Harus Egois Agar Tetap Hidup

2203 Words
           Di istana Kerajaan Eternal Ice. Jhosep menghela napas kasar, memandangi kedua tangan dan kakinya yang terbelenggu. Laki-laki itu berusaha melepaskan diri, namun tidak ada hasilnya sama sekali. Entah sihir apa yang sudah Virga lakukan padanya sampai ia tidak bisa berbuat apa-apa di penjara bawah tanah. Jhosep merasa ada yang aneh dengan keadaan di istana kerajaan. Pasalnya pasukan kerajaan yang biasanya datang mengecek keadaannya dan membawa makanan untuknya, kini tidak terlihat lagi dua harian ini. Terlebih lagi, ia mendengar suara gerumuh dan juga teriakan memekikan telinga kemarin. Tidak lama setelah ia diseret paksa ke penjara bawah tanah, padahal sudah berusaha untuk kabur. Tapi, tetap saja Virga bisa menemukannya dan akhirnya memenjarakannya di tempat yang paling menyedihkan di Eternal Ice. “Apa yang sebenarnya terjadi di istana?” Gumamnya bermonolog sendiri, menghela napas kasar merasa cemas sekarang. Pasalnya terakhir kali ia melihat Raja Samuel— kakak kandungnya sudah seperti mayat. Tubuhnya mengering dan menciut tanpa daging. Terlihat hanya seperti tulang yang dibungkus kulit tipis. Benar-benar menyedihkan dan mengagetkan penglihatannya. “Seharusnya Yatara ada di sini, menghentikan ulah licik Virga yang entah melakukan apa sampai Raja Samuel menderita penyakit aneh seperti itu.” Ujar Jhosep penuh harap, bersandar pada dinding tembok dengan memandang sendu rantai yang membelenggu tubuhnya. Jhosep mengernyitkan dahi merasa ada yang mendekat, suara deritan pintu dari besi di depan sana membuat ia melongokan kepala berusaha melihat siapa yang mendatanginya. Alisnya bertautan satu sama lain saat melihat sosok berjenggot putih panjang di depannya kini menghampiri dengan menaruh nampan berisi piring makanan dan juga cangkir air minum. “Anda harus makan, tuan Jhosep.” Kata pria tua yang tidak lain adalah Billy itu, Jhosep yang masih tidak mempercayai apa yang dilihatnya sontak tersenyum miring. Menggelengkan kepala berulangkali baru sadar, ternyata di dunia ini tidak ada yang benar-benar bisa setia. Mereka akan cepat berpaling kalau dihadapkan dengan tahta atau pun harta. “Kau ternyata sama saja dengan orang-orang di istana ini. Berpura-pura manis di depan Pangeran Yatara, tapi menusuk di belakang.” Sindir Jhosep tersenyum kecut. Billy menipiskan bibir mendengar sindiran Jhosep— adik kandung Raja Samuel. “Apa kau tahu, apa yang sudah kau perbuat sekarang?” Tanya Jhosep seakan mengingatkan pada Billy. “Kau bukan saja berhianat pada Yatara, tapi juga pada Raja Samuel.” Sentak Jhosep tidak sadar sudah meninggikan suaranya. “Tuan Jhosep tidak perlu mencemaskan apa yang saya lakukan. Karena saya tahu apa yang terbaik untuk hidup saya kedepannya.” Balas Billy masih tebal muka, mendorong maju piring pada Jhosep yang terkikik sendirian. Ia merasa lucu sekaligus miris melihat bagaimana orang kepercayaan Yatara selama ini juga berhianat pada keponakannya itu. Kini masuk ke istana untuk menerima tahta yang diiming-imingi oleh Virga. Ia tahu, selama ini Billy tidak pernah mau masuk istana kerajaan karena Yatara selalu menemuinya di pondoknya. Yatara tahu betul, kalau Billy tidak bisa ke istana karena statusnya. “Selama ini Yatara sudah menganggapmu seperti keluarganya sendiri. Bahkan, mengacuhkan aku yang merupakan pamannya sendiri hanya untuk memasukan namamu di dalam anggota kerajaan.” Billy membulatkan mata kaget mendengar penuturan Jhosep, “maksud tuan, apa?” Jhosep terdiam beberapa saat, tersenyum miring yang kesekian kali. “Yatara berencana menjadikan kau penasehat negara. Bodohnya anak itu mempercayai kau, dan berulangkali memohon pada Raja Samuel untuk mengabulkan permintaannya itu.” Jeda Jhosep sesaat, “tapi lihat apa yang kau balas terhadap niat baik Yatara? Kau malah dekat dengan Virga yang merupakan musuh bebuyutan Yatara. Dan tidak sampai disitu, kau merencakan mendirikan Eternal Ice bersama Virga dengan cara membunuh Raja Samuel.” Kata Jhosep telak, memandangi Billy di hadapannya yang kini nampak pucat. “Kau ternyata sama saja, aku kira kau berbeda dengan orang kebanyakan.” Kata Jhosep lagi menggeleng-gelengkan kepala heran, “aku berharap, semoga Yatara segera datang ke Eternal Ice agar dia tahu bagaimana kau yang sebenarnya, Billy.” Tukas laki-laki itu mengeraskan rahang kuat membuat Billy sontak meneguk ludah getir. ***            Rania mendudukan diri dengan mengatupkan tangan di depan d**a, berharap kalau tidak akan ada yang terjadi pada Theodoric. Perempuan itu mengedarkan pandangannya ke sekitar, melihat beberapa orang yang sedang bersamanya duduk dengan ekspresi cemas. Hanya satu orang yang menampakan ekspresi dinginnya, sosok yang memiliki banyak luka di sekitar wajahnya itu. “Apa kita akan tetap bersembunyi di dalam sini?” Rania memutuskan untuk bertanya pada sosok laki-laki berbadan kekar itu, “untuk sementara, iya.” Balas sosok yang tidak lain adalah Zelon itu. Mereka kini berada di salah satu gudang penyimpanan yang terletak di ujung belakang pasar tradisional. Gudang yang hanya beralaskan tanah, dengan tumpukan karton-karton dan juga botol kosong di dalam sana. Ada juga tumpukan batu-bata untuk melanjutkan pengerjaan ruko-ruko di area pasar. “Yang tadi itu sebenarnya apa? Kenapa mereka bisa berubah menakutkan seperti tadi?” Ujar salah satu di antara mereka, masih gemetaran ketakutan mengingat apa yang baru saja dialaminya. “Pastinya mereka bukan manusia, tidak akan ada manusia yang bertingkah laku seperti itu. Apalagi menggigit manusia lain dan berubahnya menjadi bagian dari mereka.” Jelas salah satu yang berkacamata bening, berdiri di samping Zelon. “Terus mereka itu apa?” Pemuda itu terdiam sesaat, mengernyitkan dahi berpikir sesaat. Kemudian menganggukan kepala yakin. “Apa ibu-ibu dan bapak yang ada di sini pernah mendengar soal zombie?” Tutur pemuda berkacamata itu lagi menoleh ke samping kiri dan kanannya, menaikan alis kiri bertanya pada semua orang yang tengah duduk bergerombol dengannya di dalam gudang tua. “Zombie? Yang kau maksud zombie yang seperti ada di film?” Kali ini Rania yang menyahut, mengernyitkan dahi menatap pemuda yang seumuran Theodoric itu. “Benar, karena di dalam film … zombie biasanya haus akan darah orang yang hidup. Kalau sudah tergigit oleh zombie, otomatis orang atau pun binatang yang tergigit akan menjadi zombie.” Jelas pemuda itu hati-hati, memastikan orang-orang yang bersamanya mengerti apa yang dia tuturkan. “Apa ada cara untuk membunuh mereka?” Tanya kakek-kakek mendekat, masih memegangi kresek berisi sayur kangkung di tangan kanan. “Saya juga tidak yakin cara ini akan berhasil, seperti yang tadi om ini lakukan … beliau menyerang leher dan kepala para zombie tadi. Dan beberapa ada yang jatuh dan tidak bangun lagi. Ada juga yang kembali bangun seperti mendapat kekuatan baru,” sambung pemuda itu lagi makin membuat orang-orang yang bersamanya cemas. “Kemungkinan besarnya, zombie yang tidak bangun lagi karena serangan om ini mengenai otaknya.” Rania mengernyitkan dahi masih belum paham, “jadi maksudmu, kita harus menyerang otaknya agar zombie itu tidak bangun-bangun lagi?” Pemuda di depannya sontak mengangguk mengiyakan. “Saya masih bingung akan sesuatu hal,” ujar anak cowok itu lagi menoleh sesaat pada Zelon yang hanya mendengarkan penjelasannya. “Orang-orang yang tergigit, sebagian kan jadi zombie … sebagian lagi menjadi bangkai. Tubuh mereka seakan tengkorak yang hanya dibungkus kulit tipis, tidak ada darah sama sekali.” Rania mengangguk membenarkan, sempat melihat juga jasad orang-orang tadi yang seperti pohon yang mati kekeringan. “Sepertinya kita harus mencari jalan keluar agar segera pulang ke rumah masing-masing.” “Kau kira kau bisa pulang, kalau para zombie itu sedang menunggumu di luar?” “Terus kita harus bagaimana, tidak mungkin selamanya bersembunyi dan menunggu di tempat pengap ini, kan?” Rania menghela napas samar, mendengar orang-orang yang malah berdebat di depannya disaat situasi sedang tidak terkendali begini. Ia menoleh sekilas pada penjual daging tadi yang kini duduk bersandar pada tumpukan karton sembari memejamkan matanya. Rania tersenyum masam, bisa-bisanya orang itu kepikiran untuk tidur di saat begini. Padahal kematian sudah terlihat pada pelupuk mata, tapi dia masih bisa santai seakan tidak akan terjadi apa-apa ke depannya. “Anda masih bisa tidur sekarang? Di situasi seperti ini?” Singgung Rania mendekat pada Zelon yang membuka matanya pelan, mengangkat wajah melihatnya. “Bukan bisa, tapi harus tidur. Karena besok pagi, harus kembali bangun agar bisa melawan para monster yang sedang menunggu di balik pintu sana.” Kata Zelon menunjuk pintu di depan mereka dengan dagu. Rania terdiam, menipiskan bibir. Entah kenapa merasa malu terhadap apa yang ia pikirkan pada sosok bertubuh kekar yang merupakan tempat langganannya membeli daging. “Saya minta maaf, tadi sempat mengira anda santai-santai saja. Dan bisa-bisanya memutuskan untuk tidur,” Zelon mengangguk saja, tidak menanggapi banyak. “Saat-saat begini, saya malah kepikiran anak saya. Takutnya dia kenapa-napa di tempat asing sana,” gumam Rania jadi menyendukan kelopak matanya. “Sekolah di luar kota atau negeri?” “Bukan untuk sekolah, ada sesuatu hal yang harus dia urus. Yang memaksa dia harus ke tempat temannya, dan itu jauh banget. Saya saja tidak yakin tempatnya dimana, karena belum pernah ke sana.” Kata Rania menjelaskan, mendengar itu Zelon mengernyitkan dahi merasa bingung. “Jadi, beneran keluar negeri ya?” Rania mengangguk saja seadanya, tidak bisa juga menjelaskan kalau Theodoric pergi ke kerajaan untuk mencari bantuan agar bisa mengeluarkan seorang pangeran dari dalam tubuhnya. Nanti yang ada, orang-orang akan mengiranya gila. “Jangan terlalu cemas, anak ibu pasti bisa jaga diri.” Rania tersentak kecil saat laki-laki di depannya mengatakan itu, “saya juga punya anak, tapi sayangnya hubungan kami tidak seharmonis ibu dan anak ibu. Sampai bisa saling mencemaskan satu sama lain,” cerita Zelon menghela napas kasar. Rania mengernyitkan dahi, mengamati ekspresi sendu laki-laki berbadan kekar di depannya. “Kalau boleh tahu, ada apa dengan anak bapak?” “Dia kehilangan ibunya saat berusia lima belas tahun, dan saat itu saya tidak tahu harus berbuat apa untuk membesarkan anak seorang diri.” Jeda Zelon terbuka pada Rania, “saya hanya bisa mabuk-mabukan setiap harinya, sering main tangan pada putra saya tanpa sadar.” Lanjut Zelon dengan suara beratnya. “Perlahan hubungan saya dan putra saya merenggang, bahkan untuk menyapa satu sama lain di dalam rumah sangat canggung.” Rania terdiam mendengar itu, tidak pernah membayangkan bagaimana ia dan Theodoric akan berakhir seperti itu. Tidak saling menyapa satu sama lain, tidak melihat Theodoric sehari saja buat Rania kepikiran dan cemas. Apalagi sampai tidak bicara sama sekali. Rasanya pasti menyesakkan. “Apa bapak pernah coba bicara baik-baik dengan putra anda?” “Pernah, tapi dia sudah tidak ada minat untuk sekedar menatap saya.” “Umur berapa dia sekarang?” “Sepertinya menuju tujuh belas tahun, dia SMA kelas dua.” Rania mengangguk-ngangguk kepala mengerti. “Kalau boleh tahu, namanya siapa?” Zelon terdiam beberapa saat, mengernyitkan dahi kemudian menyebutkan sebuah nama. “Galang, Galang Arkana.” “Pasti anaknya pintar,” Zelon sontak tersenyum membenarkan, namun senyum laki-laki itu tidak bertahan lama saat mendengar suara teriakan di luaran sana. Semua jadi saling pandang, meneguk ludah kasar. Berpura-pura menutup telinga untuk tidak menolong orang yang pasti sedang dikejar oleh para monster itu. Saat semuanya saling merapatkan diri satu sama lain, duduk ketakutan dengan mata terpejam. Zelon malah berdiri dengan mengambil pisau dagingnya yang dia simpan di samping kakinya. Rania yang melihat itu jadi mengernyitkan dahi sembari menahan laki-laki yang baru saja bertukar cerita dengannya itu. “Anda mau kemana?” Pertanyaan Rania membuat semua perhatian teralihkan pada Zelon kini, “saya akan pergi membantu orang-orang di luar sana.” Kata laki-laki itu dengan tatapan yakinnya, tidak gentar sama sekali. “Apa anda yakin, anda bisa saja terbunuh dan … menjadi monster nantinya.” Kata Rania dengan suara terrcekat. “Tidak apa-apa, setidaknya saya mati dalam keadaan membantu orang. Tidak hanya menutup telinga saat orang lain membutuhkan bantuan saya.” Kata Zelon telak, membuat semua yang berada dalam gudang itu kompak mengalihkan pandangan. Merasa tersindir dengan apa yang laki-laki menakutkan itu lontarkan. Zelon melangkah maju dengan berani, menuju pintu di depannya. Rania dan pemuda berkacamata bening di sana memandangi punggung Zelon yang perlahan menghilang di balik pintu. Tidak menunggu berapa lama, suara teriakan langsung terdengar dan suara-suara menakutkan kembali terdengar saat Zelon berada di luar sana. Rania dan orang-orang yang berada di dalam gudang menahan napas, memejamkan mata sembari berdoa dan berharap penjual daging tadi bisa kembali dengan selamat. Tanpa kurang satu apapun, atau tergigit oleh monster-monster yang berkeliaran. “Tidak bisa begini,” ujar Rania kini berdiri membuat semua menoleh padanya. “Kita harus membantu, bapak tadi.” Kata perempuan itu berusaha mengetuk hati batu orang-orang yang bersamanya. “Kau pikir kita sembunyi untuk mati sia-sia seperti orang tadi? Kita di sini, karena berharap bantuan datang agar kita semua bisa kembali ke rumah masing-masing.” Sahut salah satu orang di antara yang duduk kerumunan. “Sampai kapan pun, tidak akan ada bantuan yang datang. Kalau kalian saja tidak bisa membantu orang-orang di sekitar kalian.” Kata Rania telak, membungkam mulut bapak-bapak berkumis tebal itu. “Jangan berharap pemerintah atau pun anggota militer datang ke sini, karena sekarang yang kita hadapi bukan manusia tapi monster. Senjata api pun, mungkin tidak akan bisa membuat mereka binasa.” Lanjut Rania meneguk ludah samar, “karena itu … agar kita tetap bisa hidup, bisa terus bersama. Bukankah lebih baik untuk saling membantu satu sama lain?” Tanya Rania pada semua orang di depannya. Tidak ada tanggapan membuat Rania tersenyum miris, “baiklah, mungkin benar … tidak akan ada yang mau membuat nyawanya terancam. Hanya karena menolong orang lain.” Kata Rania tersenyum miris, kemudian berbalik dan hendak membuka pintu. Sebelum perempuan itu membuka pintu dan keluar dari sana. Pintu di depannya lebih dulu terbuka lebar membuat semua orang yang berada di dalam ruangan membulatkan mata kaget melihat apa yang ada di depan mata mereka saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD