menjawabnya.
"Katanya Riza itu putusin tuh cewek tiba-tiba, buat ngejar gue," cetus Erica.
Rianti menoleh dengan rasa terkejut dan berkata, "Cuman gara-gara itu doang?"
"Iya, kan gila. Yang ngejar cowoknya, lah gue yang di buat malu. Anjim banget emang tuh kating anjinc," balas Erica.
Rianti bertanya, "Terus tuh cowok masih ngejar lu?"
"Masih," balas Erica. Sedangkan Erica kini hanya ber Oh ria.
Rianti berkata, "Udah lah anggap aja dia caper sama lu, panjat sosial lagi jaman sekarang." Erica lalu menoleh dan tertawa mendengar perkataan dari sahabatnya tersebut.
"Seleb banget kali gue," ujar Erica lalu tertawa setelahnya.
Erica lalu melajukan mobil dengan kecepatan penuh yang membuat Rianti menoleh dengan raut wajah ketakutan, ia memegang erat seatbelt-nya. "Erica! Lu stres ya, gue enggak mau mati muda!" seru Rianti sedikit berteriak.
Wanita tersebut hanya tertawa melihat raut wajah sahabatnya ketakutan hampir menangis, kini laju mobilnya ia perlambat. "Gimana?" tanya Erica sambil menaikkan kedua alisnya lalu tertawa.
Jantung Rianti berdegup kencang, bukan karena jatuh cinta namun karena ketakutan karena laju mobil yang di bawa sang sahabat. "Lu gila ya Ri? Astagfirullah jantung gue," cetus Rianti sambil memegang dadanya.
"Maaf deh maaf, mau test drive gue. Udah lama engga test drive soalnya," ujar Erica.
Rianti menyela, "Lain kali mau test drive sendiri aja, gue enggak mau mati muda gara-gara elu." Erica hanya tertawa saja mendengar perkataan sang sahabat.
"Eh kita mau kemana?" tanya Rianti ketika mengetahui kalau mobil sahabatnya memasuki toll.
Erica mejawab, "Tempat adem." Sambil menaikkan kedua alisnya, Rianti hanya mengernyitkn dahi atas jawaban sang sahabat.
"Di mobil juga adem," balas Rianti.
"Beda lah bambank! Udah pokoknya lu bakal suka nanti sama tempatnya," ujar Erica.
Rianti hanya diam saja mendengarnya, percuma juga berdebat dengan sahabatnya ia tidak akan menang. Rianti menyetel lagu untuk menemani perjalanan mereka berdua, kebetulan lagu yang di setel adalah lagu yang mereka hafal.
Deringan telepon membuat Erica menoleh sekilas, ia langsung memasamg airpods untuk bisa menganggakat dan fokus ke jalanan.
"Halo sayang."
"Kamu di mana?"
"Aku lagi di jalan sama Anti nih, kenapa?"
"Aku udah transfer uang jajan buat kamu." Erica jelas terkejut, ia menoleh ke arah Rianti yang kini menaikkan kedua alisnya seolah bertanya.
"Loh, aku kan enggak minta."
"Aku ngasih, kalau kurang kabarin ya."
"Terima kasih ya sayang, nanti aku kabarin kalau sudah sampai tempat tujuan aku. See you, love you." Erica mematikan telepon tersebut dan melepaskan airpods miliknya, raut wajahnya berseri sambil berdendang lagu yang tersetel.
Rianti menoleh sambil mengerutkan kening. "Kenapa si lu? Bahagia banget? Di lamar?" tanya Rianti.
"Abis di kasih uang jajan," ujar Erica sambil menaikkan kedua alisnya.
"Dari yang siapa?" tanya Rianti, Erica yang mendengar pertanyaan sang sahabat jelas tertawa.
Erica menyela, "Gitu ama lu sama gue."
Rianti menoleh sambil bermenye-menye. "Ya kan pacar lu banyak? Enggak salah dong gue nanya?" tanya Erica.
"Dari Digo," balas Erica.
"Digo siapa lagi? Astagfirullah lu punya yang baru lagi?" tanya Rianti yang membuat Erica menyengir kuda saja melihat ke arah sahabatnya.
Erica mencetus, "Udah ish kaya enggak tahu gue aja. Belaga kaget gitu." Rianti hanya menghela nafasnya lalu menggelengkan kepalanya pelan, ia kini berfokus ke arah jalanan.
Kini mereka telah sampai di tempat tujuan setelah menempuh perjalanan sekitar 1 setengah jam dari kampusnya. Erica tanpa pikir panjang memarkirkan mobilnya di tempat yang tersedia. "Turun, udah sampai kita," ujar Erica.
Mereka berdua kini turun dari mobil, Rianti melihat sekeliling sambil berdecak kagum akan tempatnya.
"Gila ternyata ada tempat sebagus ini," ucap Rianti, sedangkan Erica hanya tersenyum sambil mengangguk.
Erica berkata, "Gimana? Enggak nyesel kan lu."
"Benae kata lu, keren banget ini tempat," balas Rianti sambil melihat pohon-pohon yang menjulang tinggi seolah meneduhkan, kabut-kabut tipis yang membuat suasana semakin sejuk.
Mereka berdua lalu masuk ke cafe' tersebut dan mencari tempat duduk yang mengarah langsung ke indahnya pemandangan."Lu mau mesen apa?" tanya Erica, sedangkan Rianti tidak menggubris iamasih menyaksikan indahnya alam dan sejuknya udara, benar-benar tak ada polusi Rianti menghirup udara dengan pelan seolah membiarkan kesejukan masuk kedalam tubuhnya.
Erica mengernyitka dahi. "Woy," ucap Erica mengkagetkan.
"Eh iya," ucap Rianti sedikit terkejut.
"Iya iya! lu mau mesen apa?" tanya Erica.
"Apa aja deh," balas Rianti, sedangkan Erica hanya menggelengkan kepalanya lalu memesan menu favorite di cafe' tersebut.
Tak lama kemudian, Erica kembali dan duduk di samping Rianti yang kini memotret pemandangan."Keren kan?" tanya Erica.
"Iya, tahu aja lu tempat-tempat ginian," balas Rianti.
Erica menjawab, "Erica gitu loh, apa si yang enggak gue ketahuin." Ia lalu tertawa membuat Rianti hanya menatap jengah ke arah sahabatnya.
Mereka berdua menghabiskan waktu bersama , quality time untuk sahabat karena mereka jarang bisa menghabiskan waktu bersama seperti hangout bareng dan seperti sekarang ini.
"Kalo gue udeh beneran nikah gimana ya," ujar Erica sambil menyeruput minuman yang telah ia pesan.
Rianti berkata, "Ya enggak gimana-gimana, lu emang berharapnya gimana?" Sambil melihat sahabatnya yang kini terdiam memandang lurus ke pemandangan.
"Ngeri enggak jadi istri yang bener gue," cetus Erica, sedangkan Rianti benar-benar tertawa geli karena ucapan sahabatnya, bisa-bisanya ia berfikir seperti itu.
Erica menoleh ke sahabatnya dan berkata, "Si bangke malah ketawa."
"Sorry, sorry." Rianti lalu menghentikan ketawanya sejenak dan melihat lekat ke arah sahabatnya.
Rianti berceloteh, "Gue enggak habis pikir aja, seorang Erica mikirin juga ternyata jadi istri yang benar." Ia kembali tertawa mengingat bagaimana perkataan sahabatnya tadi.
"Yeh gue kan gini-gini kalo udah nikah mau benar juga maemunah!" seru Erica sambil memutar menatap jengah ke arah Rianti.
Rianti membalas, "Benarin dari sekarang dong kalo berani." Sambil menaikkan kedua alisnya seolah menantang sahabatnya tersebut
"Yeh jangan gitu dah lu," cetus Erica.
"Lah kenapa? Kan biar belajar jadi istri yang baik," balas Rianti, ia menekankan kata istri yang baik, membuat Erica menatap jengah ke arah sahabatnya.
"Ya kan nanti bangsuul!" Rianti hanya menatap lalu menggelengkan kepalanya dengan pelan, sahabatnya benar-benar tidak bisa di andalkan jika di suruh berubah.
Rianti bertanya, "Calon lu siapa si emang?" Sedangkan Erica terdiam ia juga memikirkan siapa calon suami pilihan sang ayah.
Erica menghendikkan bahunya yang membuat Rianti menatap terkejut. "Jangan bilang lu belom tahu mau di jodohin sama siapa?" tanya Rianti.
"Belom, kan ayah gue juga belum ngasih kejelasanya, kasih unjuk poto aja belum. Lagi ya ayah gue kenapa punya pikiran buat jodohin gue si," kesal Erica.
"Berarti ayah lu sayang sama lu," balas Rianti.
Erica menoleh dan berkata, "Emang harus dengan perjodohan?" Ia menatap lekat ke arah Rianti yang kini terdiam dan nengalihkan pandangannya, ia menyeruput minumannya secara perlahan seolah tidak tahu harus menjawab apa atas pertanyaan sahabatnya.
"Ya mungkin Ri, dia mau lu jadi wanita benar," cetus Rianti yang jelas mendapat tatapan sengit dari sahabatnya.
Erica menceletuk, "Emang kurang benar apa gue selama ini?"
"Kurang benar si kalau masih mainin hati laki-laki," ucap Rianti lalu menyengir kuda yang membuat Erica hanya memutar bola matanya dengan malas.
"Gue tuh enggak mainin Nti, gue cuman nyari yang cocok dan enggak ninggalin gue saat tahu gue begini," jelas Erica dengan santai.
Rianti jelas tersedak karena penjelasan sahabatnya, ia menoleh dan berkata, "Lu enggak salah ngomong? Eh maemunah mana ada orang yang mau bertahan di saat di sakitin berulang kali, terlebih pacar lu bukan cuman 1."
Erica tersenyum tipis dan berkata, "Ya berarti bukan mereka yang gue cari." Rianti menatap melongo lalu menidurkan kepalanya ke meja yang membuat Erica hanya tertawa pelan terlebih raut wajah sahabatnya benar-benar tidak bisa di jelaskan.
"Capek gue ngomong sama lu," ujar Rianti dengan sendu.
Wanita tersebut mengelus punggung sahabatnya yang semalin membuat Rianti frustasi tidak habis fikir oleh sahabatnya. "Sabar Nti, sabar," ungkap Erica.
Rianti menatap pasrah ke arah sahabatnya, ia menghela nafasnya seolah melepas kefrustasian atas bicara dengan Erica. "Kak boleh minta nomornya?" Erica dan Rianti jelas menoleh ke arah sumber suara, mereka berdua saling menatap satu sama lain.
"Mau minta nomor sama siapa?" tanya Erica.
"Sama Kakak yang ini," ucap laki-laki berwajah tampan, Erica menoleh ke arah Riantin lalu menyenggolnya perlahan.
Erica menyela, "Ah boleh, gue kasih tahu nomornya nih." Ia lalu mengambil handphone laki-laki tersebut dan mencatat nomor Rianti yang jelas ia hafal.
"Terima kasih ya Kak," ungkap laki-laki tersebut.
Erica hanya mengedipkan mata sambil membentuk 'Ok' pada jarinya untuk membalas perkataan laki-laki tersebut.
"Cie, cie." Rianti menoleh ke arah Erica dengan tatapan bingung, sedetik kemudian ia tersadar dan menunjuk sahabatnya yang kini menaikkan kedua alisnya.
"Jangan bilang?!"
"Erica!"
Erica menyahut, "Apasi Nti, orang dia minta nomor lu masa iya gue kasih nomor gue, aneh lu."
"Ah bodolah Ri! Bikin naik darah aja lu," cetus Rianti.
"Lagi juga dia ganteng loh, kayanya si boleh lah buat gandengan di nikahan," ujar Erica sambil melihat ke arah laki-laki yang tadi meminta nomor sahabatnya, Rianti mengikuti arah pandang sahabatnya