Theodoric tersentak kaget sembari mengerjap-ngerjapkan matanya seakan baru terbangun dari tidur dalam posisi berdiri dan juga mata yang terbuka. Alis pemuda itu makin bertautan saat melihat sosok dua orang di depannya kini yang saling menempelkan punggung dengan tali yang melingkarkan pada kedua kaki dan tangan mereka.
Tali itu bukanlah tali biasa, melainkan tali dengan api yang menyala-nyala di sana membuat Theodoric panik sendiri dan sudah ingin maju membantu memadamkan.
Ia pun, menyiramkan satu ember air pada keduanya yang langsung tersentak kaget. Karena tiba-tiba disiram tanpa aba-aba. Edgar yang masih berada bersama mereka hanya bisa melengos pasrah melihat kelakuan Theodoric yang seperti orang bodoh.
“Jangan diam saja, heh! Ini orang kebakar, bantuin.” Kata Theodoric jadi memarahi Edgar yang hanya duduk santai tanpa merespon banyak, “kau sendiri yang tadi mengikat mereka dengan tali dari api. Kenapa sekarang pura-pura peduli begitu?” Sahut Edgar mendecak samar, menunjuk du orang di depan mereka dengan dagu. “Lihat saja muka mereka yang ketakutan saat kau berusaha maju. Mereka kira, kau akan melukainya seperti tadi.” Lanjut Edgar menunjuk dua laki-laki berambut perak itu dengan dagu.
Theodoric mengernyitkan dahi bingung, memandangi dua laki-laki yang tubuhnya lebih besar dari dirinya. Ia merasa ada yang aneh, karena seingatnya tadi yang singgah di depan rumahnya adalah pasangan suami-istri—kakek dan nenek. Yang memohon untuk diberi tempat untuk tidur. Tapi, sekarang dua orang tua itu tidak ada. Tersisa dua laki-laki dengan pakaian seragam kemiliteran kerajaan di hadapannya.
“Hei, efek sampingnya bisa menyebabkan amnesia ya?” Ceplos Theodoric pada Edgar yang langsung menghela napas kasar. “Pangeran Yatara tadi kembali muncul, dia mengenali dua pasukan kerajaan yang datang ke sini mau membunuhmu.” Jelas Edgar membuat Theodoric langsung membulatkan mata kaget. “Kenapa emangnya? Aku salah apa?”
Edgar tidak menanggapi, pemuda itu malah melangkah maju dengan memandangi tali api yang masih menyiksa dua pasukan kerajaan yang kini sibuk merintih kesakitan.
“Seingat aku yang ada di sini tadi kan, nenek sama kakek. Terus tahu-tahu pas aku ngedip malah ada dua orang ini yang sama sekali tidak aku kenal. Apa yang sebenarnya terjadi?” Edgar mengusap wajahnya sesaat, menoleh pada Theodoric yang menggerakan mata tidak tenang. Seakan sedang berusaha mengingat apa yang baru saja terjadi.
“Tadi kan aku sudah menjelaskan, kalau pangeran Yatara baru saja muncul dan mengendalikan tubuhmu.” Kata Edgar lagi berusaha tidak emosi, “dalang dari rencana ini pasti adalah Virga. Dia hanya ingin menyingkirkan pangeran Yatara, dan cara cepat yang paling ampuh adalah dengan membunuh kau yang sama sekali tidak punya kekuatan apa-apa.” Sambung pemuda berambut perak itu menjelaskan pada Theodoric yang perlahan mulai menganggukan kepala mengerti. “Kau yang datang dari dunia manusia pasti tidak akan bisa melawan orang-orang dari Eternal Ice, sekali pun mereka hanyalah pasukan kerajaan.” Kata Edgar kini maju dengan mengeluarkan pedang panjang nan tajamnya.
Sebelum Edgar mengayunkan pedangnya, Theodoric maju lebih dulu dengan menahan tangan Edgar agar kembali menurunkan pedangnya di udara. “Kenapa?”
Theodoric menipiskan bibir sesaat, “mereka juga pasti hanya disuruh, jadi jangan melukai siapapun lagi. Sekarang di tempat aku tinggal pun, sedang tidak baik. Jangan menambah dengan hal-hal seperti ini.” Kata Theodoric maju mendekat pada kedua pasukan kerajaan, melepaskan dengan santai tali api yang melingkar pada tubuh keduanya.
Edgar yang melihat itu mengernyitkan dahi bingung, karena dia yakin sekali kalau yang berdiri di depannya adalah Theodoric— bukan sang pangeran. Tapi, anehnya Theodoric malah bisa menyentuh tali api yang berkobar. Padahal, pasukan kerajaan saja tidak tahan dengan panas dan rasa sakit yang disebabkan oleh kekuatan Pangeran Yatara itu. Sedangkan, Theodoric bisa menjinakannya tanpa berbuat banyak.
“Kalau kalian mau melukai aku sekarang, aku tidak akan merespon. Karena saat ini aku sedang dalam mood yang tidak baik. Jadi, tidak bisa bercanda.” Kata Theodoric asal yang membuat Edgar sama sekali tidak mengerti dengan inti pembicaraan pemuda yang berasal dari dunia manusia itu. “Kalian kan sudah aku tolong, jadi kalian berdua juga harus bisa menolong aku.” Kata pemuda itu lagi membuat dua orang itu di depannya langsung menganggukan kepala menurut.
“A-apa yang bisa kami bantu pangeran?” Theodoric tersentak kecil mendengar itu, menoleh sekilas pada Edgar yang hanya menampakan ekspresi datar. “Mereka barusan memanggil aku pangeran, kau dengar?” Ujarnya membusungkan d**a, mengulum bibir menahan senyum lebarnya.
“Oh iya, nama aku Theodoric. Kalau kalian berdua siapa?” Tanya Theodoric masih antusias, tersenyum lebar menatap keduanya bersahabat. “Harold,” kata yang paling tinggi, “Edmund.” Lanjut yang satunya lagi dengan meneguk ludah sesaat. “Keren banget dah nama kalian, gak ada yang namanya Asep atau Bambang begitu?” Tanya Theodoric lalu cekikikan sendiri dengan recehnya membuat Edgar hanya bisa memejamkan mata sesaat menahan emosi.
“Tadi, bukannya kau sedang cemas karena ibumu tidak ada di rumah. Kenapa bisa-bisanya sekarang malah tertawa seperti ini?” Theodoric yang sedang menikmati lawakannya sendiri jadi tersadar, kemudian bibirnya yang tersenyum lebar berubah menjadi garis lurus. “Aku bukannya tidak mau sedih, hanya saja paling tidak bisa kalau harus serius begini. Gatal-gatal badan aku,” ujar Theodoric jujur.
“Kau aneh sekali,”
“Kau yang aneh, Ed— eh, nama kau siapa sih? Aku lupa.”
“Edgar,”
Theodoric pun, menganggukan kepala mengerti. “Keren juga nama kau, biasanya di dunia manusia yang nama Edgar itu tukang bakso.” Kata pemuda itu asal kemudian terkekeh sendiri membuat Harold dan Edmund saling pandang kemudian tersenyum kikuk, tidak senyum takut diikat seperti tadi. Ingin senyum juga tidak mengerti apa yang pemuda di depan mereka katakan.
“Bakso itu apa?”
“Nama makanan terenak di dunia manusia, terbuat dari olahan daging bisa sapi, ikan atau pun ayam. Pokoknya mantap, kalau kau coba kau pasti bisa melupakan kerajaanmu.” Kata Theodoric yakin, “aku curiga.” Kata Edgar mengernyitkan dahi. “Apaan?”
“Sebenarnya Virga sudah pernah datang ke dunia manusia, dan dia membuat makanan bernama bakso itu. Jadi, siapapun rakyat Eternal Ice yang pernah datang ke sini pasti tidak akan bisa kembali ke Eternal. Pantes saja selama ini rakyat Eternal banyak yang berkurang,” mendengar itu Theodoric hanya bisa mengelus d**a bersabar, karena ia sedang berusaha melucu sendiri. Namun, Edgar dan dua orang di depannya malah menganggapnya serius. Selera mereka semua berbeda— tidak sefrekusensi. Dan Theodoric tidak menyukai itu.
“Selera humor kita memang berbeda, jadi tidak bisa connect.” Kata Theodoric menggelengkan kepala heran, mengibaskan tangan pada ketiga orang yang hanya menatapnya heran.
“Apa rencanamu sekarang, kau ingin mencari keberadaan ibumu atau apa?” Tanya Edgar melangkah keluar sembari memasukan kembali pedang pada sarung pedang. Harold dan Edmund juga secara naluri mengekori pemuda itu yang kini berdiri di lorong kompleks, memperhatikan keadaan sekitar yang terasa sunyi senyap. “Para monster itu sekarang beneran tersebar ya?” Edmund yang berdiri di dekatnya mengangguk membenarkan. “Seperti yang pangeran lihat, beberapa orang sudah menjadi korban.” Jelas laki-laki itu yakin.
Theodoric menghela napas kasar, berusaha untuk menguasai air muka sedihnya. Ia tidak ingin memperlihatkan bagaimana perasaan sebenarnya pada tiga orang asing yang baru ia kenal itu.
“Apa kalian bisa melihat bagaimana keadaan pusat kota sekarang?” Tanya Theodoric menolehkan kepala ke samping Edgar yang langsung menggelengkan kepala, “tidak, kekuatan aku di dunia manusia sangat terbatas. Sulit juga untuk bergerak cepat seperti di Eternal Ice.” Jelas Edgar jujur membuat Theodoric melemaskan kedua bahu kecewa. “Terus kita harus bagaimana? Apa hanya bisa mencari ibuku dengan cara jalan kaki?” Jeda Theodoric sejenak, menggaruk dagu terbelahnya dengan telunjuk sembari berpikir. “Aku kira kalian juga bisa terbang tinggi, terus melesat sana-sini seperti dalam film-film.” Kata pemuda itu lagi sudah membayangkan.
“Jangan membayangkan yang tidak-tidak. Sekarang kalau mau menemukan ibumu, kau harus bergerak cepat. Karena para monster itu tidak ada belas kasihan, membiarkan beberapa orang untuk hidup.” Ujar Edgar telak, mendengar itu Theodoric langsung meneguk ludah kasar. Tidak bisa membayangkan kalau harus hidup tanpa sang ibu. Cukup saja ia kehilangan sang ayah sedari kecil. Dan ia tidak ingin harus kehilangan dua-duanya dan berujung hidup sendirian di muka bumi ini.
“Kalau begitu, kita cari dulu di sekitar sini. Karena biasanya ibu gak pergi-pergian kalau ke pasar—eh?” Kaget Theodoric baru tersadar, “kita cari ke sana saja, mungkin saja ibu ada di suatu tempat di dekat pasar bersembunyi untuk menyelamatkan diri.” Edgar menaikan alis tinggi lalu mengangguk saja, tidak menentang banyak.
“Pangeran,”
Theodoric refleks menoleh pada Edmund yang baru saja memanggilnya, “kenapa?”
“Sepertinya tempat yang harus didatangi terlebih dahulu adalah sekolah. Karena para monster keluarnya dari sana, dan pasti tempat itu sekarang pusatnya para monster.” Jelas laki-laki itu dengan ekspresi yakin membuat Edgar mengernyitkan dahi, menatapnya tidak bersahabat. “Bukannya kalian juga dari tempat itu, kenapa sekarang bisa sampai ada di sini? Bagaimana cara kalian keluar dan berhasil lolos dari sana?” Ujar Edgar bertanya seakan mengintimidasi Edmund dan Harold yang berusaha memberi tahu tentang apa yang terjadi.
“Emmm … kita kabur dari belakang, cari jalan keluar. Karena semua orang di sekitar mendadak teriak ketakutan dan saling mengejar satu sama lain, makanya kami segera mencari keberadaan Pangeran Theodoric dengan mengikuti baunya.” Ujar Harold menjelaskan, Theodoric sontak mendelik merasa tersinggung dengan apa yang Harold katakan.
“Emangnya aku bau?” Kesalnya sampai mengendus baju dan tubuhnya sendiri, “bau yang sangat kuat. Karena itu kita berdua bisa mengikuti pangeran sampai di sini.” Jelas Harold tersenyum tanpa sadar makin membuat Theodoric kesal setengah mati. “Cih, emangnya badan kalian sendiri tidak bau?” Gerutu pemuda itu jadi melirik Edgar yang tidak tahu apa-apa tajam. Padahal bau yang Harold maksud bukan bau seperti yang Theodoric pikirkan.
“Baiklah, sekarang kita ke sekolah dulu.”
“Kau tahu tempatnya dimana?”
Theodoric sontak menganggukan kepala membenarkan, “ya, tempat yang Yatara bilang sebagai tempat menuju Eternal Ice.” Jelasnya membuat Edgar, Edmund dan juga Harold saling pandang sesaat. Ketiganya mengernyitkan dahi bingung melihat Theodoric yang sudah melangkah lebih dulu, memimpin. Bergerak tanpa takut, padahal pemuda itu tahu sendiri kalau yang dihadapinya nanti adalah monster yang mematikan.