Memanusiakan Manusia

2053 Words
                   Anjas melangkah terburu-buru menuju barak, pemuda itu menghentikan langkahnya saat salah satu anggota regu 3 yang pernah ditugaskan ke sekolah Bhinneka beberapa hari yang lalu. Dan mereka kembali tanpa anggota regu 1 dan 2, meninggalkan lokasi begitu saja tanpa ikut membantu. “Bagaimana kalian bisa kembali ke sini, tanpa ketua komandan kalian?” Tanya pemuda itu dengan alis bertautan. “Komandan memerintahkan untuk kembali ke istana, presiden memberi mandat untuk menarik semua anggota militer.” Jelas salah satu anggota membuat Anjas makin mengkerutkan dahi, “dan kemana komandan Rendy Diago?” Pemuda di depannya mengedikan bahu tidak tahu. “Entahlah, komandan sampai sekarang tidak ada kabar. Komandan memutuskan untuk masuk sendiri untuk membantu regu satu dan dua yang sudah lebih dulu masuk ke halaman sekolah Bhinekka.” Lanjut salah satu anggota menjelaskan semuanya pada Anjas. “Jadi, komandan Rendy memutuskan untuk mengacuhkan perintah presiden untuk kembali demi membantu anggota yang terjebak di dalam sekolah?” Tanya Anjas lagi tersenyum pahit, tidak mengerti sama sekali dengan jalan pikiran presiden yang seenaknya menarik anggota kembali ke pusat. Padahal masih ada yang harus mereka lakukan. “Sulit bagi mereka bertahan hidup di sana, apalagi presiden memerintahkan pada angkatan udara untuk meratakan sekolah agar bisa menyingkirkan semua orang yang berubah menjadi monster.” “Tapi, kan bisa saja di dalam sana masih ada yang selamat. Harusnya presiden mengirim helicopter untuk mengevakuasi murid-murid yang selamat atau pun, anggota militer yang berhasil bertahan hidup. Bukannya, malah memperburuk keadaan.” Decak Anjas kasar, berbalik pergi untuk menemui presiden langsung. Tidak terima dengan apa yang menjadi keputusan pemimpin negaranya itu. Komandan dua itu melangkah cepat, masuk kembali ke istana untuk menemui presiden. Ia menghentikan langkahnya saat penjaga istana tidak mengijinkannya untuk masuk. “Presiden sedang istirahat sekarang,” kata salah satu di antara mereka membuat pemuda itu tersenyum masam. “Bisa-bisanya beliau istirahat disaat rakyat sedang dilanda pandemic sekarang. Dan menderita akibat ulahnya?” Ujar Anjas mengamuk, memaksa masuk. “Ada hal penting yang harus saya bicarakan dengan bapak presiden,” ujar laki-laki itu penuh penekanan membuat sebuah pintu terbuka lebar, salah satu orang kepercayaan presiden langsung mempersilahkan Anjas untuk masuk. Presiden yang tengah duduk di kursinya mengangkat kepala dan menatap Anjas yang mendekati mejanya, “apa alasan anda menarik anggota militer untuk kembali ke istana? Padahal di sana keadaan belum terkendali.” Kata pemuda itu mengeraskan rahang kuat. Arya Perwira Sakti— presiden negara, menghela napas gusar. Lalu, menutup dokumen yang baru saja dibacanya. “Karena tidak terkendali makanya saya tarik mereka kembali,” balasnya dengan nada suara tenang. “Anda sudah membunuh rakyat anda sendiri, apa anda tidak berpikir untuk mengerahkan banyak anggota militer ke sana? Agar keadaan yang anda katakan tidak terkendali itu bisa normal kembali, bapak presiden.” Lanjut Komandan Anjas menatap dingin sang presiden. “Saya tidak ingin mengambil resiko, dan menyebabkan makin banyak korban berjatuhan.” Komandan Anjas menghela napas kasar, mengumpat berulangkali dalam hati mendengar omong kosong pemimpin negara di depannya. “Anda tidak ingin mengambil resiko dan malah meledakan sekolah Bhinneka tanpa sisa, itu yang anda bilang tidak mengambil resiko?” Presiden menggelengkan kepala pelan, “itu lebih baik, daripada makin banyak korban. Dan mereka juga bisa menyebabkan banyak orang terjangkit, lebih tepatnya virus ini menular, komandan Anjas.” Balasnya membalas tatapan Komandan Anjas yang menatapnya tidak bersahabat. “Apa maksud anda menular?” “Penularan mereka melalui air ludah makhluk itu yang mengenai luka korban yang tergigit, kemudian beberapa detik … mereka akan berubah menjadi predator yang haus akan darah.” Jelas presiden membuat Anjas mengerjapkan mata kaget. “Pusat monster-monster itu dari sekolah Bhinneka, kita juga tidak tahu kan … kalau penyebarannya bisa melalui udara atau sentuhan. Dan karena itu saya memu—“ “Karena itu anda memutuskan untuk meratakan sekolah Bhinneka?” Potong Komandan Anjas lebih dulu membuat presiden menganggukan kepala membenarkan, “anda belum sepenuhnya yakin dengan apa yang anda bicarakan. Tapi, sudah mengambil tindakan bodoh dan membuat rakyat anda makin banyak yang menjadi korban.” Presiden Arya terdiam sesaat berusaha mencerna dengan baik apa yang komandan Anjas katakan. “Kalau memang yang tidak sengaja dekat, atau bersentuhan dengan makhluk-makhluk itu … seharusnya mereka diperiksa atau dikarantina. Bukannya langsung dieksekusi, anda malah memperlakukan rakyat anda seperti penjahat bapak presiden.” Presiden Arya makin mengatupkan bibir rapat, menyangga tubuh dengan tangan di atas meja, memejamkan mata sesaat berusaha memikirkan solusi terbaik untuk rakyat dan negaranya. “Dan apa anda tahu berita yang paling buruk terjadi?” Presiden Arya mendongak, mengernyitkan dahi menunggu. “Orang-orang selamat yang baru saja akan dievakuasi, malah berpindah tangan pada oknum yang mengambil kesempatan adanya bencana ini.” Tutur Komandan Anjas makin mengeraskan rahang kuat. “Kau yakin dengan infromasi itu?” “Ya, anggota saya yang beberapa saat yang lalu berpatroli mencari … menemukan tiga orang yang sedang berjalan kaki menuju rumah mereka masing-masing dan mengatakan kalau banyak orang sudah dievakusi oleh anggota militer ke tempat penampungan.” Jelas laki-laki itu berusaha menahan emosi, “kau memberikan perintah anggotamu untuk berpatroli tanpa seijin saya?” Komandan Anjas sontak mendecak samar, “bukan itu inti permasalahannya, bapak presiden.” Kata pemuda itu frustasi. “Sekarang, orang-orang yang entah motifnya apa … membawa nama anggota militer untuk mengevakuasi rakyat anda yang selamat dan membawa mereka entah kemana.” Lanjut Anjas menghela napas panjang. “Kau yakin itu bukan salah satu anggotamu yang beroperasi?” “Tidak, anggota saya baru beroperasi hari ini. Sedangkan, orang-orang itu sejak terjadinya bencana sudah berkeliaran menyusuri setiap sudut jalan mencari yang selamat.” “Anda harus segera menemukan pemuda di dalam rekaman CCTV itu, sebelum oknum-oknum itu mengambil alih dan membawanya.” Ujar Komandan Anjas memberi saran, “bisa bawa orang yang mengatakan melihat anggota militer palsu itu ke sini? Ada yang ingin saya tanyakan sendiri.” Ujar presiden pada pemuda di depannya yang langsung menganggukan mengiyakan, berbalik dan melaksanakan apa yang diperintahkan padanya. Komandan Anjas melangkah menuju barak anggota militer lain yang tengah berjaga, “persiapkan diri kalian, kita akan beroperasi dan mengevakuasi orang-orang yang selamat.” Tuturnya dengan suara tegas membuat semua anggotanya langsung bergegas mengembil senjata lengkap, karena yang mereka lawan sekarang bukanlah manusia tetapi monster. *** Karina berulangkali mengeluarkan kata-kata kasarnya sembari langsung menancapkan anak panahnya pada monster-monster yang sudah bergelantungan di ujung atap kantor polisi. Entah sudah berapa lama mereka berusaha bertahan, bukannya berkurang mereka malah makin menjadi. Bahkan, yang tadinya tidak ada malah berlari berkerumunan datang ke tempat Karina dan Ellard berada. “Sampai kapan aku harus melakukan ini, tanganku seperti sudah mati rasa.” Kata Karina frustasi di sela napas ngos-ngosannya, kekuatannya makin melemah. Energinya juga terkuras habis karena belum istirahat sama sekali dan mencharger energinya agar kembali kuat seperti semula. Ellard menolehkan kepala padanya, tidak menanggapi omongan perempuan itu. Sejujurnya Ellard tidak tahu harus menjawab apa— dia juga tidak tahu apa yang harus mereka lakukan agar monster-monster tumbang. Hanya bisa membantu mengayunkan pedang tajamnya pada monster-monster yang mendekati putri mahkota kerajaan Valeria itu. Jennie dan Justin juga ikut membantu, memukul-mukul makhluk itu dengan tongkat besi polisi. Walau tidak ada hasil sama sekali, yang terpenting mereka ikut membantu. Suara tembakan terdengar membuat satu-persatu monster yang bergelantungan itu terjatuh dan tumbang, terkapar di tanah dengan darah yang mulai terlihat dan merembes mengotori halaman kantor polisi. Karina dan Ellard saling pandang sesaat, tidak mengerti senjata apa yang manusia gunakan sampai berhasil membuat predator penghisap darah itu akhirnya tumbang dan tidak bergerak sama sekali. Setelah berpuluh-puluh menit kemudian, Karina dan Ellard melihat puluhan orang berseragam berlari kini menghampiri mereka. Dua diantara mereka membantu mengevakuasi dan menurunkan Jennie dan Justin terlebih dahulu. “Apa kalian tidak apa-apa? Ada yang terluka atau kalian terkena gigitan?” Tanya salah satu anggota militer membuat Karina mengernyitkan dahi kebingungan, Ellard sudah melompat sendiri tanpa bantuan para anggota di bawah sana membuat beberapa dari mereka saling pandang. Merasa aneh saja melihat pemuda itu yang bisa melompat dengan sukses tanpa kaki keseleo atau pun patah tulang. Salah satu anggota militer menjulurkan tangan pada Karina yang masih berdiri di atas atap, memandangi semua orang bersegam itu yang kini memegang senjata masing-masing. Perempuan itu jadi mengerjapkan mata takjub, penasaran bagaimana cara menggunakan senjata keren yang digunakan oleh manusia itu. “Apa anda baik-baik saja?” Pertanyaan anggota militer di depannya yang bergelantungan dengan tali untuk membantunya turun membuat Karina tersadar, lalu mengangguk mengiyakan. “Ya, aku baik.” Balas perempuan itu langsung melompat turun membuat semua orang makin membulatkan mata kaget. “Seharusnya kakak tidak memperlihatkan dengan jelas, kalau kakak bukan dari dunia manusia.” Bisik Jennie berusaha mengingatkan Karina yang lupa. “Ah, aku terbiasa di kerajaanku. Jadi, ya … begitulah.” Ujar Karina juga berbisik. Salah satu anggota militer mendekati mereka berempat, mengamati keadaan mereka satu-persatu. “Kakak saya dan temannya ini adalah aktivis parkour, makanya mereka bisa bergerak gesit dan melompat ringan seperti tadi.” Kata Justin mencoba berbohong, berusaha tidak membuat anggota militer di depan mereka mencurigai Karina dan Ellard yang sudah banyak menolong keduanya. Walau tidak mengerti apa yang Justin katakan, Karina hanya ikut mengangguk saja berharap alasan anak kecil itu dipercayai oleh orang-orang bersenjata itu. “Kalian semua aman sekarang, naiklah ke mobil dan kalian akan dibawa ke tempat penampungan. Disana kalian akan dikarantina sementara waktu, diobati dan diberi makan dan tempat tidur yang layak.” Jelas salah satu anggota membuat Jennie menganggukan kepala pelan, menghela napas lega. “Kenapa kami harus dikarantina? Apa makhluk-makhluk ini menularkan virus?” Tanya Justin kritis membuat anggota yang menjelaskan mengernyitkan dahi sesaat, tidak menyangka pertanyaan itu akan dia dengan dari seorang anak sekolah dasar. “Ya, sepertinya begitu. Pemerintah sedang berusaha sebisa mungkin untuk mempelajari lebih dalam tentang bencana yang sedang terjadi sekarang.” Justin menghela napas samar, menolehkan kepala pada Karina dan Ellard di sampingnya. “Apa kalian berdua ikut dengan saya dan adik saya?” “Tentu saja mereka ikut, cepat naik ke mobil. Masih banyak orang yang harus dievakuasi.” *** Pemuda berkacamata bening itu berdiri di ambang pintu, mengedarkan pandangan ke seisi rumah sederhana yang dinding temboknya terlihat berjamur dan dipenuhi dengan sarang laba-laba di sudut-sudut rumah. Tidak ada televisi, kulkas atau pun kipas angina yang biasanya rumah-rumah punya. Ia menoleh sesaat pada perempuan di depannya yang sibuk memasak air di dapur dengan bapak tua yang berada dalam kamar mandi sedang membantu istrinya yang lumpuh untuk mandi. “Kita berapa lama di rumah ini?” Tanya Austin mendekat pada Rania yang membuat makanan seadanya, kebetulan ada bahan sisa yang tersimpan. Rania sudah meminta ijin pada pemilik rumah agar bisa memasak untuk mereka makan, sekedar mengganjal perut mereka yang kelaparan setelah berhadapan dengan para monster. “Tidak lama, setelah kita membantu bapak dan ibu di dalam. Kita harus pergi dari sini, tentu saja mereka berdua harus ikut. Karena kita tidak akan tahu apakah tempat ini aman atau tidak,” ujar Rania sembari meletakan makanan seadanya yang baru saja dia masak di atas tikar yang beberapa bagiannya robek. “Jadi, mereka berdua juga akan ikut bersama kita nanti?” Tanya Austin berusaha memastikan apa yang didengarnya benar atau tidak. “Yakin mau membawa mereka juga, ibu tahu sendiri kan tahu bagaimana keadaan mereka. Kalau nekat membawa mereka bersama kita, bisa saja bahaya nanti di jalan.” Ujar Austin mengutarakan pendapatnya, “orang egois tidak akan bertahan lama hidupnya.” Kata Rania menoleh sesaat pada Austin yang nampak memperbaiki letak kacamata di atas hidung mancungnya. “Tetap saja, mereka bisa membahayakan hidup ibu atau pun saya nantinya.” Lanjut Austin masih tidak setuju, “nak, semua orang punya hak untuk hidup. Selagi kita masih bisa membantu mereka, kenapa tidak?” Jeda Rania sesaat, “kalau pun, memang takdir kita nanti mati karena nekat menolong mereka seperti yang kau katakan tadi. Setidaknya kita mati sebagai manusia yang sedang berbuat baik, bukan sebagai manusia egois yang hanya memikirkan diri sendiri.” Sambung perempuan itu tersenyum hangat pada Austin, berbeda dengan ekspresi yang biasa dia tunjukan pada Theodoric— anak kandungnya sendiri. “Mungkin nanti ada sedikit peluang, kita masuk surga karena menolong orang.” Lanjut Rania menepuk pelan bahu Austin yang nampak tertampar dengan omongan perempuan yang seumuran dengan ibunya itu. Austin menghela napas panjang, memandangi sekitar dan bergumam dalam hati. Sebisa mungkin ia akan tanamkan dalam hati untuk membantu orang yang sedang membutuhkan uluran tangan. Entah resikonya, ia akan terluka atau lebih buruknya mati, itu urusan nanti. Austin akan berusaha memanusiakan manusia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD