Monster Terkuat

1430 Words
                         Cahaya matahari mulai menampakan diri, menyamarkan kegelapan yang menyelimuti bumi sejak kemarin. Darah-darah yang merembes pada tanah perlahan mengering, walau masih tercium baunya. Jalanan yang seharusnya menjadi tempat kendaraan beroda dua atau beroda empat itu kini dipenuhi dengan jasad manusia. Entah jasad yang masih utuh atau tanpa kepala, bahkan tanpa bagian tubuh lainnya. Semua tersebar tanpa menyisakan tempat sedikit pun. Jalan raya menjadi lautan darah dan jasad manusia kini. Dan sisanya ada banyak orang yang berjalan terhuyung dengan iris mata gelap, mulut terbuka lebar yang ada bekas darah di sana. Kuku-kuku mereka menajam dan juga menghitam, darah juga nampak menempel di sela-sela jemari seperti jemari anak kecil yang baru saja bermain lumpur. Pakaian mereka masih menyengat akan darah, tidak ada satu pun dari puluhan orang-orang yang sedang terhuyung-huyung itu memakai pakaian yang bersih tanpa darah. Semua yang ada di jalanan, berjalan mondar-mandir mencari mangsa memakai pakaian yang dipenuhi dengan bercak darah. Entah itu dari darah mereka atau pun darah korban mereka. Salah satu dari puluhan orang-orang yang haus akan darah itu— atau biasa disebut dengan zombie itu, nampak seseorang mengamati situasi. Berdiri dengan masker penutup mulut dan menggunakan pakaian yang sama dengan orang di sekitarnya. Iris matanya pun, sama dengan zombie-zombie di sekelilingnya. Bedanya, ia sadar kalau sekarang ia sedang dihadapkan dengan situasi yang sama sekali tidak pernah ia bayangkan selama ini. Lebih tepatnya ia juga adalah salah satu dari zombie yang ada. Namun, anehnya ia sadar dan tahu kenapa ia bisa berada di jejeran orang-orang yang berkerumunan mengharapkan darah manusia itu. Ia melangkah santai, mengedarkan pandangannya ke sekitar. Menjadi zombie membuat indera penciumannya meningkat. Aroma darah manusia yang masih hidup seakan menariknya untuk mendekat dan menyerang mereka dengan agresif. Seperti magnet negatif dan positif yang kalau bertemu akan saling tarik-menarik. Bedanya, manusia seperti menarik para zombie di sekitar mereka untuk mendekat. Bukan karena keinginan mereka, melainkan karena aroma darah yang membuat mereka jadi tujuan zombie hidup. Salah satu zombie itu terus melanjutkan langkahnya sampai berpisah dari barisan para zombie lainnya. Ia terus melangkah maju dengan menggerak-gerakan lehernya seperti tersengat listrik. Entah sudah berapa lama ia melangkah mencari seseorang yang bisa membantunya. Berharap ada yang bisa mengobati dan membuatnya bisa kembali normal. Tidak melihat jalanan dengan keadaan gelap, seperti berada di dalam ruangan tanpa cahaya. Karena iris matanya yang mendadak berubah menjadi hitam pekat. Ia menghela napas lega, saat melihat kerumunan orang-orang di depan sebuah gerbang sekolah. Ada banyak mobil terparkir di sepanjang jalan. Orang-orang berdiri dengan kamera di tangan masing-masing, berdiri menghadap beberapa orang berseragam sekolah, seragam militer dan juga seragam aneh lainnya. Tanpa berpikir panjang, zombie itu langsung berlari mendekat membuat orang-orang di barisan belakang berteriak ketakutan dan berusaha menghindar. Karena suara teriakan orang-orang di barisan belakang, semua yang berada di halaman sekolah Bhinneka itu menolehkan kepala ke arahnya. Memandangnya ketakutan dan langsung mengarahkan senjata-senjata mereka pada pemuda zombie itu. “Kenapa kalian semua malah mau menyerangku? Aku ingin meminta tolong!” Ingin rasanya ia berteriak sekencang-kencangnya, mengucapkan apa yang ada dalam hatinya. Namun, sayangnya bukannya suara yang terdengar melainkan suara menakutkan dan juga gumaman binatang buas yang sedang kelaparan. Tidak terima terus-terusan ditembak oleh orang-orang berseragam polisi— zombie itu pun akhirnya memanggil zombie-zombie lainnya. Memanggil dengan suara khas mereka saat mendapatkan mangsa baru. Perlahan cuaca cerah yang kini menyinari area sekolah Bhinneka seakan meredup dan menggelap. Apalgi suara derap lari dan mencekam yang terdengar mendekat membuat semua orang makin panik dan bersiap untuk melawan para zombie yang terdeteksi keberadaannya. Zombie yang sadar itu— tersenyum miring saat melihat zombie lain kini sudah maju menyerang semua orang yang tadi menyerangnya. Walau beberapa ada yang menembak, namun beberapa terkena gigitan mereka sampai darah berceceran dimana-mana. Teriakan ketakutan dan tangisan menjadi satu dengan suara tembakan aparat kepolisian. Zombie yang tadi bisa dihitung dengan dua tangan dan dua kaki, kini tak terhitung lagi. Aparat kepolisian dan awak media kini berubah menjadi zombie. Hanya beberapa yang terus bertahan hidup, mengandalkan sisa-sisa kekuatan mereka. Karena mereka tidak sudi untuk mati sebagai zombie— monster penghisap darah. ** Theodoric memandangi kekacauan yang terjadi di hadapannya, semua sudah saling menyerang satu sama lain. Senjata melawan mayat hidup yang haus akan darah itu tidaklah mempan. Ada beberapa yang benar-benar tumbang, dan ada yang tetap bangkit seperti mendapatkan kekuatan baru. Theodoric mengedarkan pandangannya ke sekitar, teman-temannya yang tadi bersamanya kini bertarung. Mengerahkan kekuatan mereka agar bisa bertahan hidup. Edgar, Edmund dan Halord menggunakan pedang mereka untuk melawan. Empat anggota militer memakai senjata api mereka dan menembakan tepat pada kepala-kepala zombie. Sedangkan, tiga murid yang berseragam sekolah itu membantu anggota militer dari belakang, membantu kalau ada yang menyerang dari belakang. Sedangkan, Theodoric masih terpaku pada salah satu zombie yang sempat berdiri tenang setelah ditembak dan dihajar oleh aparat kepolisian. Zombie itu juga berpenampilan aneh— berbeda dengan zombie-zombie lainnya yang melangkah terhuyung dengan mulut terbuka dan menghabisi semua orang yang dilihatnya. Tapi, zombie ini malah memantai dari jauh dengan tatapan lurusnya yang tajam. Wajahnya pun, kini memakai sebuah masker yang entah dari kain apa yang jelas ada berkas darah di sana. Theodoric sebenarnya ingin mengerjar zombie yang membuatnya penasaran tersebut, namun keselamatan orang-orang lebih penting sekarang. Dengan bergerak gesit, pemuda itu melangkah maju dan sesekali memukul dengan tinjunya para zombie yang berusaha untuk melukai dan menyerangnya. Ia membuka pintu kendaraan aparat kepolisian dan mengarahkan orang-orang yang selamat untuk segera naik ke atas mobil. “Kalian tidak bisa sembarangan naik ke mobil polisi, sialan!” Teriak salah satu aparat yang tidak terima orang-orang masuk ke dalam sana. Theodoric yang melihat laki-laki itu mengamuk berusaha tidak menanggapi, karena fokusnya kini hanya pada monster yang datang menyerangnya. Edgar yang tidak jauh dari tempatnya berdiri, sesekali melihat ke arah pemuda itu— memastikan Theodoric akan baik-baik saja. Zombie atau pun monster yang sedang menyerang, tidak kungjung habis. Tumbang satu, ada satu lagi yang bangkit. Seakan semua zombie kini menjadikan gerbang sekolah Bhinneka sebagai pusat serangan mereka. “Cepat, naik!” Kata Theodoric berteriak, kemudian melanjutkan melawan dengan tangan kosong. Kali ini benar-benar Theodoric yang berhadapan dengan zombie bukan pangeran Yatara. Suara helicopter kembali terdengar membuat mereka sekilas menoleh di tengah kerja keras mereka menghadapi zombie. Karena beberapa saat kemudian, ledakan kembali terdengar membuat semua orang mendadak tiarap dan sampai melupakan zombie di depan mereka. Salah satu polisi sudah melesat masuk ke dalam mobil, duduk di kursi depan untuk menyetir. Dari spion mobil, dia berusaha memastikan semua orang naik. Setelah beberapa puluh menit, zombie yang mereka lawan pun tumbang semua. Berkat bantuan para aparat kepolisian dan juga tebasan pedang Edgar, Edmund dan juga Halord. “Kalian juga sebaiknya ikut naik, di sana pasti kalian akan mendapat tempat yang lebih baik.” Kata Theodoric pada ketiga murid yang bersamanya. “Tidak, aku ingin ikut bersama kalian … karena pergi dengan mereka pasti nanti di sana semua di karantina kan?” Ujar Jesya pada Theodoric, kemudian memandang Elma dan Galang yang masih terluka, namun memaksakan diri untuk bertarung. “Kenapa harus di karantina?” Sahut Elma tidak paham sama sekali, “kau kira kita akan disambut dengan senang hati? Tidak, kita pasti akan dimasukan ke dalam satu tempat untuk di karantina atau pun di tes nantinya.” Lanjut gadis itu mengutarakan isi pikirannya. “Itu kan cuma pendapat kau saja, jadi … jangan memperkeruh keadaan. Kita baru saja selamat dari kematian, jadi tolong … jangan berpikiran yang aneh-aneh.” Kata Elma membantah perkataan Jesya. “Kalau begitu, kita semua akan ikut bersama kalian. Jadi, tenang saja.” Kata Theodoric melompat naik, membuat Edgar mau tidak mau ikut naik. Begitu pun, dengan Edmund dan Halord. Sedangkan, Rendy, Tristan, Deon dan Allen tidak ikut naik. “Saya dan ketiga anggota saya akan kembali ke barak, kalian duluan saja.” Tutur Rendy kini berdiri tegap bersama tiga anggota lain yang kini masing-masing memegang senjata. “Baiklah, hati-hati.” Pesan Theodoric dengan menganggukan kepala pelan, lalu duduk bersandar pada dinding mobil bersama orang-orang selamat lainnya. Mobil pun, mulai melaju pelan membuat orang-orang yang berada di dalamnya menghela napas lega karena berhasil selamat. Walaupun, begitu mereka masih shock karena baru saja mengalami hal yang tidak akan pernah mereka lupakan seumur hidup. “Edgar,” Edgar sontak mendongak mendengar Theodoric memanggil namanya, “coba kau lihat di belakang sana,” tunjuk pemuda itu pada salah satu orang yang berdiri tidak jauh dari Rendy dan anggota militer yang masih bisa mereka lihat. “Kenapa?” “Monster itu … melambaikan tangannya padaku. Kau lihat?” Edgar sontak menoleh, mengernyitkan dahi dan menatap lurus sosok laki-laki yang tengah melambai-lambai pada mereka yang berada di dalam mobil. “Edgar, monster yang satu itu … lebih membahayakan dari pada ratusan monster lainnya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD