Zelon merunduk cepat, menghindari serangan beberapa monster di depannya. Laki-laki berwajah sangar itu bergerak sigap ke kiri dan kanan sembari mencari celah dan melayangkan pisau dagingnya yang tajam pada titik-titik tertentu di tubuh monster yang haus akan darah itu.
Di belakangnya ada seorang perempuan yang kini menangis sesegukan, menggendong bayinya yang juga menangis. Entah darimana keduanya datang, yang jelas Zelon ingin membantu. Selama ini hidupnya tidak terlalu berarti karena hanya mementingkan diri sendiri.
Zelon terlempar kuat saat berusaha menahan puluhan monster di depannya dengan sebuah meja dari kayu. Melindungi diri agar tidak tergigit oleh gigi para monster itu. Sesaat kemudian, laki-laki itu terdiam beberapa saat, membeku di tempatnya berdiri.
”Ayah tahu, kenapa ibu bisa meninggal?” Tanya pemuda itu dengan mata berkaca-kaca, kedua tangannya mengepal sempurna.
“…” Zelon tidak bisa membalas pertanyaan sang anak, terdiam membatu dengan rahang mengeras.
“Itu karena ayah tidak pernah punya rasa peduli sama sekali terhadap ibu.” Lanjut sang anak yang berusaha keras menahan bulir hangat yang sudah ingin menyeruak keluar dari pelupuk matanya.
“Kau … “ Geram Zelon ingin maju, mengangkat tangannya. Namun, kembali ia turunkan melihat raut shock sang anak akan tindakannya.
“Lihat, kan? Apa-apa ayah selalu menggunakan otot ayah untuk melampiaskan emosi. Ayah selalu bersikap egois, mementingkan harga diri dan sebagainya. Tanpa memikirkan perasaan ibu, sampai kapan ayah akan hidup seperti ini?” Sambung pemuda itu mengutarakan semua isi hatinya.
“Kau bisa-bisanya bicara seperti itu terhadap ayahmu sendiri?”
“Sekarang aku tidak akan ikut camput masalah hidup ayah, dan aku harap ayah juga tidak ikut campur soal kehidupan aku.”
“Galang!”
Zelon kembali tersentak kaget saat tubuhnya ditarik kuat oleh seseorang, ia pun kembali tersadar kalau sedari tadi ibu muda itu berusaha memukul-mukul para monster dengan batang kayu yang dia dapat entah darimana. Bayinya sendiri, sudah dia baringkan di atas tanah agak jauh dari keberadaan para monster yang sedang menindih tubuh Zelon.
“Tunggu saya di belakang sana, jaga anakmu baik-baik.” Kata Zelon masih sempatnya berbicara, lalu kembali mengangkat pisau dagingnya yang tertancap pada tanah di samping kakinya.
Laki-laki itu pun segera menggerakan pisaunya lihai sampai membuat darah terciprat kemana-mana. Tanah becek tempatnya berdiri menjadi makin becek karena bercampur dengan darah para monster. Yang membuat Zelon merasa aneh adalah, ada salah satu dari mereka yang darahnya seperti berbeda dari darah-darah monster lainnya. Berwarna ijo dan kental seperti bukan darah.
Setelah berhasil menumbangkan beberapa dan tidak sanggup melawam monster yang kembali datang berkerumunan. Zelon akhirnya melangkah mundur, berlari kea rah pintu gudang tempat mereka bersembunyi dan mengetuk pintu berulangkali berharap segera dibuka. Tapi, di dalam sana belum ada tanda-tanda pintunya akan dibukakan. Karena merasa kesal tidak ada yang membukakannya pintu. Zelon langsung mendobrak pintu dengan kuatnya sampai terbuka lebar membuat orang-orang di dalam gudang membulatkan mata kaget melihatnya.
Tanpa pikir panjang, Zelon langsung mendorong ibu dengan anak bayinya tadi masuk ke dalam gudang sana bersama Rania dan yang lain. Sedangkan, Zelon sendiri malah menutup pintu dan tidak masuk.
“Bapak tadi mau kemana? Kenapa tidak ikut masuk?” Tanya Rania ingin mendekati pintu, namun langkahnya terhenti saat perempuan yang baru masuk tadi menahan lengannya. “Jangan dibuka, di depan pintu sudah dihadang banyak monster.” Katanya dengan raut wajah pucatnya. Kemudian menarik tangannya, memeluk bayinya erat berusaha menenangkannya.
“Begini caramu berterima kasih terhadap orang yang sudah membantumu?” Tukas Rania, berdiri menghadap ibu muda itu lurus. “Bukan begitu maksud saya, om tadi juga pasti tahu apa yang dia lakukan sekarang.” Sahut ibu satu anak itu tenang, melangkah maju dan mencari tempat duduk. Lalu, menyusui anaknya tanpa mengindahkan pandangan tidak bersahabat orang-orang yang berada dalam gudang.
Rania menghela napas kasar, berusaha menahan emosinya yang sudah ingin meluap. Bisa-bisanya ada manusia yang tidak tahu terima kasih sama sekali, dan sekarang malah duduk manis seakan tidak ada yang terjadi beberapa saat yang lalu.
“Bapak berotot itu pasti akan baik-baik saja,” Rania menoleh kaget saat ada seseorang yang menghampirinya dengan mengerjapkan mata samar, “ototnya yang sekeras batu itu tidak akan bisa terkena gigitan monster-monster. Jadi, tidak usah cemas.” Kata pemuda itu dengan suara kakunya membuat Rania menghela napas sesaat, walau tidak sepenuhnya lega. Ibu Theodoric itu berharap, Zelon bisa baik-baik saja sampai dia bisa bertemu lagi dengan anak yang bapak-bapak itu ceritakan.
**
Zelon berlari sekuat tenaga, menerobos jalanan sempit di depannya tanpa pikir panjang. Di tangan kanannya masih memegang pisau dagingnya, ia berusaha untuk membawa para monster itu ke tempat dimana orang-orang tidak ada. Agar meminimalisir korban berjatuhan, ia tidak ingin masuk ke dalam gudang tadi karena akan menyulitkan orang-orang di dalam sana.
Para monster itu pasti akan berusaha masuk, mendobrak pintu dengan tubuh mereka.
Zelon kembali mempercepat larinya, ia kini sampai di sebuah pegunungan yang entah gunung apa. Ia berlari menaiki tanjakan, sesekali menolehkan kepala melihat puluhan monster di sela napasnya yang ngos-ngosan.
"Tidak ada cara lain lagi," decak Zelon sudah pasrah, karena jalanan di depannya hanyalah hutan lebat. Semakin ia masuk ke dalam sana semakin sulit ia melihat jalan. Karena memang gelap gulita, hanya samar-samar cahaya redup bulan yang menyinari hutan besar itu.
Zelon sudah pasrah, memejamkan matanya perlahan dengan membayangkan wajah sang anak–– Galang.
Suara derap lari para monster kini makin mendekati keberadaannya membuat Zelon meneguk ludah kasar. Seberapa pun, ia berusaha untuk melawan sekarang–– akan sia-sia saja. Karena jumlah monster yang banyak membuat ia terintimidasi.
Zelon mengernyitkan dahi bingung saat tidak mendengar suara monster-monster itu lagi. Bahkan, sekarang hanya ada suara anak kecil.
"Pergi kalian semua! Pergi!"
Zelon pun, kembali membuka matanya dan melebarkan mata kaget melihat sosok anak kecil yang kini berdiri dengan memegang obor di tangan. Anak itu juga melangkah maju dan menakut-nakuti para monster di depannya.
Alis Zelon bertautan melihat reaksi monster di depannya, jelas sekali mereka ketakutan dan melangkah mundur pada api kecil di tangan anak yang memakai pakaian aneh di depannya.
"Bisa ambilkan sesuatu yang bisa dibakar?" Ujar anak itu menoleh pada Zelon, masih menakut-nakuti makhluk di depannya. "Kita tidak akan berdiri di sini sampai menjelang fajar, kan?" Sindir anak kecil itu lagi membuat Zelon bergerak cepat. Mengedarkan pandangannya ke sekitar mencari ranting kering atau pun daun-daun kering yang bisa dibakar.
Tidak perlu menunggu waktu lama, Zelon kembali dengan ranting dan daun pohon dalam pelukannya. Laki-laki itu kemudian menyodorkannya pada anak kecil di depannya yang langsung membakar satu-persatu ranting dan daun yang dibawa laki-laki berwajah sangar itu.
Perlahan ranting dan daun yang mereka bakar pun apinya makin menyala membesar. Para monster langsung bergerak mundur dengan terhuyung-huyung seakan menghindari panas api.
Zelon mengernyitkan dahi, padahal ia berulangkali memutar otak mencari cara agar bisa melawan para monster itu tanpa harus menumpahkan darah yang lebih banyak.
Tapi, anak kecil ini seperti sudah mengetahui cara jitu untuk berlindung dari serangan para monster.
Zelon penasaran, sebenarnya dari mana datangnya anak berambut perak ini. Kenapa bisa dia mengetahui hal dasar tentang monster. Ia penasaran–– ingin segera menanyakan rasa keingintahuannya.