Karina menaikan alisnya tinggi, memicingkan mata ke ujung lorong tempat ia berdiri. Di sampingnya ada Ellard yang masih sibuk membantu menurunkan Jennie dan juga Justin dari atas tembok.
“Apa tempat bernama kantor polisi itu masih jauh dari sini?” Tanya Karina menoleh pada Jennie yang langsung mengangguk mengiyakan.
“Tapi, alangkah lebih bagus lagi kalau ada kendaraan yang bisa kita naiki sekarang untuk sampai di sana dengan cepat.” Jelas Jennie membuat Karina mengernyitkan dahinya tidak paham, “kendaraan? Yang kau maksud itu kuda?”
Justin yang mendengar itu langsung melengos, “emangnya siapa yang memakai kuda sebagai kendaraan di jaman sekarang?” Cibir pemuda itu menggelengkan kepala berulangkali, memperlihatkan bagaimana frustasinya menghadapi Karina dan Ellard yang seperti buta teknologi. “Kendaraan beroda dua namanya motor, kalau beroda empat itu mobil. Belum lagi yang di udara dan di laut, aku gak percaya … kenapa sampai harus menjelaskan hal mendasar begini pada dua orang dewasa ini.” Gumam Justin mengusap wajahnya sesaat.
Karina mengedikan bahu pelan, menoleh pada Ellard sembari menaikan alis kirinya tinggi seakan bertanya ‘kau mengerti’. Sontak Ellard menggeleng pelan, tidak terlalu tahu dengan kehidupan manusia.
“Sekarang itu tidak penting, kita harus ke kantor polisi sebelum korban berjatuhan makin banyak.” Ujar Justin mendongak pada Karina dan Ellard, “karena saat ini tidak mungkin ada kendaraan yang lewat. Jadi, kita jalan kaki saja.” Tutur anak cowok itu menyarankan.
“Sepertinya terlalu memakan waktu, kalian hanya perlu bantuan aku. Bahkan, kendaraan yang kalian sebutkan tadi … tidak sebanding dengan yang aku punya.” Kata Karina mendadak membanggakan diri, Ellard di sampingnya hanya diam saja. Tidak terlalu menanggapi permainan kekanak-kanakan sang putri mahkota.
Justin tediam beberapa saat, memperhatikan keadaan sekitar. Terasa hening, sunyi-senyap seakan tanpa penghuni. Tidak, melainkan para penghuninya sedang bersembunyi di dalam rumah-rumah mereka. “Sepertinya orang-orang sudah tahu, kalau ada monster yang menyerang.”
Karina mendekat, mengikuti arah pandang Justin ke ujung lorong jalan. “Kau yakin?” Justin mengiyakan. “Ya, buktinya jalanan sepi, biasanya jam segini orang-orang masih sibuk berlalu-lalang dengan kendaraan mereka. Tapi, sekarang … berbeda.” Ujarnya dengan ekspresi serius.
Karina bergerak kecil, menggeser tubuhnya lebih dekat dengan Ellard dan berbisik pada pemuda jangkung itu. “Menurutmu, omongan anak kecil ini bisa dipercaya?” Ellard sontak menoleh ke samping membuat jarak wajah di antara keduanya hanya beberapa senti saja. Karina langsung menarik diri dengan mendecih samar, sedangkan Ellard hanya biasa saja. Seakan tidak terjadi apa-apa. “Saya percaya, biasanya anak kecil selalu tulus saat menyampaikan sesuatu. Termasuk dia,” tunjuk Ellard dengan ekor matanya pada Justin yang kini menatapnya lurus.
“Kau urus anak laki-lakinya, aku yang perempuan.” Kata Karina memberi perintah, Ellard langsung mendekati Justin dan memegangi kerah belakang baju Justin. Seperti sedang memungut anak kucing di got kotor. “Emangnya aku kotoran? Kenapa megangnya jijik begitu?” Protesnya menoleh pada Ellard yang diam saja. “Coba arahkan saya menuju kantor polisi yang kau sebutkan tadi, pikirkan dalam otakmu sekarang. Biar kita semua sampai tepat waktu.” Ujar Ellard tidak menanggapi omongan Justin membuat anak kecil itu memutar mata jengah.
Sebenarnya Justin masih ingin mengatakan sesuatu, namun karena sudah tidak ada waktu. Ia jadi menurut dan memejamkan mata sesaat, memikirkan jalanan menuju kantor polisi. Lorong-lorong mana yang harus dilewati dan di jalan mana ia harus berhenti.
Beberapa saat kemudian, Justin membuka kelopak matanya perlahan.
“Apa ini tempatnya?” Tanya Ellard kemudian melepaskan kerah baju seragam Justin—yang kini membulatkan mata kaget saat melihat kantor polisi di hadapannya kini. Padahal ia baru memejamkan mata sepersekian detik.
“Sebenarnya orang-orang ini siapa? Mereka berasal dari mana? Kenapa bisa melakukan hal yang mustahil begini?”
“Kau tidak perlu tahu dari mana asal kami, kau hanya perlu melakukan tugasmu dengan baik.” Lagi-lagi Justin mendelik kuat, merasa merinding karena isi pikirannya seakan bisa dibaca oleh sosok tinggi yang melangkah maju bersama Jennie dan juga perempuan yang menguncir tinggi rambut panjangnya. “Sumpah ya, mereka bikin merinding.” Racau Justin sendirian, lalu berlari kecil mengikuti tiga orang yang sudah melangkah masuk ke dalam kantor polisi.
Karina dan Ellard mengedarkan pandangan ke sekeliling, mengamati ruangan yang nampak aneh itu. Baru pertama kali mereka mendatangi tempat seperti ini, dan nampaknya tidak ada satu orang pun di dalamnya.
“Sepertinya tidak ada orang,” gumam Jennie manatap Karina yang juga jadi menoleh saat mendengar suaranya. “Terus bagaimana, apa ada cara lain untuk bertemu dengan orang-orang yang kalian sebut itu?” Jennie mengedikan bahu pelan, tidak tahu juga.
“Anggota kepolisian pasti sudah mengetahui apa yang sedang terjadi, buktinya semua kendaraan tempur polisi tidak ada di tempatnya.” Tunjuk Justin menyahuti omongan Jennie, anak cowok itu menunjuk ke salah satu tempat yang biasa dijadikan tempat parkir kendaraan tempur anggota kepolisian. “Kendaraan tempur?”
“Ya, kalian tidak tahu juga apa arti kendaraan tempur?” Ujar Justin dengan menatap Karina dan Ellard dengan tatapan aneh. Karina yang mendengar itu sontak menggeleng pelan, “tidak, aku tahu.” Katanya dengan nada sarkas, merasa tersinggung dengan pertanyaan Justin.
“Justin, apa kau tidak merasa ada yang aneh?” Tanya Jennie menoleh pada kakak laki-lakinya yang berdiri di samping ambang pintu. “Apanya?” Sahut anak cowok itu tidak mengerti.
“Dari tadi aku merasa pintu ruangan di dalam sana ada seseorang di sana,” tunjuk Jennie pada salah satu ruangan yang dekat dengan belokan koridor. Karina dan Ellard pun, langsung mengikuti arah tunjuk anak perempuan yang masih berseragam sekolah itu. “Seperti ada suara benturan dari tadi, kalian tidak mendengarnya?” Tanya Jennie lagi mulai takut, meneguk ludah berulangkali. Seakan de javu dengan perasaan cemasnya, saat berhadapan dengan para zombie— monster penghisap darah manusia.
Karina perlahan melangkah maju, menghampiri salah satu ruangan yang Jennie tunjuk. Perempuan itu makin merasa tidak enak saat mendekati ruangan di depannya, sekilas ia menoleh pada Ellard yang langsung melesat maju dan menggantikannya untuk membuka pintu.
Jennie dan Justin kompak menahan napas, saat Ellard membuka pintu lebar membuat suara-suara menakutkan kembali terdengar. Karina yang tidak sengaja bertatapan mata dangan salah satu monster berseragam polisi itu jadi membulatkan mata kaget.
“Tutup pintunya lagi,” titahnya membuat Ellard menoleh ke sampingnya dengan alis bertautan. Pemuda itu ingin bertanya, namun terhenti saat tangan-tangan monster di balik pintu berusaha menyeruak ingin keluar dari ruangan tempat mereka terkunci. Ellard langsung berusaha menutup pintu ruangan dibantu oleh Karina dengan susah payah. Jennie dan Justin tidak tahu harus berbuat apa, keduanya hanya menahan napas dengan perasaan takutnya melihat tangan-tangan dengan kuku-kuku tajam di balik ruangan tadi.
Karina dan Ellard masih berusaha menutup pintu, ingin menggunakan kekuatan mereka. Namun, keduanya sama-sama kaget, karena kini kekuatan mereka terbatas. Tidak bisa digunakan sesukanya di dunia manusia.
Setelah beberapa saat kemudian, Karina dan Ellard pun berhasil menutup kembali ruangan berisi monster-monster tadi. Sembari menghela napas ngos-ngosan, Karina tidak sengaja menoleh kea rah Justin dan Jennie di dekat pintu. Kedua anak kecil itu menyadari kalau di belakang mereka kini ada sekumpulan monster yang dari arah seberang jalan datang berlari menuju tempat mereka berada.
“Ternyata para monster itu sudah tersebar ke semua tempat,” ujar Karina mengeraskan rahang, mengambil anak panahnya bersiap untuk kembali berhadapan dengan makhluk penghisap darah itu. Begitu pun, dengan Ellard yang makin mencengkram erat gagang pedangnya dengan tatapan tajamnya, menatap semua monster di depan sana dengan tatapan antusias.
Antusias untuk membuat mereka semua tumbang tanpa belas kasih.