Di kerajaan Valeria.
Karina berdiri di depan cermin kamarnya, memandangi pantulan diri yang menampakan seorang perempun cantik dengan rambut panjang yang dikuncir tinggi di sana. Gadis itu memejamkan mata sesaat, kemudian membuka perlahan merasa tidak tenang. Pasalnya kabar tentang Eternal Ice yang ingin menyerang Valeria sudah sampai di telinganya. Bahkan, pada sang raja—ayahnya sendiri— Raja Duke Aaron.
Ia tersentak kaget, saat pintu kamarnya diketuk dari luar membuat ia bersuara menyuruh masuk saja. Alisnya terangkat naik saat melihat dua pelayannya mendekat dengan membawa sesuatu pada nampan.
“Ada apa?” Tanyanya tanpa basa-basi, memandang sesuatu di dalam wadah itu dengan ekspresi masam. “Ratu Eliana menyuruh kami untuk memandikan Putri Karina. Karena Putri sudah lama berkelana, pasti ada banyak kotoran yang hinggap di badan indah anda.” Kata salah satu pelayan, Karina yang mendengar itu sontak mendelik sendiri merasa geli saja.
“Tidak perlu, aku bisa mandi sendiri. Kalian tidak perlu memikirkan aku, emangnya aku anak bayi, apa?” Gerutu gadis itu mendecak samar, meraih tempat busur panah dan menyampirkannya ke belakang punggung. Tanpa mendengar ucapan dua pelayannya, Karina sudah melesat keluar sembari membanting pintu kasar.
Gadis beriris mata ungu muda itu berjalan ke arah kamar kedua orangtuanya, namun langkahnya terhenti saat berpapasan dengan tangan kanan ayahnya yang kini menghadang jalannya.
“Tuan putri dari mana saja, bukankah Raja Duke melarang anda untuk bepergian lagi seenaknya?” Ujar pemuda itu dengan merunduk samar pada Karina yang tinggi sedadanya itu. “Kau tidak perlu tahu, apa ayah ada di dalam ruangannya?” Tanyanya sudah ingin masuk sebelum mendengar balasan dari sosok ksatria di depannya itu. “Raja Duke sedang tidak ingin diganggu, jadi anda lebih baik tidak menemuinya sekarang.” Karina memutar mata jengah, menepis kasar tangan pemuda itu sampai sosok bernama Ellard itu terdorong kecil.
Karina sudah menyelonong masuk, membuat Ellard terpaksa mengekori sampai ke ruangan tempat raja bekerja. Raja Duke yang sedang merunduk pada sesuatu di atas mejanya menegakan tubuh, merasakan kehadiran sang putri di dalam ruangannya.
“Kau kemana saja, anakku?” Tanya Raja Duke tanpa menoleh pada Karina yang kini berdiri di ambang pintu dengan Ellard yang masih mengekori. “Apa ayah tahu kalau kerajaan Eternal sedang kacau sekarang?” Bukannya menjawab pertanyaan sang ayah, Karina malah balik bertanya dan perlahan melangkah maju ke dalam ruangan kerja Raja Duke yang langsung mengangkat kepala menatapnya. “Emanganya ayah harus mengetahui kabar tentang Eternal Ice, untuk apa?” Ujar Raja Duke masih santai.
“Raja baru Eternal Ice bukanlah raja yang seharusnya. Semua seakan disabotase dan mengikuti permainan licik Virga.” Jelas Karina dengan rahang mengeras, “apa maksudmu dengan menyinggung soal keponakan Raja Samuel? Bukannya yang menjadi raja Eternal yang baru adalah mantan tunanganmu itu Pangeran Yatara?” Karina mendecak kasar, paling tidak suka ayahnya kembali membicarakan masa lalunya yang kelam. “Tidak, sekarang Virga adalah raja baru Eternal. Dan juga Pangeran Yatara tidak berada di Eternal.” Kata gadis itu lagi membuat Raja Duke mengernyitkan dahi tidak mengerti.
“Bicara apa kau ini, kalau dia tidak berada di kerajaan. Terus kemana?”
“Pangeran Yatara terjebak di dalam tubuh seorang manusia,”
Raja Duke sontak terkekeh pelan mendengar perkataan Karina, “kalau kau mau melucu, sepertinya sekarang bukan saat yang tepat, Karina. Kau harus cepat menemui ibumu, dari kemarin ibumu ingin bertemu denganmu.” Kata Raja Duke mengalihkan pembicaraan.
“Itu alasan kenapa Pangeran Yatara tidak bisa kembali ke kerajaannya sekarang, ayah.”
“Karina, apa kau lupa kalau kerajaan Eternal Ice adalah kerajaan musuh? Mereka sudah mengangkat senjata bersiap untuk datang menyerang kerajaan Valeria.” Kata Raja Duke tidak sadar membentak sang putri, “kalau ada yang harus kau cemaskan, kau harusnya mencemaskan keadaan Raja Valeria. Perhatikan rakyatmu dan juga ibundamu yang sudah sering sakit-sakitan karena tingkah lakumu yang tidak bisa diatur itu.” Sambung Raja Duke mengeraskan rahang, mengomeli Karina yang kini berusaha menguasai air mukanya.
“Apa ayah tahu, Eternal Ice bukan hanya dilanda masalah serius tentang Raja Samuel yang jatuh sakit. Tapi, juga Virga yang kini menjadi Raja Eternal Ice dengan cara licik.” Jeda Karina sesaat, “dan satu hal lagi yang perlu ayah tahu … di Eternal Ice muncul moster penghisap darah. Dan hampir semua rakyat di desa Haba menjadi korban,” Raja Duke terdiam mendengar apa yang sang anak katakan.
“Beberapa anggota kerajaan di sana menjadi korban, seluruh rakyat Desa Haba luluh-lanta mati dan ada juga yang berubah menjadi monster.” Jelas Karina membuat Raja Duke dan Ellard yang mendengar itu makin membulatkan mata kaget. “Karena tidak ingin para monster itu berkeliaran dan menghancurkan Eternal Ice, Virga membuka pintu menuju dunia manusia … mengirim semua monster ke sana.” Karina tidak bisa menyembunyikan rasa geramnya, kedua tangannya bahkan mengepal kuat sedari tadi dengan tatapan tajamnya. “Kau serius dengan ucapanmu?”
Karina menghela samar kemudian mengangguk mengiyakan, “ayah harus segera turun tangan dan membantu untuk menghentikan monster-monster ganas itu. Karena kalau tidak, ayah juga akan merasakan imbasnya bagaimana kerajaan ayah akan di serang nantinya.” Karina kembali melanjutkan ucapannya yang membuat Raja Duke makin kehilangan kata-kata.
“Jadi, apa rencanamu sekarang?” Tanya Raja Duke menegakan tubuh, mendekat pada sang putri yang menoleh sekilas pada Ellard di sampingnya, “ijinkan aku untuk pergi ke dunia manusia. Agar aku bisa membantu Pangeran Yatara dan juga Edgar di sana.” Kata Karina meminta ijin pada ayahnya dengan ekspresi dingin. “Pangeran Yatara ke dunia manusia?”
Raja Duke benar-benar tidak bisa mempercayai apa yang Karina katakan. Apalagi seseorang yang merupakan seorang pangeran mahkota pergi ke dunia manusia—tidak bisa dipercaya sama sekali.
“Aku sudah jelaskan tadi, kalau Pangeran Yatara berada di dalam tubuh seorang manusia sekarang yang bernama Theodoric.” Raja Duke mengernyitkan alis mendengar penjelasan Karina, “dan manusia itu pasti ngerasa terancam kalau tahu semua monster yang berada di Eternal Ice di kirim keluar oleh Virga ke tempatnya tinggal.” Lanjut Karina menggebu-gebu, “ayah masih bingung dengan apa yang kau bicarakan, Karina.” Sahut Raja Duke kini mendudukan diri pada kursi kebesarannya.
“Aku juga sejujurnya belum sepenuhnya percaya, tapi karena aku melihat sendiri bagaimana manusia itu … aku jadi semakin percaya kalau pangeran Yatara memang terjebak di sana. Dia tahu … tentang pedang api yang hanya orang-orang Kerajaan Eternal Ice tahu.” Karina membasahi bibir bawahnya sekilas. “Selama ini kan Raja Samuel sudah banyak membantu kerajaan Valeria. Jadi … ijinkan akau ke dunia manusia dan membantu Pangeran Yatara.” Lanjut Karina sembari memohon membuat Raja Duke menghela napas gusar.
“Kalau begitu, pergi temui ibumu. Kalau ibumu mengijinkan, ayah juga pasti mengijinkan.”
“Ayah tahu sendirikan, kalau ibu sangat tidak suka kalau aku terlibat perang dan hal semacam itu?” Raja Duke menganggukan kepala tanpa beban, “makanya ayah sengaja melakukan itu, kau harus bisa mendapat ijin dari ibumu baru ayah ijinkan kau pergi ke tempat yang berbahaya itu.” Lanjut Raja Valeria itu tersenyum samar, Karina sontak menggigit rahang kuat, menoleh pada Ellard yang berdiri di sampingnya tanpa bicara sepatah kata.
“Kalau aku berhasil mendapatkan ijin dari ibu, ayah harus mengabulkan satu permintaanku.”
“Baiklah, apa saja akan ayah kabulkan.”
“Berikan Ellard padaku, aku yakin … dia akan sangat berguna kalau ikut denganku ke sana.” Kata Karina lagi dengan menatap Ellard yang nampak kaget dengan ucapannya, “kenapa harus Ellard?” Karina terdiam sesaat, lalu mengangkat kepala menatap ayahnya lagi.
“Karena Ellard adalah orang kepercayaan ayah.”
Raja Duke tersenyum kecil, mengangguk-nganggukan kepala mengiyakan.
“Baiklah, ayah setuju.”
***
Truck anggota militer baru saja tiba di depan gerbang sekolah Bhinneka. Semua anggota memakai senjata, lengkap juga dengan vest mereka. Allen yang merupakan salah satu yang berada di dalam truck berisi puluhan anggota militer itu nampak merasa gugup. Apalagi ia sebelumnya belum pernah punya pengalaman seperti ini, datang menemui para monster yang merupakan murid-murid Bhinneka.
Allen tidak pernah punya pengalaman menembak manusia, juga binatang. Karena selama ini tugasnya hanya menjaga gerbang istana. Ia sama sekali tidak pernah terlibat dengan yang namanya perang dan segala macam. Atau ditugaskan untuk menangani salah satu masalah antar kota yang terlibat pertarungan.
Pemuda itu belum pernah mengalami itu, intinya ia tidak berpengalaman sama sekali. Dan sekarang harus melawan para monster yang katanya bisa menghisap darah dalam sekali gigit.
“Apa kau tidak gugup?” Bisik Deon meneguk ludah kasar, “ti-dak.” Balas Allen gagap, berusaha menguasai air muka walau kedua lututnya gemetaran kini. Semua anggota belum diperintahkan untuk turun. Karena ketua komandan dan salah satu anggota sedang berusaha melihat situasi di dalam sana. Dengan cara menerbangkan drone untuk melihat apa ada yang berhasil selamat atau tidak. “Kau tadi bicara apa dengan komandan?”
Allen sontak menoleh pada Deon di sebelahnya, duduk menghadap depan dengan senjata di tangan. “Aku hanya meminta agar petugas medis diikutsertakan.” Jelas pemuda itu kembali menghela napas panjang.
“Bukannya percuma saja kalau petugas medis ikut? Karena yang terluka pasti akan langsung menjadi monster atau zombie seperti yang kita lihat di film-film.” Bisik Deon ke samping telinga Allen membuat pemuda yang memiliki bulu mata tebal itu menipiskan bibir sesaat.
“Tidak ada yang namanya percuma atau pun sia-sia. Pasti ada di antara mereka yang berhasil selamat melawan insting membunuh mereka.” Kata Allen mencengkram erat senjata di tangannya, memejamkan mata sesaat merasa ragu sendiri. Ia sebenarnya sulit mempercayai kalau akan ada murid yang selamat dari kejaran para monster itu. Apalagi area sekolah yang terbatas. Tidak ada senjata sama sekali, hanya ada buku dan segala macam yang berkaitan dengan belajar dan sekolah.
Semua murid pun, tidak akan punya keberanian untuk melawan para monster yang sedang haus akan darah itu.
Tristan yang duduk di depan mereka hanya mengeraskan rahang mendengar keduanya berbisik sedari tadi. Membicarakan sesuatu yang buat semua anggota makin merasa tegang. Tapi, karena sudah terlatih mereka jadi bisa menguasai ekspresi wajah takut mereka masing-masing.
“Semuanya bersiap!” Teriakan ketua komandan di depan mereka membuat Allen menegakan tubuh, menenangkan jantungnya yang berdegup kuat sedari tadi. “Para monster itu sedang berada di koridor-koridor kelas. Dilihat dari jumlah mereka yang banyak, sangat tidak mungkin kalau ada yang selamat.” Kata ketua komandan— Rendy Wijayanto.
“Saat kalian menginjakan kaki masuk ke area sekolah Bhinneka, kalian harus bisa membuang pikiran kalian … kalau di dalam sana bukanlah murid sekolahan melainkan para monster yang harus kalian binasakan.” Kata Rendy dingin, berbicara dengan suara tegasnya membuat Allen makin meneguk ludah kasar. “Kalau ada anggota yang tergigit, tembak saja kepala atau jantungnya, itu bisa menghentikan monsterisasi yang mereka rasakan.” Kata Rendy lagi melanjutkan penjelasannya.
“Regu satu bersiap lebih dulu, regu dua di belakang dan regu tiga menyusul kalau tidak ada kabar dari regu satu dan dua.” Jelas pemuda itu lagi kemudian menyuruh regu satu dan dua bersiap.
Berhubung Allen dan teman-temannya berada di regu dua, mereka jadi merasa makin ketakutan dan tegang. Apalagi harus menjadi penengah di antara regu satu dan dua, rasanya tertekan kalau mengemban tugas seberat ini.
Pintu gerbang perlahan terbuka, regu satu pun dengan cepat berlari masuk dengan memegang senjata masing-masing. Bersiap untuk menembak monster manapun yang muncul di depan mereka. Setelah semua regu satu masuk, pintu gerbang kembali tertutup dengan cepat. Tidak perlu menunggu lama, suara teriakan dan juga suara-suara aneh mulai terdengar memekikan telinga.
Allen, Deon, Tristan dan juga anggota regu dua yang sedang menunggu anggota regu satu melapor jadi makin tegang. Allen sendiri bergidik merasa merinding, mendengar suara-suara menakutkan yang berasal dari dalam area sekolah Bhinneka.
Suara tembakan terdengar bersahutan, bersamaan dengan suara teriakan para anggota militer. Allen meneguk ludah kasar, berusaha tidak memikirkan sesuatu hal yang buruk. Kalau anggota yang baru saja masuk masih bernapas kini.
Tidak— para anggota yang masuk masih menjadi manusia kini. Bukan, menjadi monster yang akan menambah rasa ketakutan mereka nanti dan menambah jumlah monster yang sudah ada di dalam Bhinneka.
Rendy Wijayanto, berdiri tegap di samping barisan regu dua. Laki-laki itu masih berekspresi datar padahal mendengar teriakan dan juga suara tembakan di dalam sana. Berbanding terbalik dengan ekspresi anggota militer lain yang nampak pucat pasi karena takut dan tubuh mereka yang gemetaran.
“Sepuluh menit lagi, regu dua bersiaplah untuk masuk. Pastikan tidak ada monster satu pun yang terlewat. Ingat, mereka semua di dalam sana adalah monster bukan murid atau pun anggota militer yang baru saja masuk.” Allen membulatkan mata kaget mendengar apa yang baru saja ketua komandannya katakan. Pemuda itu sampai menolehkan kepala ke samping Rendy yang berdiri masih dengan tampang dinginnya.
Tidak ada lagi suara tembakan terdengar, perasaan Allen campur aduk. Antara takut dan juga lega dalam bersamaan. Tapi, ia juga tidak bisa mempercayai kalau anggota yang baru saja masuk bisa melumpuhkan monster yang jumlahnya ratusan itu. Sangat sulit untuk dipercayai, jadi kemungkinan besar kalau regu satu gugur.
“Regu dua, bersiaplah.”
Allen mendengar perintah sang komandan, langsung mempersiapkan diri walau sesaat meneguk ludah kasar. Pemuda itu pun, menarik napas dalam lalu menghembuskannya panjang. Pintu gerbang perlahan terbuka membuat mereka semua berlari masuk.
Saat memasuki area sekolah Bhinneka, Allen merasa memasuki dunia permainan. Rasanya tegang sekali berada di dalam sana. Apalagi saat melihat anggota regu satu yang sudah berserakan di halaman Bhinneka, menjadi korban dari para monster yang ada. Allen menoleh kaget saat mendengar pintu gerbang tertutup kini, ia baru sadar kalau kematian semakin dekat padanya.
Dua puluh anggota regu dua, kini berdiri siap dengan mata mereka yang bergerak menyapu bersih halaman sekolah yang nampak sepi itu. Tidak lama kemudian, halaman sekolah bergetar karena suara derap lari mendekat. Bahkan, suara-suara menakutkan itu kembali terdengar membuat Allen menguatkan diri untuk tidak gemetaran.
Pemuda itu mengerjapkan matanya yang membulat sempurna, ia baru pertama kali melihat manusia yang berubah menjadi monster. Rambut mereka acak-acakan dengan seragam sekolah yang dipenuhi dengan darah, tidak tersisa satu pun. Mulut mereka pun, penuh dengan darah sampai terciprat di pipi dan juga pelipis mereka. Allen jadi merasa yakin kini, kalau sekarang ia dihadapkan oleh kenyataan kalau sekarang hidupnya sedang dipertaruhkan.
Teriakan teman-temannya di sekitar menyadarkannya, membuat Allen menembakan senjatanya pada beberapa monster di depan jangkauan matanya. Pemuda itu terlempar kuat saat salah satu monster menyerangnya, ia berusaha kuat untuk menekan leher monter yang mulutnya menganga maju ingin menggigitnya.
Allen terkejut saat suara tembakan terdengar, dan monster yang sedang menindihnya pun kini tertembak kuat dan jatuh menimpanya. “Buruan,” ucapan Tristan di depannya membuat Allen mengerjapkan mata kaget, langsung berdiri dan secepat kilat meraih senjata apinya di samping tubuhnya. Kemudian, ia tersentak saat Tristan kembali menembak monster di belakang tubuhnya.
“Kau bisa fokus, tidak?!” Sentak pemuda itu dengan rahang mengeras, “kalau kau tidak fokus, kau akan menjadi salah satu dari mereka.” Lanjut Tristan kembali menembak puluhan monster yang kini maju ingin menyerangnya.
“Cari tempat sembunyi,” teriak Deon membuat Allen dan Tristan kini berlari mengikutinya ke arah koridor kelas. Beberapa anggota lain juga berlari mencari tempat yang aman untuk mengisi amunisi.
Allen, Tristan dan juga Deon kini berlari sekuat tenaga dengan puluhan monster di belakang mereka yang mengejar tanpa henti. Bahkan, beberapa dari mereka ada yang tersandung jatuh dan beberapa monster di belakang langsung menindih dan menyeruak banyak seperti membentuk sebuah luapan ombak air laut.
“Aku tidak mau mati di sini,” teriak Deon ketakutan, masih sempat berbicara di sela napas mereka yang ngos-ngosan. “Kenapa jumlah mereka semakin banyak?” Geram Tristan menoleh sekilas, melihat para monster itu kini makin mengejar mereka tanpa henti. Ketiganya kini berada di jalan buntu, ingin melanjutkan lari. Namun, di belakang mereka juga ada monster yang kini berlari menuju mereka.
Allen, Deon dan Tristan saling pandang. Berusaha memejamkan mata dengan pasrah saja, karena percuma saja mereka menembakan senjatanya kini. Karena jumlah monster yang sudah tidak bisa mereka hitung seakan mengintimidasi.
Sebelum monster-monster menyetuh mereka, ketiga pemuda itu tertarik masuk ke salah satu ruangan yang membuat mereka melongo kaget. Pintu ruangan itu pun, tertutup cepat dan membuat suara benturan terdengar di depan koridor sana.
Allen perlahan menolehkan kepala ke samping, matanya melebar sempurna melihat seorang murid yang kini mengintai keadaan di luar di balik celah pintu yang tertutup. Bukan hanya satu orang, tapi dua orang lagi di belakang sudut sana duduk bersembunyi dengan menatap Allen lurus.
“Apa ada yang berhasil selamat selain bapak bertiga?” Tanya siswi itu kini mendudukan diri di samping Allen yang masih kebingungan. “Sepertinya tidak ada, karena monsternya lebih banyak dari yang kami kira.” Jelas Tristan mengambil alih, karena sadar melihat ekspresi pucat Allen yang masih shock. “Jadi, berapa banyak anggota yang datang ke sini?” Tanya gadis itu lagi seakan menginterogasi Allen dan kedua temannya. “Sepertinya enam puluh orang, enam puluh satu dengan komandan.” Ralat Tristan cepat membuat siswi itu menghela napas gusar.
“Semua yang datang bersenjata, kan?”
“Benar,”
“Padahal mereka semua bersenjata, tapi masih tidak bisa melawan monster-monster itu.” Tristan menaikan alis tinggi mendengar ucapan gadis di depannya yang kini berjongkok, mengernyitkan dahi sedang berpikir. Tristan melirik name tag gadis yang menguncir tinggi rambut panjangnya itu. Tertera nama Jesya Katharina di sana. “Semua anggota yang datang bersama kalian, gugur semua?” Tanya gadis itu lagi kini menatap Tristan yang mengangguk cepat mengiyakan.
“Kalian siapkan diri, kita harus keluar ke lapangan.” Tristan tersentak kecil mendengar perkataan gadis yang bernama Jesya itu, mengatakan pada kedua temannya yang langsung mengangguk setuju. “Apa kalian tidak tahu, seberapa bahayanya di luar sana?” Kata Allen akhirnya membuka mulut.
“Hm, makanya aku dan teman-temanku keluar untuk mencari senjata.” Balas Jesya dengan ekspresi seriusnya, “senjata apa yang kau maksud?” Tristan menyahuti, memandangi ketiga murid di depannya yang kini duduk bersilah menyiapkan diri. “Senjata yang kalian bawa,” balas satu-satunya murid laki-laki di depan mereka.
“Kalian keluar dari sini, hanya untuk mengambil senjata dan membahakan diri kalian?” Sentak Allen membuat Jesya mendecak kasar, “jangan teriak-teriak, monster di depan kalian bisa saja masuk dan menghancurkan pintu.” Katanya mengingatkan membuat Allen meneguk ludah kasar. “Aku dan kedua temanku dari tadi memang sudah ingin keluar dari ruangan ini, keluar untuk mencari senjata. Karena percuma saja kita mendekam di sini tanpa berbuat apa-apa, endingnya pasti mati konyol.” Kata Jesya lagi membuat tiga anggota militer di depannya menghela napas kasar. “Kau bisa memakai senjata?” Kali ini Deon yang bertanya, baru tersadar dari rasa shocknya.
“Hm, harus bisa. Karena hidup aku lebih penting dari apapun.” Katanya yakin membuat Allen, Tristan dan juga Deon yang sudah pasrah akan hidupnya jadi merasa tertampar. Padahal mereka semua memegang senjata, tapi rasa percaya diri dan juga keberanian mereka menciut. Tidak seperti ketiga murid di depan mereka yang berhasil selamat.