Kaburlah Selagi Bisa

2093 Words
                   Zelon dan Aidan kini duduk di atas ranting pohon, nekat memanjat pohon besar yang ada dalam hutan sesuai dengan instruksi dari anak kecil itu. Walau mereka berdua tidak berada pada satu pohon yang sama, tapi Zelon bisa merasakan bagaimana takutnya anak kecil yang kini duduk selonjoran kaki pada ranting. Apalagi ekspresinya yang tidak biasa membuat Zelon makin mengerti kini, kalau anak bernama Aidan itu mengalami masa-masa sulit akibat serangan brutal yang monster-monster itu lakukan. Zelon memandangi keadaan di bawah sana, api unggun yang mereka buat masih menyala dan sama sekali tidak berani tersentuh oleh para monster yang sedang mondar-mandir mencari mereka berdua itu. Entah sudah berapa lama mereka sembunyi yang pasti Zelon merasakan otot-otot punggungnya menegang karena terlalu lama merunduk, berusaha memantau keadaan di bawah. Sedangkan, Aidan malah tertidur sesaat dengan kedua tangan memeluk erat pohon besar yang menjadi tempat persembunyiannya. Cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah dedaunan pohon membuat Zelon sesaat memejamkan mata, berusaha menikmati kehangatan sesaat itu yang terasa begitu lama baru bisa ia rasakan lagi. Setelah mengalami kejadian tidak menyenangkan dan sekaligus menakutkan itu membuat Zelon jadi paham, kalau waktu setiap detiknya itu sangat berharga. Ia merunduk samar, memandangi para monster yang belum juga beranjak pergi dari sana. Hanya mondar-mandir dengan langkah terhuyung membuat Zelon mengeraskan rahang kuat. Ia mendecak kasar, jadi makin kepikiran akan keadaan anak laki-lakinya— Galang. Sudah sehari semalam ia tidak bertemu dengan sang anak. Walau memang biasanya ia jarang berpapasan dengan Galang di rumah, setidaknya ia bisa bernapas lega saat mengetahui anaknya masih berada di rumah. Hidup dan tinggal satu atap dengannya. Walau tanpa berpapasan atau pun mengobrol seru seperti ayah dan anak harmonis pada umumnya. Zelon sejujurnya tidak terlalu menginginkan hal besar semacam Galang yang akan kembali menatapnya lembut seperti dulu. Tersenyum manis saat Zelon berdiri di ambang pintu— pulang kerja. Rasa lelahnya bekerja, rasa muaknya pada keadaan dunia luar mendadak hilang saat disambut hangat oleh putranya itu. Tapi, kini Zelon tahu sendiri itu tidak akan terjadi lagi. Jadinya, ia tidak berharap banyak. Satu keinginan dan harapan Zelon sekarang, Galang masih hidup. Keduanya tersentak kaget saat mendengar suara deruman kendaraan di bawah jalan sana, jauh dari atas hutan tempat mereka bersembunyi kini. Para montster yang menunggu mereka sejak tadi jadi berbalik dan mengerjar suara kendaraan di bawah jalan di ujung pegunungan. Zelon dan Aidan saling pandang di atas pohon, kemudian mengirimkan isyarat satu sama lain untuk bergegas turun dari atas pohon. Karena mereka kini seperti sedang dekat dengan yang namanya bantuan. “Tadi itu suara apa? Seperti monster-monster tadi mengejar suara aneh itu,” tanya Aidan saat berhasil turun dengan mendarat mulus, Zelon yang mendengar pertanyaan anak kecil itu jadi mengernyitkan dahi sesaat. Tidak bisa menjelaskan sembarangan, karena dunianya dan juga dunia tempat Aidan tinggal sangatlah berbeda. “Itu suara kendaraan, seperti kalian yang mungkin menggunakan kuda di kerajaan kalian. Tapi, di dunia manusia … kami menggunakan kendaraan yang bahan bakarnya dari minyak bensin untuk menghidupkan mesinnya.” Zelon menarik napas sesaat, “kendaraannya tadi namanya mobil.” Jelas Zelon hati-hati membuat Aidan perlahan menganggukan kepala mengerti. “Ternyata dunia manusia punya segalanya ya, kendaraan yang paling bagus di kerajaan saya hanyalah kereta kerajaan yang biasa membawa raja, pangeran, ratu atau pun anggota kerajaan yang sedang melakukan perjalanan ke kerajaan tetangga.” Ujar Aidan kembali menganggukan-nganggukan kepala, merasa dunia manusia kini paling menarik. “Sepertinya mereka sudah tidak ada suaranya lagi, apa mereka benar-benar pergi mengikuti kendaraan bernama mobil tadi?” Zelon terdiam, mengernyitkan dahi lalu mengangguk ragu. “Sepertinya iya, tapi kita juga tidak boleh lengah. Karena bisa saja mereka kembali ke sini, jadi … kita harus segera cari tempat persembunyian yang lebih aman.” Kata laki-laki itu kini merunduk samar mengambil pisau dagingnya yang ia simpan di samping api unggun. “Kenapa harus terus-terusan bersembunyi, bukankah lebih baik kita mencari cara bagaimana mengalahkan dan menyingkirkan makhluk-makhluk itu?” Ucapan Aidan membuat Zelon merasa tertampar, anak sekecil itu bisa berpikir lebih dewasa daripada ia yang lebih tua darinya. “Karena kalau terus bersembunyi pun, kita tidak akan pernah tenang seumur hidup. Tapi, kalau kita berusaha untuk menyingkirkan mahkluk itu … dan perlahan mereka musnah, bukankah kita bisa menikmati kehidupan normal kita seperti dulu?” Lanjut Aidan tepat, Zelon jadi merenungi apa yang anak kecil itu katakan padanya. “Kalau begitu, kita pergi ke jalan raya dulu. Siapa tahu nanti kita akan bertemu dengan regu penyelamat, atau pun aparat kepolisian, anggota militer dan lain sebagainya. Siapa tahu kita bisa melakukan sesuatu hal yang berguna untuk membantu negara memusnahkan makhluk itu dengan cepat.” Ujar Zelon mengutarakan pendapatnya membuat Aidan langsung menyetujui, walau dia tidak sepenuhnya mengerti dengan apa yang Zelon katakan. Intinya yang bisa dia tangkap adalah Zelon ingin melakukan sesuatu— lebih baik daripada terus bersembunyi. Keduanya pun, mulai mencari ranting pohon yang bisa mereka jadikan senjata. Membuatnya runcing agar nanti kalau melihat monster-monster itu lagi setidaknya mereka kini memiliki sebuah senjata sederhana. Aidan dan Zelon kini berdiri di ujung jalan raya besar, berada di pegunungan yang diratakan. Dekat dengan pasar tradisional tempat berawalnya muncul monster-monster yang haus akan darah itu. Zelon tersentak kecil, meneguk ludah berulangkali melihat sepanjang jalan ada banyak jasad manusia yang bersimpah darah. “Kalau melihat jejak darah ada dimana-mana, sepertinya mereka datang dari tempat yang jauh.” Gumam Zelon kembali mengamati keadaan sekitar. “Kan saya sudah bilang, kalau mereka semua berasal dari kerajaan tempat saya tinggal.” Sahut Aidan menimpali perkataan lai-laki bertubuh kekar dan berwajah sangar itu, “iya, saya tahu. Yang ingin saya katakan adalah makhluk-makhluk itu keluar dari mana, tempat pertama yang mereka datangi itu dimana sebenarnya? Itu yang ingin saya ketahui.” Kata Zelon lagi berusaha menjelaskan pada Aidan yang perlahan mengerti apa yang laki-laki itu ingin sampaikan. Mereka kembali menoleh kaget saat mendengar suara kendaraan dari arah belakang membuat keduanya jadi menunggu cemas, kendaraan anggota militer itu pun langsung mengangkut mereka naik ke dalam mobil bersama dengan orang-orang yang selamat lainnya. “Kita akan kemana sekarang?” Tanya Aidan setengah berbisik, sembari memandangi orang-orang yang duduk di hadapannya dengan raut wajah pucat dan juga kelelahan. “Sepertinya kita akan dibawa ke tempat penampungan, dan bisa saja kau akan bertemu dengan seseorang yang kau cari di sana.” Lanjut Zelon sembari menempelkan punggung pada dinding mobil. “Ya, semoga saja.” *** Pemuda itu mengedarkan pandangannya ke sekitar, mengernyitkan dahi kebingungan. Ia sama sekali tidak mengenali satu pun orang yang berdiri di depannya saat ini. Orang-orang yang kini dipaksa menjatuhkan senjata dan dibawa masuk ke dalam sebuah kendaraan anggota militer. Ia menoleh pelan saat ada yang berdiri di depannya dengan menghalangi pandangannya. Orang yang memakai seragam militer dan kini menodongkan senjata ke depan wajahnya. Detak jantungnya kembali berpacu cepat sampai ia mendengar sendiri bagaimana bunyi bisingnya. Indera pendengarannya makin tajam dan peka terhadap suara-suara sekecil apapun. Bahkan, ia bisa mendengar suara bisikan orang-orang di depan sana. Suara perut mereka yang kelaparan dan suara decakan mereka yang merasa lelah menunggu sedari tadi. Pemuda jangkung itu merunduk pada kedua telapak tangannya, ia merasakan otot-ototnya makin terasa kuat kini. Tangannya juga serasa gatal ingin menghancurkan sesuatu, seperti meremukan apa saja yang membuat jantungnya bisa berdetak dengan normal kembali. “Apa kau tidak mendengar apa yang aku katakan, ikut ke mobil.” Titah salah satu anggota militer kini menodongkan senjata padanya, “kau sama sekali tidak bisa diajak kerja sama ya?” Lanjut orang itu lagi hendak melangkah mendekat, membuka mulut ingin mengatakan sesuatu. Namun, pemuda yang memakai hoodie putih itu lebih dulu maju membungkam mulutnya dengan telapak tangan. Tatapan tajamnya bisa menjelaskan situasi yang ada, betapa membahayakannya pemuda itu. Tubuh anggota militer tadi perlahan melelah seperti plastic yang terkena api. Tetesan lelehannya pun perlahan terjatuh ke tanah dan menyatu dengan debu yang sudah bercampur dengan darah-darah manusia atau pun zombie itu. Pemuda itu terdiam beberapa saat, menghela napas lega saat meremas sisa tubuh anggota militer tadi pada telapak tangannya. Semua orang di depannya kini menatapnya kaget, langsung membuat formasi dan menodongkan senjata padanya. “Serahkan dirimu, kalau tidak … kau akan kami tembak.” Ujar salah satu dari mereka membuat pemuda itu menaikan alis kirinya tinggi. Ia bisa mendengar dengan jelas apa yang orang-orang itu katakan, namun pemuda itu tidak berniat untuk menurut begitu saja. Tatapan matanya mendadak berubah, dengan kakinya yang bergerak melangkah maju membuat ketua anggota Castel memerintahkan untuk menembakan peluru mereka. Suara tembakan bertubi-tubi itu menyerang sosok yang tidak lain adalah Theodoric— sosok yang sama sekali tidak mengenali dirinya sendiri itu. Ia bisa melihat dengan jelas bagaimana anak peluru maju dan mendekatinya membuat langsung menghindarinya dengan sigap. Semua orang kembali tercengang melihat apa yang ia lakukan, termasuk Edgar yang perlahan mengirim isyarat pada Rendy, Allen, Tristan, Deon, Edmund dan Halord untuk segera bersembunyi. Rendy dan anggotanya sebenarnya tidak terlalu mengerti kenapa Edgar menyuruh mereka sembunyi, tapi karena melihat ekspresi pemuda itu yang dingin dan agak menakutkan membuat mereka menurut saja. Bersembunyi di samping kendaraan anggota asing itu. Ketua komandang anggota Castel— Fathir menegakan tubuh setelah melihat hal ajaib yang dilakukan pemuda aneh di depan sana. Dia jadi mengeraskan rahang kuat lalu kembali menembakan senjatanya membuat Theodoric melesat maju ke depannya. Fathir dan semua yang berada di lokasi benar-benar tidak mengerti kenapa pemuda itu bisa melakukan hal mustahil seperti itu. Apalagi kini perlahan menahan lubang senjata Fathir, mencengkramnya kuat sampai benda yang terbuat dari baja atau pun aluminium tempa itu tergulung tidak beraturan. “Bagaimana ini, apa kita akan hanya diam saja?” Bisik Deon yang entah sejak kapan kini duduk di samping Edgar bersama yang lain, “iya, itu lebih baik daripada kita ikut campur.” Jelas Edgar sesekali melihat Theodoric yang berdiri tenang di hadapan orang-orang dari organisasi Castel. “Apa kalian kenal dengan mereka?” Tanya Edgar menoleh pada Rendy yang langsung menggelengkan kepala pelan. “Tidak, sepertinya mereka bukan anggota militer. Karena tanpa kalian sadari, ada banyak perbedaan yang mencolok dari mereka.” Tutur pemuda itu yakin, lalu menahan napas saat melihat Theodoric yang membanting kuat salah satu orang di depan sana sampai debu berterbangan dimana-mana. Allen yang duduknya di ujung kendaraan, terbatuk kuat. Untuk kedua kalinya ia merasakan menelan debu bulat-bulat akibat ulah Theodoric yang sama sekali tidak bisa ia mengerti. Karena pemuda itu kelihatannya seperti anak polos yang tidak bisa berbuat apa-apa, namun kenyataannya dia bisa melengkungkan senjata api yang terbuat dari besi. Manusia sekuat apapun, sangat sulit melakukan hal itu. “Sekarang kita harus segera pergi menjauh dari tempat ini,” ujar Edgar setengah berbisik, “kenapa? Harusnya kita membantu anak itu sekarang.” Sahut Allen tidak setuju, “iya, pangeran pasti membutuhkan bantuan kita,” ujar Edmud menyetujui perkataan Allen. Edgar mendecak kasar, menoleh ke samping Edmund dan Halord. “Apa kalian lupa, bagaimana Pangeran Yatara pertama kali bisa menguasai kekuatannya? Dia bahkan tidak bisa mengenali dirinya sendiri, bahkan keluarganya pun … pangeran tidak kenal.” Jeda Edgar berusaha menjelaskan, Rendy dan anggotanya sama sekali tidak mengerti dengan apa yang Edgar bicarakan. “Dia banyak membunuh dan melukai orang tanpa disengaja, apa kalian … mau kejadian itu juga menimpa kalian semua?” Edmund dan Halord saling pandang sesaat lalu kompak menggelengkan kepala. “Terus bagaimana dengan orang-orang itu?” Edgar menipiskan bibir sekilas, “kita tidak bisa menjelaskan pada mereka. Karena mereka juga sama bahayanya.” Lanjut pemuda itu lagi, “apapun yang terjadi, jangan sampai menoleh ke belakang. Kalian harus terus berlari … apapun yang terjadi … kalian harus bisa berlari sejauh mungkin.” Kata Edgar menekan setiap kalimatnya membuat orang-orang yang berada di sampingnya jadi tegang. Suara dentuman dan juga teriakan di belakang sana membuat Edgar langsung bergerak cepat, berlari lebih dulu. Lalu, diikuti Edmund dan Halord, kemudian Rendy dan tiga anggota militer lainnya. Mereka berlari sejauh mungkin dari tempat kejadian seperti yang Edgar katakan sejak awal. “Kenapa kita harus berlari sejauh ini hanya untuk menghindari temanmu itu?” Tanya Allen di sela napas ngos-ngosannya, masih berlari. “Karena kita harus bertahan hidup,” jawab Edgar membuat alis Allen bertautan. “Tapi, dia kan temanmu … pasti dia tidak akan melakukan sesuatu hal yang melukai kalian kan. Karena sepertinya kalian berasal dari tempat yang sama.” Lanjut Allen mengutarakan rasa penasarannya sedari tadi. Edgar menggelengkan kepala berulangkali, menoleh pada Allen yang berlari menyamainya. “Sekarang dia tidak kenal dengan siapapun, begitu pun dengan dirinya sendiri.” Allen sontak melebarkan mata mendengar ucapan Edgar, “ dan satu lagi … kalau kita tetap di sana, kita bisa mati mengenaskan di tangan iblis itu.” Lanjut pemuda itu meneguk ludah kasar. “Iblis?” “Benar, sekarang … ada iblis di dalam tubuh Theodoric. Iblis yang bisa menghancurkan semua orang yang dilihatnya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD