Tidak ada Jalan Keluar

2137 Words
           Laki-laki berbadan kekar itu terlihat menyusuri lorong di pasar dengan langkah besar. Beberapa orang di pasar sekilas melirik ke arahnya, menjadikan sosok seperti preman itu pusat perhatian mereka. Para pedagang yang tidak sengaja bertatapan dengannya, langsung membuang muka ke samping. Takut kalau-kalau preman itu meminta jatah, kalau permintaannya tidak dituruti bisa saja nekat merusak barang-barang dagangan. Badannya yang berotot membuat beberapa pembeli yang datang ke pasar itu sontak berbalik dan menghindar saja. Daripada harus berurusan dengan laki-laki yang memiliki bekas luka jahitan di beberapa bagian tubuhnya. Yang paling menarik perhatian adalah di pelipis kanan dan juga lengan kanannya yang berotot. Sosok itu pun, sampai di lapak dagangannya. Mempersiapkan semua alat-alat yang ia butuhkan, talenan dan juga pisau tajam. Ia merupakan salah satu pedagang di pasar tradisional sana, menjual daging sapi. “Permisi, baru buka ya?” Tanya salah satu pembeli yang mendekat membuat sosok menakutkan itu— Zelon namanya— mengangguk saja, rahang tegasnya membuat ekspresinya makin terlihat dingin dan mukanya yang mengeras tajam. “Satu kilonya berapaan sekarang?” “Seratus dua puluh lima ribu enam ratus,” ujar Zelon tanpa memandang ke arah ibu-ibu yang menajamkan pandangannya ke daging-daging yang sedang dipotong oleh laki-laki berotot itu. “Kenapa di sini selalu mahal, sih. Padahal di toko sebelah selalu lebih murah, bisa beda lima puluh ribuan.” Kata ibu-ibu mencibir terang-terangan, Zelon tidak bereaksi banyak. Seakan biasa dengan ibu-ibu rempong seperti pelanggan pertamanya di depan. “Emangnya tidak bisa kurang lagi? Kalau kurang, saya beli tiga kilo.” Katanya menawar, setengah membujuk Zelon yang hanya mengeraskan wajah. “Ibu bilang ada toko sebelah yang menjual lebih murah, kan?” Ujar Zelon meletakan pisau daging di tangan, “iya.” Balas ibu-ibu menganggukan kepala polos. “Kalau begitu, ke toko sebelah saja. Saya sudah menjual dagangan saya sesuai dengan harga di pasaran.” Tutur Zelon telak membuat perempuan yang memakai rok sebetis itu mendecih kecil lalu berbalik begitu saja, entah kenapa merasa malu dengan apa yang Zelon katakan. Padahal Zelon hanya berbicara apa adanya. “Baru buka lagi ya, pak?” Zelon mengangkat kepala pelan saat mendengar suara familiar di depan lapaknya. Ia sesaat melirik sosok perempuan yang selalu datang membeli daging setiap seminggu sekali di tempatnya. “Satu kilo ya, bagian paha.” Jelas perempuan itu tersenyum samar tanpa mengatakan sesuatu yang tidak perlu, langsung menyodorkan seratus selembar dengan uang lima puluh ribu selembar pada Zelon yang langsung menerima. “Apa saya boleh bertanya?” Perempuan itu pun, menganggukan kepala mengiyakan tanpa berpikir lama. “Apa kualitas daging saya menurun, biasanya ibu selalu beli tiga atau empat kilo setiap minggunya. Sekarang satu kali dalam seminggu,” ujar Zelon mengernyitkan dahi merasa penasaran. “Tentu saja tidak, kemarin-kemarin saya selalu pesan sebanyak itu karena anak laki-laki saya sangat menyukai daging sapi. Tapi, sekarang dia sedang bepergian … makanya saya hanya memesan satu kilo untuk saya makan.” Jelas perempuan yang tidak lain adalah Rania— ibu Theodoric. “Syukurlah, saya kira daging saya yang bermasalah.” “Tidak, tentu saja ti—“ Ucapan Rania terhenti saat melihat seseorang berlari ketakutan dengan berteriak yang terdengar memekikan telinga. Rania makin membulatkan mata kaget saat melihat bapak-bapak itu terlihat berlari ke arahnya, dan di belakangnya ada sosok aneh yang mengejarnya cepat. Gerakannya gesit sampai Rania baru melihat ada sosok yang bisa melesat secepat itu. “Ibu, bisa masuk ke sini.” Kata Zelon dengan suara beratnya, “eh? Kenapa?” Sahut Rania agak bingung karena laki-laki bebadan kekar itu mendadak menyuruhnya masuk ke depan lapaknya. “Sekarang!” Teriakan itu membuat Rania mau tidak mau bergerak cepat, dan benar saja. Dua orang yang saling mengejar tadi kini saling menindih di lorong pasar dan dilihat oleh orang banyak yang berada di sana. Bahkan, ada beberapa yang malah mengangkat kamera dan merekam kejadian mengerikan itu. Rania yang berdiri tepat di hadapan orang-orang itu menahan napas, saat melihat salah satu dari mereka mendongak dengan wujud menakutkan. Mulutnya penuh dengan darah yang kini menetes pada tanah becek di lorong. Bukan hanya itu, bola matanya hitam sepenuhnya dengan gigi-gigi mereka yang seperti bersiap untuk menyerang siapa pun di depan mata mereka. Zelon refleks menarik lengan Rania ke belakang tubuhnya membuat perempuan itu terseok pasrah. Laki-laki yang terkena gigitan tadi juga perlahan beranjak berdiri seperti terhuyung-huyung dengan matanya yang sudah menghitam seluruhnya. Dan keduanya maju dan menyerang Zelon dan Rania yang berdiri di belakang meja tempat daging-daging sapi yang sudah terpotong. “Itu … mereka kenapa?” Tanya Rania jadi meneguk ludah kasar, Rania makin membukatkan mata kaget melihat salah satu dari mereka maju dengan agresif. Ingin menyerang Zelon dengan gigi yang penuh dengan bekas darah tadi. Tanpa pikir panjang, Zelon langsung melayangkan bogeman mentahnya pada salah satu yang berada paling depan membuat entah makhluk apa itu langsung ambruk di tanah. Lalu, kemudian kembali beranjak berdiri dan menyerang pedagang lain dan juga para pembeli yang berada di sekitar sana. Tidak sampai lima menit, semua orang berubah menjadi monster yang haus akan darah. Zelon dan Rania yang masih shock dengan apa yang terjadi hanya membatu di tempat. Pasar yang dipenuhi dengan para pedagang dan juga pembeli yang sedang mencari bahan-bahan makanan dan juga kebutuhan hidup mereka mendadak berubah menjadi monster yang haus akan darah. Makin lama makin banyak, sampai semua orang di sana saling melukai satu sama lain. “Kita harus segera pergi dari sini,” ujar Zelon menoleh ke samping Rania yang mengerjap-ngerjapkan mata berusaha menyadarkan diri, terlalu shock melihat apa yang baru saja terjadi di depan matanya. Zelon sudah membantu Rania keluar dari lapak dagangannya, potongan daging sapi yang berjejer rapi di atas meja tidak dipedulikan lagi. Semua ditinggalkan begitu saja, Zelon dan Rania berlari sekuat tenaga berusaha menghindari kejaran para monster di belakang mereka yang melesat agresif dengan suara yang-suara aneh yang terdengar menakutkan. Rania tersentak kaget saat di depan mereka ada yang menghadang dan hampir ada yang maju menyerang, namun Zelon lebih dulu melesat dan menyerang mereka dengan pisau dagingnya. Sampai Rania membulatkan mata takut karena darah orang-orang di depan mereka terciprat ke wajahnya. Zelon yang sedang sibuk mengayunkan pisau dagingnya sekilas melirik ke samping perempuan di sampingnya yang seperti dikutuk menjadi batu. Tidak bergerak sama sekali, tubuhnya juga terlihat gemetaran karena ketakutan. Zelon menyerang sana-sini, darah sapi pada pisau dagingnya kini sudah tercampur dengan darah para monster yang entah datang dari mana itu. Kini beranak-pinak dan membuat semua orang menjadi aneh. Setelah berhasil menghajar monster di depannya dengan pisau dagingnya, Zelon pun menarik lengan Rania dan melanjutkan lari dari sana. Meninggalkan pasar tradisional yang kini seakan disulap menjadi tempat sampah. Beberapa manusia berserakan di jalanan, dan sebagian besarnya sudah melesat ke jalanan lain. “Sebenarnya apa yang sedang terjadi?” Lirih Rania dengan menghela napas ngos-ngosan, berbeda dengan Zelon yang makin mencengkram erat gagang pisau pada tangan. Tatapannya makin menajam, tidak puas melampiaskan emosinya pada makhluk-makhluk yang entah datang dari mana itu. Orang-orang yang berhasil ada beberapa yang berdiri di belakang Zelon dan Rania. Mereka saling menguatkan satu sama lain dengan ekspresi cemas. “Tadi kalian lihat kan, semuanya menggigit satu sama lain sampai seperti menghisap habis darah korbannya.” Cerita salah satu orang di belakang Zelon yang berhasil selamat. “Manusia-manusia itu kenapa bisa begitu, apa … mereka mengonsumsi semacam obat-obatan begitu?” “Tidak,” sahut Zelon cepat membuat orang-orang di sekitarnya termasuk Rania menatapnya serius, “mereka bukan manusia lagi, mereka adalah monster.” Lanjut Zelon yakin, mengeraskan rahang kuat. “Siapapun yang tergigit oleh salah satu dari monster tadi, maka mereka juga akan menjadi seperti monster itu.” Tutur Zelon dengan mengerjapkan mata tajam. “Jadi, sebisa mungkin … hindari gigitan mereka. Kalau bisa, tebas kepala mereka.” “Tebas kepala?” Tanya salah satu dari orang-orang yang berhasil selamat, “tapi, tetap saja menebas kepala manusia rasanya … tidak benar.” Zelon menegakan tubuh, berbalik menghadap semua orang yang tidak mencapai dua puluh orang itu. “Mereka bukan manusia, karena manusia tidak akan mengisap darah manusia yang lain.” Jelas laki-laki itu berusaha memperjelas situasi yang sedang terjadi. “Cuma dua yang bisa kita jadi kan pilihan sekarang, maju untuk membunuh atau mundur dan tetap bersembunyi tanpa tujuan.” Kata Zelon membuat semua orang di sana saling pandang sesaat, lalu meneguk ludah mereka kasar. Tidak pernah membayangkan sama sekali kalau hal seperti ini akan mereka lalui. *** Dua anak berseragam sekolah dasar itu berdiri di depan gerbang, menunggu jemputan mererka. Teman-teman mereka yang lain beberapa sudah ada yang dijemput dan beberapa masih menunggu bersama dua kakak beradik itu. “Aku tadi ngerjain tugas di depan semua anak kelas, dan aku dapat tepuk tangan dari semua teman kelas.” Cerita anak perempuan itu tersenyum bangga, “hm,” dehem anak laki-laki di sebelahnya yang hanya mengangguk seadanya. Tidak benar-benar mendengarkan, karena fokusnya terbagi dengan layar ponsel yang sedang menyala. Bukan menonton acara televisi, tontonan untuk anak-anak, atau game. Tapi, video materi pelajaran yang sedang ditontonnya. Dengan seorang guru pembimbing yang menjelaskan di layar, membuat anak laki-laki itu sesekali menganggukan kepala mengerti. “Justin, kau tunggu saja sebentar lagi. Beberapa bulan ke depan, aku pasti bisa mengalahkan kamu dan mewakili sekolah untuk ikut lomba dan sebagainya.” Kata anak perempuan itu lagi mengepalkan tangan yakin, “ya, terserah saja.” Balas anak bernama Justin itu tidak mengalihkan sama sekali perhatiannya pada layar ponsel. “Justin, menurutmu kenapa aku tidak pernah dipanggil mewakilkan sekolah untuk mengikuti lomba?” “Karena kau tidak pantas?” Sahut Justin tanpa beban membuat adik perempuannya—Jennie mendecak saja sembari memutar mata jengah. “Guru-guru pasti merasa kamu lebih pintar dari aku, makanya mereka tidak pernah memberi aku kesempatan untuk ikut lomba. Padahal nilai kita hanya selisih sedikit saja,” ujar Jennie bergumam sendiri, mengembungkan kedua pipinya yang tembam. “Emangnya selisih dua angka, sedikit?” Balas Justin masih dengan suara menyebalkannya. Jennie ingin membalas, namun mulutnya mengatup rapat saat melihat di depan jalan ada seseorang yang berjalan terhuyung-huyung. Dengan sesekali terjatuh ke aspal, kemudian kembali berdiri memandang ke arah ia dan Justin yang masih tidak peka dengan situasi. “Justin, om itu … kenapa?” Tanya Jennie takut, meneguk ludah kasar sembari melangkah mundur dengan meraih lengan Justin di sebelahnya yang langsung menolehkan kepala padanya. “Apaan?” Jennie tidak menanggapi, wajahnya yang pucat pasi sudah bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Justin pun, langsung melihat kemana arah pandang sang kembaran yang ternyata ada pria dewasa yang memakai jas rapi. Namun, tidak berperilaku seperti layaknya orang kantoran pada umumnya. Gelagatnya mencurigakan, membuat Justin langsung menarik lengan Jennie masuk ke dalam gerbang sekolah. Sesaat kemudian, anak berumur 11 tahun itu langsung menggembok gerbang membuat teman-teman sekolahnya yang ingin keluar karena sebentar lagi dijemput jadi protes. “Kenapa digembok?” Kesal salah satu anak cowok jadi mendorong tubuh Justin dan hampir terhuyung ke belakang kalau saja tidak segera menyeimbangkan tubuhnya. “Jangan buka,” tahannya pada anak kelas 6 yang sudah ingin membuka gembok. “Kenapa? Kau ingin kami semua tinggal di sekolah sampai besok?” Justin mendecak saja, karena omongannya tidak direspon dengan baik. “Om di depan sana, sepertinya berbahaya.” Anak cowok yang berdiri di dekat gerbang pun langsung melotot tajam pada Justin, “itu ayah aku,” kesalnya ingin menghajar Justin, namun jadi urung dia lakukan melihat ayahnya kini berdiri di depan gerbang dengan kedua tangannya yang menjulur masuk melalui celah-celah gerbang. Tanpa tahu akan bahaya yang terjadi, anak kecil itu malah membuka gerbang walau sudah Justin peringati berulangkali. “Ayo, pergi.” Ajak Justin kini memegang tangan adiknya erat, “jangan pernah sekali pun menoleh ke belakang.” Kata anak itu berbisik ke samping telinga Jennie. “Aku … takut,” ujar adiknya setengah merengek. “Kau kira aku berani?” Balas Justin kini perlahan melangkah mundur melihat gerbang sudah terbuka lebar, “om tadi sepertinya bukan manusia,” kata Justin bertepatan dengan anak kelas 6 SD yang membuka gerbang kini ditarik kasar ke aspal dan ditindih sampai tidak bergerak sama sekali. Justin dan Jennie kompak melebarkan mata kaget saat melihat laki-laki tadi kini mendongak setelah puas menggigit dan mengisap darah anak SD yang sudah kaku di samping gerbang. Kedua adik kakak itu berbalik cepat dan berlari kuat dengan orang atau pun monster di belakang mereka yang mengejar tanpa henti. “Jennie,” panggil Justin disela lari mereka. Jennie tidak bisa menjawab, karena napasnya yang ngos-ngosan. Hanya bisa menoleh sekilas pada Justin dan kembali melanjutkan lari dengan kaki mungilnya. “Jangan unggul dinilai pelajaran.” Kata Justin setengah berteriak, “apa maksudmu?” “Kau harus unggul dalam adu lari ini, kau … harus bisa selamat.” Kata anak kecil itu lagi. “Tapi, Justin … “ “Berjanjilah,” Jennie menggelengkan kepala pelan, lalu memekik kaget saat tubuhnya diorong kuat oleh Justin masuk ke dalam salah satu ruangan. Gadis itu terkunci dengan perasaan takut, karena seberapa lama pun ia menunggu— Justin tidak segera menyusulnya di dalam ruangan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD