Perbedaan Monster dan Manusia

2262 Words
           Pemuda jangkung di depan gerbang terbatuk kecil, menurunkan senjata apinya sesaat. Beberapa kali menolehkan kepala ke belakang istana negara tempat ia berjaga sekarang. Seragamnya masih nampak baru, disetrika rapi sampai sisi bajunya terbentuk seperti sebuah garis bermata tajam. Rambutnya pendek khas anggota militer, berdiri dengan seragam lengkap menjaga gerbang istana. Siaga memeriksa identitas tamu yang datang dan ingin bertemu dengan presiden negara. Pemuda beralis tebal itu mengernyitkan dahi saat seseorang berdiri di sampingnya, menggantikan dirinya yang untuk berjaga. Setelah saling memberi homat, pemuda itu pun menarik diri melangkah masuk ke dalam sana menuju barak militer. Ia sesekali memberi hormat dan menyapa ramah pada beberapa senior yang juga sedang siap untuk bertugas. “Allen,” pemuda itu sontak menolehkan kepala saat seseorang memanggil namanya. “Iya, senior?” “Jangan pulang dulu, karena kita harus rapat bersama bapak presiden.” Jelas laki-laki berahang kokoh di depannya yang kini tengah merapikan baretnya pada kepala. “Saya juga ikut?” Tanya pemuda yang bernama Allen Jeremy itu polos. “Tidak, kau dan anggota yang lain tunggu saja hasil rapat di sini.” Jelas orang itu lagi dengan ekspresi yang masih datar. “Baik, senior.” Balas Allen agak bingung, berhubung sang senior mengatakan sesuatu yang membuatnya bingung. “Katanya tadi, kita? Sekarang dia sendiri yang pergi rapat,” gerutu Allen lirih saat sudah melihat punggung seniornya yang melangkah menjauh. “Ya, aku yang baru masuk begini bagaimana mungkin bisa ikut rapat bersama presiden? Menjadi penjaga gerbang istana saja sudah suatu keberuntungan.” Lanjutnya berusaha mensyukuri keadaan, “jangan terlalu serakah.” Allen pun, duduk di salah satu kursi di ruang ganti. Baretnya kini di tangan, ia pangku dengan punggun yang sudah bersandar pada pintu loker miliknya sendiri. “Istirahat?” “Sudah selesai jaga,” Teman satu kamarnya itu pun, mendekat dan duduk di sisi ranjang tempat mereka tidur. “Kau tahu tidak, kenapa ada banyak menteri yang datang menemui presiden?” Allen sontak menggelengkan kepala tidak tahu, “kau ini benar-benar tidak update ya, punya hape bukannya digunakan dengan semestinya. Malah dijadikan hiasan saku celana,” omel temannya menggeleng-gelengkan kepala tidak paham dengan Allen yang memang jarang terlihat bermain hape. Atau sekedar bermain game seperti anggota militer lain yang berusaha melepas stress dan lelah mereka. “Kau tahu sekolah Bhinneka?” Alis Allen menaut satu sama lain, kemudian menggeleng cepat. “Katanya ada serangan aneh di sana, jalan masuk menuju sekolah diblokir. Gerbang pun ditutup dan digembok. Bukan, hanya itu … mereka malah menutupinya dengan berbagai macam benda berat. Jadi sulit buat orang-orang terobos,” jelas pemuda itu masih bercerita, “semacam terror atau penculikan masal begitu?” Tanya Allen polos membuat temannya itu menggeleng cepat. “Bukan, pelakunya murid sekolahnya sendiri.” “Hah? Maksudnya murid-murid SMA sudah bisa berbuat criminal sejauh itu?” Tanya Allen masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya, “aku juga tidak tahu bagaimana situasi dan kronologi sebenarnya di sana. Tapi, yang pasti sudah terjadi pembunuhan di sekolah Bhinneka itu.” Lanjut laki-laki itu makin menggebu-gebu. “Serius?” “Hm, benar. Darah sampai terlihat mengalir ke depan gerbang, walau tidak tahu itu beneran darah atau bagaimana.” Allen meneguk ludah kasar, jadi merasa merinding sendiri. “Salah satu anggota sudah berusaha menerbangkan drone dan mencoba melihat situasi di dalam sekolah. Tapi, keadaan hening. Tidak ada satu pun, murid yang terlihat.” “Apa mungkin mereka semua disekap di satu tempat?” “Bisa jadi,” Allen bergidik samar merasa merinding, tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau ia diculik dan membuat hidupnya menjadi terancam. “Apanya yang diculik?” Allen dan temannya menoleh pada salah satu anggota lain yang kini mengganti seragam, membelakangi kedua pemuda yang nampak merasa aneh dengan nada kasarnya. “Kan emang beneran diculik, begitu beritanya.” Sahut teman Allen dengan ekspresi yakin. “Kalian sama sekali tidak tahu apa yang sedang menimpa negara kita sekarang. Semua manusia tiba-tiba menyerang satu sama lain, mereka mendadak menjadi monster.” Kata pemuda itu dingin membuat Allen dan temannya—Deon— melongo dengan manik mata yang bergerak tidak tenang. “Kau bercanda kan, Tristan? Tidak mungkin, ada manusia yang berubah menjadi monster. Ini kan bukan film,” ujar Deon tersenyum masam, berusaha tidak mempercayai apa yang teman satu angkatannya itu katakan. “Kalian akan langsung tahu, setelah nanti kalian semua dipanggil untuk menyelamatkan murid-murid yang sudah kesetanan itu.” Tristan mengatakan dengan yakin, rahang kokohnya makin membuat dia terlihat menakutkan kini dengan manik mata tajamnya. “Kita semua ke sana, hanya untuk menjadi umpan mereka yang haus akan darah itu.” Lanjut Tristan menggigit-gigit rahangnya kuat. Deon meneguk ludah samar, menenangkan diri sesaat. “Bentar, kau kenapa bisa seyakin ini, Tristan?” Pemuda bernama Tristan itu mendecak samar dengan membuang muka ke samping. “Adik aku salah satu murid di sana, setelah selesai upacara bendera … dia memang punya kebiasaan video call dengan aku walau hanya beberapa menit.” Cerita pemuda itu jujur, “terus?” Tanya Allen kini menegakan tubuh, penasaran dengan apa yang Tristan katakan padanya dan Deon. “Saat video call-an, dia masih bisa senyum. Dan tiba-tiba dari arah belakang ada salah satu temannya datang menggigitnya.” Jeda Tristan sesaat, “aku kira mereka main-main. Tapi, perkiraan aku salah saat hape Tria jatuh di lantai.” Lanjut Tristan menyebut nama sang adik. “Dan Tria, bergerak-gerak seperti orang kesetanan, matanya menghitam dan setelah itu dia menghilang dari jangkauan kamera hape.” Deon memicingkan mata samar, mencerna dengan baik apa yang Tristan ceritakan. “Apa mungkin, Tria cuma bercanda. Mau nakut-nakutin kau yang tidak pedulian,” “Kau bisa bilang begitu karena tidak melihat sendiri iris mata Tria yang berubah dalam hitungan detik. Kau kira, Tria bisa bercanda sampai bisa mengubah matanya?” Balas Tristan setengah membentak Deon yang langsung menciut di belakang lengan Allen. “Kalau begitu, ayo kita ke sana. Tria pasti membutuhkan pertolongan sekarang, tidak … pasti bukan hanya Tria tapi juga semua murid di Bhinneka.” Kata Allen sudah berdiri membuat Tristan menegakan tubuh kaget mendengar ucapan pemuda yang terkenal sebagai pecundang di barak mereka itu. “Emmm … Allen, kita ke sana bukan untuk main-main. Dan tidak mungkin juga, kita yang junior bisa pergi melaksanakan tugas sepenting dan seberat itu. Apalagi menyangkut hidup dan mati semua murid di Bhinneka.” Kata Deon berusaha berpikir realistis. “Tapi, kan bisa saja nan—“ “Kalian sedang apa, komandan menyuruh ke lapangan.” Allen dan Tristan saling pandang sesaat, merasa ada kesempatan mereka untuk ke Bhinneka. Berbeda dengan Deon yang sudah keringat dingin, menoleh pada Allen dengan berulangkali membasahi tenggorokannya yang terasa kering. Ketiga pemuda itu pun melangkah keluar, bergegas menuju lapangan tempat dimana ketua komandan sudah berdiri di depan semua anggota yang berdiri tegap. Bersiap menerima perintah dan segala macam perkataan ketua komandan, tentu saja atas persetujuan presiden negara—Arya Perwira Sakti. Allen berdiri di barisan paling belakang, bersebelahan dengan Deon yang menyempatkan menepuk pelan bahunya. Tristan sendiri berada di barisan tengah, bersama dengan senior-senior lain. “Saya kasih waktu sepuluh menit untuk kalian mempersiapkan diri, seragam lengkap dan juga senjata lengkap. Jangan sampai ketinggalan satu apapun,” tutur sang komandan dengan tatapan tajamnya. “Kita semua akan menuju sekolah Bhinneka dalam setengah jam ke depan,” lanjut laki-laki berbadan tegap itu dengan mengedarkan pandangannya ke semua anggota. “Mungkin dari kalian belum ada yang tahu mengenai beritanya, kalau sekolah Bhinneka sekarang sedang dalam keadaan siaga. Berpotensi membahayakan nyawa saya, dan juga kalian semua yang bertugas.” Lanjut komandan dengan suara tegasnya. “Tujuan kita adalah menghalangi murid-murid itu keluar dari sekolah. Jadi, kalian bisa membunuh semua murid yang terjangkit.” Sambung ketua komandan tanpa ragu. Tristan yang mendengar penuturan sang komandan jadi mengeraskan rahang, bisa-bisanya mereka memutuskan pilihan yang egois begini. Tristan pun, mengangkat tangan ingin mengatakan sesuatu. “Tidak ada pertanyaan, saya juga tidak terima saran dan kritik dari kalian. Tugas kalian hanya tadi, sekarang lawan kita bukanlah seorang murid tapi para monster.” Kata laki-laki itu lagi dengan mengeraskan rahang, “cara mereka menyerang adalah menggigit siapa pun yang mereka lihat. Kalau sudah tergigit, sebisa mungkin kalian harus segera menghentikan virus yang dipindahkan ke tubuh kalian.” Jedanya sesaat, “caranya adalah … dengan memotong tubuh yang tergigit.” Lanjutnya tanpa beban, masih dengan suara tegasnya yang terdengar menakutkan. “Jangan terlalu emosional, yang terjangkit atau pun tergigit harus segera kalian eksekusi. Kalau tidak, makin banyak monster yang akan berkeliaran di sekolah dan menyebar keluar.” Katanya dengan menajamkan pandangan sesaat, “cara efektif membunuh mereka adalah dengan menembak otak atau pun jantung mereka, selain itu … mereka masih bisa membunuh kalian dengan cara mengisap darah kalian sampai habis.” Jelas pemuda itu lagi dengan menegakan tubuh. “Saya harap, tidak ada salah satu dari kalian yang menjadi monster atau pun mati saat dalam menjalankan tugas.” Katanya menutup pembicaraannya. “Sepuluh menit dari sekarang, silahkan kalian bersiap-siap. Saya akan menunggu di sini, sekian dan terima kasih.” Allen yang mendengar penjelasan panjang lebar dari ketua komandan di depan sana meneguk ludah kasar. Melirik sekilas ke arah Tristan yang tidak bisa menguasai air muka kekesalannya. Mereka pergi ke sekolah Bhinneka bukanlah untuk menolong murid-murid di sana, melainkan membunuh mereka dan memastikan tidak ada salah satu dari mereka yang lolos keluar dari gerbang sekolah. Sejujurnya Allen sama sekali tidak mengerti alasan mereka dikirim ke sana. Mereka yang bersenjata itu harus melawan murid-murid sekolah yang tidak bersenjata. Apalagi disetujui menembak mereka tanpa ragu. Terlebih lagi, dari mana mereka tahu kalau murid-murid adalah monster penghisap darah. Bisa terjangkit hanya karena sebuah gigitan, tidak masuk akal sama sekali. “Apa tidak ada petugas medis yang ikut serta bersama kita nanti?” Allen berlari mengejar Deon, mengambil tempat di samping pemuda itu. Berusaha mensejajarkan langkahnya dengan Deon yang nampak pucat pasi. “Entahlah, aku juga tidak tahu. Tapi, sepertinya tidak.” Allen menautkan alis bingung, “kan pasti ada banyak murid yang selamat juga. Kenapa petugas medis tidak diikutsertakan?” Deon mendecak samar, menghentikan langkah lalu menoleh pada Allen yang nampak kaget karena temannya itu mendadak berhenti. “Kenapa?” “Sekarang bukan saatnya untuk mencemaskan murid-murid itu. Kau tidak dengar apa yang dikatakan komandan Rendy tadi? Kalau kita terkena gigitan mereka, kita harus langsung bunuh diri. Kau belum paham, juga?” Decak Deon frustasi, antara kesal pada komandannya yang seenaknya atau Allen yang polos, masih memikirkan orang lain disaat situasi tidak terkendali begini. “Sudahlah, jangan bahas masalah itu dengan aku. Kalau mau protes, temui saja komandan dan katakan semua uneg-unegmu.” Ujar Deon menyarankan, “ide bagus.” Kata Allen langsung berbalik pergi tanpa ragu sedikit pun, melihat itu Deon membulatkan mata kaget. Ingin menghentikan, namun dia tidak sengaja bertatapan dengan sang komandan yang sedang berdiri menunggu mereka seperti akan dieksekusi. “Sudahlah, Allen. Kau harus bisa menjaga diri sendiri,” katanya berbalik cepat, masuk bersama anggota militer lain menyiapkan segala kebutuhannya untuk melawan para monster ganas yang merupakan murid SMA. Allen sendiri, kini berlari kecil menuju ketua komandan yang mengeraskan rahang saat melihat ia yang tanpa dosa mendekat. “Kau sama sekali tidak mendengar apa yang saya katakan? Kau hanya punya waktu sepuluh menit untuk bersiap-siap.” Tukas laki-laki itu tajam. “Apa petugas medis ikut juga?” Bukannya takut dengan apa yang komandannya katakan, Allen malah melontarkan pertanyaan yang seharusnya tidak ia tanyakan saat ini. “Allen Jeremy, kau tidak mendengar perintah saya?!” Tegasnya kini melempatkan tatapan tidak bersahabatnya. “Komandan juga hanya memerintah tanpa membiarkan saya dan anggota lain bertanya. Bukankah, kita semua berhak bertanya di saat situasi seperti ini?” “Karena situasinya begini, kau tidak berhak bertanya.” “Komandan, dari ratusan murid-murid itu pasti ada yang selamat dan lolos dari monster atau apalah yang komandan katakan.” Jeda Allen menipiskan bibir sesaat, “kita dibentuk dan dilatih setiap hari untuk membantu dan menolong warga sipil, atau pun rakyat. Murid sekolah juga salah satu dari mereka yang harus kita bantu. Bukankah begitu?” Ketua komandan— Rendy Wijayant— terdiam beberapa saat. “Situasi begini, sulit bagi mereka bisa selamat. Apalagi di area sekolahan, dan yang harus kau tahu … monster-monster itu bukan mencari mereka yang tersembunyi. Tapi, mencari mereka dengan mengandalkan indera penciuman mereka yang tajam.” Jelas Rendy dengan tatapan dinginnya, “sekali pun, mereka sembunyi di dalam peti. Para monster itu tetap akan bisa menemukan mereka lewat bau darah mereka yang menyengat. Insting membunuh mereka akan meningkat ke permukaan,” lanjut pemuda itu dengan menatap Allen datar. “Apa menurutmu, dengan keadaan seperti itu … ada yang bisa selamat? Sekali pun, di tempat tertutup seperti kelas atau pun ruang guru, mereka bisa menerobos masuk dengan membentur-benturkan kepala mereka ke jendela.” Allen membulatkan mata kaget mendengar itu, “jadi, Allen Jeremy … buang perasaan emosionalmu, tugasmu ke sana bukanlah untuk menyelamatkan murid-murid Bhinneka atau pun menjadi pahlawan kesiangan.” Jeda Rendy mengeraskan rahang, “tapi, tugas kau adalah menjadi pemburu yang menyingkir habiskan semua monster di dalam sekolah Bhinneka.” Sambung Rendy berusaha menekan setiap katanya. Allen menipiskan bibir sesaat, meneguk ludah samar. Kemudian, mendongak kecil pada Rendy yang membalas tatapannya dingin. “Tapi, tetap saja … petugas medis harus disiapkan.” “Kau ternyata keras kepala juga ya?” “Kalau ketua komandan berusaha bodo amat dengan apa yang saya katakan, dan menutup mata dengan murid-murid yang pasti ada yang selamat. Apa bedanya komandan dengan monster-monster itu?” Balas Allen telak, Rendy pun bungkam dengan ekspresinya yang masih datar. “Kalau komandan tidak terima dikatai sebagai monster, tolong … munculkan nurani komandan sebagai manusia.” Lanjut Allen memberi hormat sesaat, lalu berbalik pergi meninggalkan Rendy yang hanya menatapnya datar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD