Pengendali Api

2379 Words
                   Theodoric makin merasa tidak nyaman dengan perubahan suhu tubuhnya yang meningkat drastic. Sampai keringatnya bercucuran tanpa henti. Padahal beberapa menit yang lalu, ia sudah kembali normal dan baik-baik saja. Tapi, kini tubuhnya seperti terbakar oleh kobaran api untuk kedua kalinya. Entah apa yang terjadi, ia melelehkan tubuh salah seorang anggota militer dan membuatnya menjadi lelehan tidak berguna yang menyatu dengan debu tempat dimana ia berpijak sekarang. Theodoric terduduk kasar ke tanah dengan menutup kedua telinganya kuat, ia mendadak peka dengan suara di sekitarnya. Bahkan, suara aliran darah orang-orang di depannya terdengar bising dalam indera pendengarannya. Pemuda itu berusaha melawan dirinya sendiri, memandangi kedua tangannya yang berkeringatan dan berasap seperti saat api disiram air. Salah satu anggota maju ke depannya, ingin menembakan senjatanya. Namun, Theodoric lebih dulu bergerak gesit dengan membanting laki-laki itu kasar lalu meremas tubuh orang itu kuat sampai suara teriakan kesakitan terdengar memekikan di telinga. Tembakan berbagai tembakan terdengar, puluhan anak peluru kini melesat maju ke depan tubuh Theodoric. Menancap di beberapa bagian tubuhnya membuat pemuda itu mengeraskan rahang, memandangi anak peluru yang tertancap di beberapa bagian tubuhnya. Fathir Alaska— selaku orang yang memimpin anggota Castel untuk memburu Theodoric nampak terkejut dengan apa yang terjadi sekarang. Apalagi tidak adanya darah yang keluar dari pemuda yang memakai hoodie putih di depan mereka semua itu. Yang lebih mengejutkan lagi adalah saat peluru yang mereka tembakan perlahan meleleh keluar dari tubuh sasaran mereka. Seakan melompat keluar dan lebih anehnya lagi tidak meninggalkan bekas sama sekali. “Sialan! Dia ini makhluk apa sebenarnya?” Theodoric berbalik cepat, pergi dari sana saat ia merasa masih sadar. Baru saja ada bisikan aneh yang didengarnya, bisikan yang menyuruhnya untuk menebas semua orang di depannya tanpa terkecuali satu pun. Namun, tidak beberapa lama langkah Theodoric terhenti— ia tumbang begitu saja dengan tubuhnya yang pucat pasi. Fathir tidak menyia-nyiakan kesempatan, langsung menyeret pemuda itu naik ke mobil bersama anggota lain. “Pastikan dia tidak bisa kabur, siaga selama perjalanan. Kita harus membawa makhluk ini ke markas,” ujar laki-laki itu mengerjapkan mata tajam, memandangi Theodoric seperti tangkapan besar yang berhasil dia taklukan. Theodoric diikat dan terduduk di ujung kursi di dalam mobil, pemuda itu memejamkan mata dengan tubuhnya yang keringatan membuat para anggota Castel saling pandang kebingungan. Apalagi yang duduk di dekat Theodoric, mereka mendesis tidak nyaman merasakan hawa di dalam kendaraan terlalu panas. Bahkan, napas mereka terasa sesak seperti terjebak di dalam kebakaran besar. Para anggota Castel makin melebarkan mata kaget saat tempat duduk Theodoric meleleh, bahkan dinding kendaraan yang menjadi sandaran pemuda itu. Semua langsung panik tidak terkendali membuat kendaraan yang sedang melaju itu kehilangan kendali dan terpaksa berhenti di tengah jalan. Fathir mendecak kasar, pemuda yang duduk di sebelah anggota yang mengemudi itu pun melangkah turun dengan tatapan dinginnya. Pemuda itu, langsung menembak udara beberapa kali membuat anggota Castel yang panik di dalam kendaraan jadi menoleh kaget padanya. “Siapapun dari kalian yang bergerak sedikit pun sekarang, akan aku tembak.” Ancamnya menodongkan senjata apinya pada semua yang berada dalam mobil, “tempat duduknya meleleh dan tubuh orang ini aneh. Dia seperti mengeluarkan asap dan juga api. Saya dan anggota yang lain jadi tidak nyaman dan merasa sesak.” Ujar salah satu anggota berusaha mengeluhkan apa yang mereka rasakan. “Duduk diam, jangan mengeluh.” Kata Fathir menekankan setiap kata yang diucapnya, “tapi, dia baru sa—“ omongan salah satu anggotanya terpotong saat Fathir tanpa basa-basi langsung menembakan pelurunya dan mengenai kepala salah satu anggotanya. “Bagi yang ingin mengeluh, silahkan mengeluh sekarang. Biar kalian, aku tembak satu-persatu.” Kata Fathir lagi-lagi mengancam, semua anggota langsung merapatkan bibir dan duduk dengan teratur. Bahkan, mengacuhkan salah satu anggota yang terluka. “Buang mayat anak itu keluar dari mobil, biarkan saja nanti dimakan oleh zombie-zombie sialan itu.” Titah Fathir kemudian berbalik pergi, masuk lagi ke dalam mobil dan menyuruh supir melajukan kendaraan. Beberapa menit kemudian mereka sampai di markas penampungan, Fathir langsung melangkah turun dengan menyeret Theodoric yang belum sadarkan diri. Hanya terseok pasrah saat dua anggota Castel memapahnya menuju ruangan dia akan dikurung. Fathir melangkah memimpin dengan anggota Castel lain sudah berhamburan pergi, melakukan tugas mereka masing-masing di markas. Sedangkan, dua anggota yang memapah Theodoric mengikuti Fathir kini. Mengikuti kemana laki-laki itu melangkah. Sampailah mereka di salah satu ruangan yang penampakannnya seperti tahanan lain. Pagar besi dan juga rantai di lantai untuk mengikat kedua kaki pemuda yang masih tidak sadarkan diri itu. “Kita perlu satu rantai yang lebih kuat lagi untuk mengikat tangan anak ini, dia terlalu kuat. Kalian lihat sendiri kan, apa yang terjadi tadi?” Ujar Fathir menoleh sekilas pada dua anggotanya yang langsung menganggukan kepala mengerti. Tubuh Theodoric direbahkan di salah satu tikar di atas lantai tanpa bantal. Fathir berdiri menjulang tinggi mengamati tubuh sosok aneh itu yang tetap berkeringat sampai sekarang. Yang paling membuat Fathir tidak habis pikir adalah asap yang mengalir keluar dari pori-pori pemuda itu dan membuat ruangan tahanan tempatnya berada jadi penuh dengan asap. Walau tidak terlalu membahayakan. “Bagaimana bisa kau bertahan, padahal tertembak puluhan peluru?” Tanya Fathir bergumam sendiri, “apa kau memiliki darah monster-monster itu makanya kau bisa sekuat tadi?” Lanjut Fathir kembali bertanya, padahal Theodoric mendengar omongannya saja tidak. “Kalau memang darah yang mengalir dari zombie-zombie itu bisa memperkuat manusia lemah, bukankah yang kuat akan bertambah menjadi kuat?” Lanjutnya dengan menaikan alis kirinya tinggi, berpikir yang tidak-tidak. “Kalau aku bisa mengambil sedikit darah anak ini dan menyuntikannya pada darah aku, apa aku akan bisa sekuat dia nantinya?” Gumamnya lagi dengan mengeraskan rahang kuat, kepalanya sontak menoleh saat mendengar suara derap lari dua anggotanya tadi yang ia perintahkan untuk mengambil rantai besi sebagai pengaman pemuda yang bisa saja sewaktu-waktu hilang kendali seperti di tempat kejadian tadi. “Ikat dia sekuat mungkin, jangan memberikan kedua tangan dan kakinya napas sedikit pun. Biarkan dia tersiksa di tempat ini, agar dia tidak bisa bertingkah seperti tadi.” Tutur Fathir dingin membuat anggotanya langsung mematuhi perintahnya. Fathir pun, berbalik pergi dengan langkah besar. Ingin segera melaporkan apa yang terjadi pada Profesor Mike. Namun, ia iseng menghentikan langkahnya saat melewati koridor tempat tiga murid SMA yang memberikan informasi mengenai pemuda aneh tadi berada di sampingnya. “Informasi kalian berguna, berkat kalian… saya jadi bisa menangkap pemuda berbahaya itu dan membawanya ke sini.” Kata Fathir mengerjapkan matanya dingin lalu melanjutkan langkahnya meninggalkan ketiga murid SMA di dalam tahanan, nampak terkejut mendengar ucapannya. ** “Sekarang kau akan melakukan apa? Karena mulut kau yang tidak bisa merem itu, orang yang menolong kita itu jadi berada dalam bahaya.” “Kenapa jadi aku, walaupun aku tidak membuka mulut. Orang barusan pasti akan mencari tahu, dan mendapatkan informasi yang lebih akurat daripada yang aku katakan.” “Kau sama sekali tidak menyesali perbuatanmu ya, kau bisa-bisanya setebal muka itu.” “Apa? Tebal muka?!” “Ya, bahkan muka kau lebih tebal daripada dinding tembok di belakangmu.” Galang yang berada satu tahanan dengan dua gadis itu hanya bisa melengos kasar, mencoba menutup telinganya rapat. Sudah terlalu lelah dengan apa yang menimpanya, sekarang malah harus melihat Jesya dan Elma bertengkar dan beradu mulut di depannya. “Kau sama sekali tidak mengerti ya, apa yang sedang terjadi sekarang?” Kata Jesya kini melangkah maju, lebih mendekat pada Elma yang malah mengangkat dagu seakan menantang. “Apa emangnya?” Sahut gadis itu tidak takut. “Kau sudah menempatkan seseorang dalam bahaya, orang yang harusnya kau ucapkan terima kasih dan balas budi. Tapi, kau malah membuatnya sulit dan bisa saja orang itu … dilukai bahkan lebih buruknya dibunuh.” Kata Jesya emosi, menumpahkan semua kekesalannya pada Elma yang agak kaget mendengar perkatannya. “Kau jangan bicara sembarangan, mereka tidak akan bisa membunuh orang semudah itu.” Elak Elma tidak percaya, “kau tidak masuk ke ruangan pemeriksaan tadi ya? Di ruangan sana ada darah dimana-mana, kalau bukan dibunuh … mereka diapakan?” Sahut Jesya telak membuat Elma perlahan merapatkan bibir. “Harusnya kau bisa lebih bijak, jangan kehilangan hati nurani hanya karena ingin bertahan hidup. Dan sampai mengorbankan nyawa orang lain yang tidak bersalah.” Lanjut Jesya mendecak kasar, kembali mendudukan diri dengan memejamkan mata sesaat. “Kau bilang mengorbangkan nyawa orang lain?” Elma kembali tidak terima, Galang yang menyangka keadaan lebih tenang langsung mendecak kasar. “Bukankah orang itu penyebab kita semua ada di sini? Dia yang pertama kali datang sendiri dan mencoba menjadi pahlawan kesiangan, mengeluarkan kekuatan atau pun sihir atau apalah yang dia punya.” Cerocos Elma mengamuk, “dia yang menempatkan kita berada di sini, orang b******k itu yang menyuruh kita naik kendaraan ini kan?” Sambung Elma dengan suara cemprengnya. Jesya membuka matanya pelan, mendongak menatap Elma tajam. Ingin rasanya ia menampar saja dan membuat Elma bungkam. Bisa-bisanya gadis itu malah menyalahkan orang yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan apa yang menimpa mereka saat ini. “Bisa kau tutup mulutmu sekarang! Aku lama-lama tidak bisa mentolerir kau lagi.” Kata Jesya dingin, Galang di sampingnya sontak menolehkan kepala pada gadis berambut panjang itu. “Mentolerir aku? Cih, harusnya aku yang mengatakan itu pada kau, Jesya.” Ujar Elma makin emosi, berdiri menjulang tinggi sembari melipat tangan di depan d**a. “Seharusnya aku yang mengatakan itu, aku dan Galang yang harusnya tidak bisa mentolerir apa yang kau lakukan selama ini.” Racau Elma menunjuk Jesya tidak sopan. “Kau merasa hebat kan karena ayahmu kepala sekolah, kau juga merasa hebat karena kau bisa menjadi murid terpintar di sekolah berkat bantuan ayahmu. Dan kau … merasa paling paling paling hebat di antara semua murid di sekolah.” Kata Elma pedas, mengungkit masalah lain. “Elma! Kau harus memperhatikan ucapanmu,” tegur Galang dingin. “Kenapa? Kau juga merasa begitu kan, semua anak-anak di sekolah pun tidak ada yang mau berteman dengan anak kurang ajar ini. Mereka memilih menghindar bukan karena takut, mereka menghindar karena jijik dengan tingkah laku Jesya yang di luar batas.” Terang Elma dengan mencemooh mantan sahabatnya itu. “Diam!” Elma tersenyum miring, “kenapa aku harus menuruti apa yang kau mau? Kau kira kau berada di atasku, makanya kau menyuruhku seenakmu?” Tukasnya hilang kendali, “kau hanya manusia sampah yang bersembunyi di belakang kuasa orangtua. Jadi, berhenti bikin aku muak!” Kata Elma puas menatap Jesya yang kini mendongak melemparkan tatapan tajam ke arahnya. Galang menghela napas sesaat, melirik ekspresi Jesya yang tidak enak. Pemuda itu ingin beranjak berdiri untuk menenangkan Elma dan Jesya. Kalau dilanjutkan mereka berdua bisa beneran adu jambak di dalam ruang tahanan ini. “Cih, lucu sekali.” Gumam Jesya tersenyum masam, Elma yang mendengar itu jadi merasa tersinggung dengan menautkan kedua alisnya satu sama lain. “Apa yang lucu? Kau pikir omonganku ada yang lucu?” Timpal Elma tidak terima. “Hm, kau lucu. Saking lucunya aku ingin menendang wajahmu sekarang.” Lanjut Jesya dengan air muka keruhnya. “Apa b******k?! Kau lama-lama kelewat—“ “Kau yang mengatakan pada semua anak di sekolah kalau aku berhasil lulus dengan nilai terbaik berkat bantuan ayahku, kan?” “Jesya,” tegur Galang frustasi, “kau yang menyebarkan fitnah pada semua anak di sekolah kalau aku mencuri soal ujian agar bisa mendapat nilai sempurna dan selalu menjadi juara umum di sekolah. Kau … yang menghianati sahabatmu sendiri karena kau iri denganku, kan?” Berang Jesya kini perlahan berdiri, berhadapan dengan Elma yang wajahnya sudah memerah padam. “Kau kenapa bisa-bisanya menuduhku seperti itu, bukan aku.” Elak Elma yakin, tidak terima karena dituduh oleh gadis di depannya itu. “Kau juga iri karena aku anak kepala sekolah, sedangkan kau … cuma anak satpam. Kau iri, kan?” Elma tersenyum miring, “ wah, kau benar-benar pandai membuat orang kesal ya … sialan!” Elma pun maju dan menampar Jesya lebih dulu membuat kepala gadis itu sampai tertoleh ke samping, kemudian Jesya membalas dengan menampar Elma dua kali. Keduanya berakhir saling menampar satu sama lain dengan sesekali menjambak rambut dan menendang-nendang satu sama lain. Galang sendiri hanya melengos kasar, mengusap wajah frsutasi. Benar-benar muak berada satu tahanan dengan kedua temannya itu yang masih saja bisa berkelahi dalam keadaan seperti ini. “Bentar, coba kalian diam dulu.” Tegur Galang membuat kedua gadis di depannya yang sedang menindih satu sama lain itu langsung menurut, walau dalam posisi tangan mereka pada rambut lawan. “Kalian dengar, seperti ada yang teriak minta tolong.” Kata Galang menajamkan pendengarannya, “kau salah dengar kali.” Kata Elma yang tengah tiduran di lantai dengan Jesya yang memegang rambutnya kini. “Benar, ada suara teriakan.” Kata Galang lagi dengan yakin. Jesya dan Elma pun, mendekat pada jeruji besi di depan mereka. Keduanya melihat ke arah lorong kosong yang sepi itu, sesaat kemudian terdengar suara derap lari yang membuat suasana mendadak mencekam. “Kebakaran! Kebakaran!” Teriak orang-orang di dalam tahanan, beberapa juga ada yang berhasil melepaskan diri entah bagaimana. Asap mengepul terlihat di lorong membuat ketiga murid SMA itu saling pandang dengan ekspresi panik. Galang sudah menendang-nendang gembok di depannya untuk membuka pintu dari besi itu, namun tidak ada hasilnya. Jesya dan Elma yang tadi sempat berkelahi kini saling membantu, bergantian dengan Galang di samping mereka. “Bagaimana ini, kita akan beneran mati di dalam tahanan sekarang.” Kata Elma pasrah, menatap Jesya dan Galang dengan tatapan sendu. Gadis itu tanpa pikir panjang langsung tiduran dengan memejamkan mata erat, berusaha menulikan pendengarannya dari suara-suara teriakan di luaran sana. “Kau sekarang berharap bisa mati dengan damai, makanya kau tiduran begitu?” Decak Jesya yang masih berusaha membuka gembok bersama Galang. “Hm, semangat untuk kalian berdua.” Sahut Elma tanpa beban. “Kau mau nanti mayatmu hangus dan orang-orang tidak akan ada yang bisa mengenalimu karena tubuhmu yang gosong?” “Ck, brengseklah!” Geram gadis itu kembali berdiri dan berteriak kesal, melanjutkan membantu teman-temannya membuka gembok. “Co-coba lihat di depan sana!” Tunjuk Elma saat melihat kobaran api kini melesat maju dari ujung lorong menuju tempat mereka berdiri. “Sialan, ini orang-orang tadi kenapa tidak datang membantu?” Elma sudah mengeluarkan sumpah serapahnya karena pintu yang benar-benar tidak bisa terbuka sekarang. Ketiga murid itu kompak menoleh kaget, saat kobaran api tadi berhenti di depan mereka. Dan yang membuat mereka makin kaget adalah yang mengendalikan kobaran api itu yang pernah membantu mereka di sekolah. Dan sosok yang Elma laporkan pada orang-orang tadi— Theodoric.

Read on the App

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD