Theodoric mengerjap-ngerjapkan matanya pelan, kemudian membuka kelopak mata perlahan membuat dua orang yang kini berada di kedua sisinya langsung mendekat dengan ekspresi cemas.
“Kau, tidak apa-apa?” Tanya Edgar memastikan tidak ada luka pada tubuh Theodoric.
Karina beranjak berdiri, menautkan alisnya satu sama lain, “sepertinya dia cuma pingsan.” Sahut gadis itu yakin, Theodoric yang tidak paham kenapa ia bisa pingsan hanya melongo saja. Menggerakan kepalanya ke kiri dan kanan. “Emangnya aku pingsan kenapa?” Tanya pemuda itu dengan ekspresi polos.
“Kau tidak ingat sama sekali?” Ujar Karina menatapnya malas, “hm, makanya aku nanya.” Karina mendecak kemudian berbalik menghadap Theodoric seutuhnya. Gadis yang menguncir rambut panjangnya tinggi itu menatap dekat kedua bola mata Theodoric yang nampak kaget karena ulahnya. “Setelah dua bola mata api ini muncul, kau langsung terlempar ke udara dan pingsan seperti pecundang.” Jelas Karina tegas, Theodoric yang mendengar penuturan langsung merapatkan bibir—kena mental akan ucapan pedas putri dari kerajaan Valeria itu.
Edgar menengahi, berdiri di antara keduanya.
“Tadi nama anak siapa?” Tanya Karina lagi dengan menoleh pada Edgar menunggu jawaban, “Theodoric,” jawab Edgar cepat.
“Namanya saja seperti pecundang, pantesan saja orangnya seperti ini.” Cibir Karina terang-terangan dengan menggelengkan kepala merasa heran, kenapa bisa-bisanya tubuh seorang pangeran terjebak masuk ke tubuh seseorang yang pecundang seperti pemuda di belakangnya.
“Perempuan ini siapa, sih? Dari tadi kok bikin emosi ya, ngajak ribut mulu.” Gerutu Theodoric sudah maju, mengacungkan tinju berpura-pura ingin menjambak Karina. Walau ia langsung menciut saat Karina berbalik dan menatapnya tajam.
“Tidak ada waktu untuk bercanda, sekarang kita harus melanjutkan perjalanan. Apalagi Virga mengambil alih tahta kerajaan, bisa bahaya kalau membiarkan dia berkuasa di Eternal Ice.” Kata Edgar mengeraskan rahang, menoleh sesaat pada Theodoric mengajak pemuda itu untuk melanjutkan perjalanan mereka menuju Ratu Shaniell.
“Hati-hati, jangan sampai bertemu dengan monster pengisap darah.” Pamit Karina dengan tersenyum miring, lalu melesat pergi meninggalkan jejak kerlipan ungu muda seperti iris matanya.
Theodoric mulai mendecak takjub, ingin menikmati apa yang ia lihat. Namun, tangan Edgar lebih dulu menarik lengannya kasar sampai ia terseok dan mau tidak mau mengikuti saja pemuda yang katanya adalah pengawal Yatara.
Hari semakin gelap, bintang-bintang bahkan sudah menyembunyikan diri di balik awan hitam yang muncul karena ada suara petir yang terdengar bersahutan. Padahal sedari tadi, langit masih cerah dan juga tidak ada hujan yang turun. Namun, petir menyambar tanpa suara seakan menyambut kedatangan hujan yang perlahan turun pelan, lama-lama deras dan membuat kedua pemuda yang berada di tengah-tengah hutan itu terpaksa menepi dan berteduh pada suatu pohon besar nan rindang.
Entah sudah berapa lama keduanya menyusuri hutan luas yang seakan tidak berujung. Jalanan terlihat sama saja bagi Theodoric. Tapi, tidak bagi Edgar— pemuda itu mengatakan ada perbedaan disetiap jalan yang mereka lewati.
“Kita akan mulai masuk ke area tempat tinggal Ratu Shaniell, kau … harus bersiaga.” Ucapan ambigu Edgar membuat Theodoric cemas sekaligus panik, bersiaga itu maksudnya bagaimana. Tapi, Edgar tidak melanjutkan penjelasannya. Dia malah maju ke salah satu pohon di depannya.
Tangan Edgar menjulur maju, menundukan kepala memberi hormat.
“Aneh banget, hormat kok sama pohon.” Cibir Theodoric lirih, mengulum bibir menahan tawa melihat Edgar yang melakukan sesuatu yang aneh baginya.
Tawa Theodoric perlahan lenyap, ekpresinya mendadak shock melihat pohon tadi bergerak membelah diri membuat sebuah pintu yang penuh dengan bunga hidup itu terlihat. Pupil mata Theodoric masih melebar, tangannya bergerak mengucek-ngucek pelupuk matanya berusaha meyakinkan apa yang ia lihat di depan adalah sesuatu yang nyata.
Edgar maju menembus pintu, bukan mendorong pintu di depannya melainkan menembus. Dan yang lebih anehnya lagi tubuh Edgar lenyap begitu saja tidak meninggalkan jejak. Karena panik, Theodoric melesat maju dan berusaha membuka pintu. Namun, yang telihat di depannya bukanlah sebuah istana yang seperti Edgar katakan. Melainkan, jurang tinggi yang tidak bisa dilihat dasarnya saking tingginya.
“Bentar, ini mimpi apa gimana?” Gumamnya mulai panik, menampar-nampar pipinya berusaha membuat ia sadar, “sakit, bodoh!” Omelnya pada diri sendiri.
Theodoric sudah ingin menangis, tidak ada yang bisa ia lakukan sekarang. Ia juga takut kalau harus menembus pintu di depannya, bagaimana kalau nanti ia berakhir jatuh ke jurang tadi.
“Berdoa, berdoa, apa harus berdoa dulu ya.” Gumamnya mondar-mandir dengan ekspresi masam. “Doanya baga—“ ucapannya terhenti saat sebuah tangan dari dalam pintu menarik lengannya kasar membuat ia tertarik masuk dengan memejamkan mata takut.
“Ck, ngapain aja di luar? Bukannya langsung ikut masuk,” omel Edgar kini menarik tangannya dari lengan Theodoric, kemudian memasuki lorong yang seperti di dalam goa itu. Namun, goanya menyala kerlap-kerlip seperti ada yang menempel di sana. Benda-benda kecil yang sebesar ujung kuku, menempeli goa membuat langkah Theodoric dan Edgar jadi terarahkan.
“Sebenarnya kita ada dimana?” Tanya Theodoric menoleh kanan-kiri, memperhatikan keadaan sekitar yang menurutnya makin lama makin menakjubkan.
Entah itu atap goa, dinding goa bahkan dasar goa yang kini menjadi pijakan Thedoric dan Edgar penuh dengan sesuatu yang colorful. Dinding goa dipenuhi batu Kristal warna-warni, campuran semua warna. Ada sesuatu benda yang membuat Theodoric makin takjub, entah sebuah benda atau tumbuhan yang bentuknya seperti payung yang terbalik, ada kelereng-kelereng yang memancarkan sinar-sinarnya— memantul pada goa membuat sesuatu terjatuh ke lantai seperti air mancur yang mengalir deras.
“Itu kalau dijual di dunia aku, pasti laku habis. Boleh aku ambil, tidak?” Bisik Theodoric mendekat ke samping telinga Edgar yang langsung menatapnya nyalang. “Sebelum kau bisa menjual itu, kau sudah mati di sini karena mengambi sesuatu yang bukan milikmu.” Kata Edgar menakut-nakuti— Theodoric langsung menciut dengan tersenyum miris mendengar balasan tidak berperasaan itu.
Keduanya kini berdiri di hadapan sesuatu yang menggantung di udara, bentuknya menyerupai jantung manusia tapi bedanya sesuatu di depan mereka lebih mirip seperti akar pohon yang merambat dan disetiap sudut akarnya ditumbuhi bunga yang bermekaran indah dan mengalirkan seuatu seperti salju.
Bunganya berwarna peach terang, bergerak pelan karena tiupan angin.
Theodoric sama sekali tidak bisa mengalihkan pandangannya, terbius akan keindahan pohon aneh di depannya itu. Edgar di sampingnya hanya menampakan ekspresi datar, sepertinya sudah biasa melihat sesuatu yang asing bagi Theodoric.
“Selamat datang, Pangeran Yatara.”
Suara lemah lembut yang merdu di telinga itu terdengar di balik pohon yang menggantung itu, Theodoric berusaha merunduk agar melihat siapa yang menyapa barusan. Tapi, anehnya orang itu malah menyapa Yatara yang tidak ada bersama mereka.
Edgar sontak menunduk, kembali memberikan hormat pada sang ratu yang kini melangkah maju menyambut mereka berdua.
Theodoric menaikan alisnya tinggi, mengamati ratu Shaniell—mahkotanya dari tanduknya yang berwarna peach—gaunnya juga berwarna terang dengan kulitnya yang putih, seputih salju. Rambutnya berwarna perak panjang teurai sampai hampir menyentuh ujung gaunnya.
“Ternyata ini yang namanya bidadari,” gumam Theodoric tidak sadar menarik sudut bibirnya tersenyum merekah.
Edgar yang mendengar pemuda itu bisik-bisik, jadi menoleh menatapnya nyalang. Berusaha menegur pemuda itu melalui tatapannya.
“Sepertinya ada masalah dengan Pangeran Yatara ya, makanya kau membawa manusia ini datang kemari.” Ucapan Ratu Shaniell membuat mata Theodoric membulat kaget, karena ucapannya perempuan itu sangat tepat. “Tanpa saya perlu jelaskan, ternyata Ratu sudah mengetahui apa yang terjadi sekarang.” Jeda Edgar kemudian menoleh pada Theodoric yang masih melongo di tempatnya.
“Apa ratu bisa membantu Pangeran Yatara keluar dari tubuh anak ini?”
“Tentu saja, tidak.” Theodoric langsung melotot kaget, begitu pun dengan Edgar yang tidak memprediksi respon ratu. “Saya hanyalah penjaga bunga abadi di Eternal Ice, jantungnya kerajaan kita. Saya tidak bisa membantu sesuatu hal yang mustahil seperti itu.” Edgar terdiam lama, tidak tahu harus merespon apa.
“Kita hanya bisa menunggu saja, Pangeran Yatara dan anak ini yang akan berusaha sendiri. Pasti ada alasannya kenapa tubuh seorang pangeran bisa terjebak masuk ke tubuh anak ini.” Jelas ratu dengan tersenyum samar, “apa dia akan baik-baik saja?” Ratu Shaniell terdiam beberapa saat kemudian menganggukan kepala yakin.
“Hm, ada sesuatu yang anak ini miliki tapi tidak dimiliki oleh manusia lain.”
“Apa itu?” Tanya Edgar mendekat, penasaran dengan apa yang dimiliki oleh Theodoric sampai dia bisa terlibat dengan seorang pangeran mahkota.
Ratu Shaniell ingin membuka mulut, menjawab pertanyaan Edgar. Namun, perempuan itu mendadak terdiam dengan matanya yang bersinar tajam, menatap pintu yang jauh di depan mereka membuat Theodoric ikut melihat arah pandangnya. Begitu pun, dengan Edgar yang sudah siaga dengan memegang gagang pedang, walau tidak sepenuhnya mengeluarkan pedang dari sarungnya.
“Apa kalian pernah mendengar soal monster penghisap darah?”
“Zombie? Vampir?” Sahut Theodoric menoleh sekilas pada ratu Shaniell yang mengedikan bahu pelan, “entah apapun itu namanya di dunia manusia. Yang jelas, akhir-akhir ini ada banyak orang yang mati dengan bagian tubuh mereka yang berserakan di tanah.” Jeda Ratu Shaniell sesaat, “bukan seperti dipotong dengan pedang, tetapi seperti bekas gigitan orang.” Jelas sang ratu membuat Edgar dan Theodoric saling pandang dengan ekspresi tegang.
“Terus apa yang harus kita lakukan sekarang?”
“Bukan kita, tapi kalian berdua.” Ralat ratu dengan tersenyum kecil, “saya tidak akan bisa meninggalkan tempat ini. Karena harus tetap menjaga bunga abadi, kalau tidak … kerajaan Eternal benar-benar akan hancur tanpa sisa.” Theodoric meneguk ludah kasar mendengar penjelasan sang ratu.
Pemuda yang memiliki dagu terbelah itu tidak menyangka kalau kedatangannya akan membuatnya terlibat makin dalam dengan masalah kerajaan Yatara. Apalagi ada yang namanya monster penghisap darah—Zombie atau pun vampire yang biasa ia lihat di film-film tontonannya.
“Cepat bereskan mereka, jangan sampai mereka beranak-pinak dan membuat Eternal hancur dalam sekejap mata.”
“Baik, terima kasih sudah mau menyambut kami.” Ucap Edgar tulus lalu menunduk sesaat pada ratu, sedangkan Theodoric hanya berdiri mematung memikirkan nasib hidupnya ke depan. Belum satu hari ia di Eternal Ice, tapi sudah banyak hal tidak enak yang didengarnya.
Ratu Shaniell yang ternyata tidak bisa membantu sama sekali. Dan sekarang katanya ada monster penghisap darah yang mulai menyebar di Eternal Ice.
Tidak ada lagi harapan untuk Theodoric hidup. Kalau pun, ia memilih untuk kembali ke dunianya—ia akan tetap mati mengenaskan. Karena energinya akan terserap habis oleh Yatara yang masih terjebak di dalam tubuhnya. Kalau sekarang, ia memutuskan untuk tinggal—pasti ia akan tetap menemui yang namanya kematian.
Edgar beranjak maju lebih dulu, menyusuri goa yang mereka lewati tadi. Kemudian berhenti saat berada di sebuh pintu bunga yang bentuknya sama seperti pintu yang mereka masuki tadi.
Kali ini Edgar, memegangi lengan Theodoric. Tidak ingin kejadian seperti tadi terulang kembali. Kedua pemuda itu pun sampai di depan pintu yang perlahan menutup diri dan kini menjadi pohon besar nan rindang seperti semula.
Theodoric tersentak kaget, saat mendengar suara seperti suara orang kesakita. Tapi, juga tidak terdengar seperti itu. Seperti orang yang tercekik.
“Kkkkkhhhhh,”
Edgar langsung mengeluarkan pedangnya dan mengacungkannya ke depan, sedangkan Theodoric bersembunyi di belakang tubuh jangkung Edgar.
Suara itu makin mendekat dan terdengar bukan satu atau dua, tapi banyak.
Theodoric melebarkan mata kaget saat melihat sosok menakutkan yang kini berlari ke arah ia dan Edgar. Penampakannya menakutkan, darah disekujur tubuhnya, matanya putih semua dengan gigi merah kehitaman karena bercampur dengan darah dan mungkin ada tubuh manusia di sana.
Enam orang maju dan menyerang mereka berdua, berlari tanpa rem membuat Edgar langsung melesat maju dan menebaskan pedangnya ke sana kemari sampai beberapa dari mereka berjatuhan tidak berdaya.
Theodoric yang tidak bisa apa-apa hanya bisa berlari menghindari, dengan berteriak ketakutan. Apalagi dua makhluk menakutkan itu makin mengejarnya tanpa henti.
Edgar yang baru saja selesai menghabisi enam makhluk di hadapannya langsung berlari cepat dan mengayungkan pedangnya pada dua makhluk itu sekaligus. Sampai darah terciprat pada wajah Theodoric yang tertindih dengan ekspresi ketakutan setengah mati.
“Darah mereka … bukan seperti darah pada umumnya.” Ujar pemuda itu merunduk samar, mengacuhkan Theodoric yang masih shock. “Hijau?” Gumam Edgar menaikan alisnya tinggi, kemudian pemuda itu menoleh kaget saat orang-orang menakutkan yang dia tebas sampai terkapar di tanah itu kembali bergerak dan menyatukan tubuh mereka yang terpotong.
“Apa ini … bagaimana bisa?”
Theodoric dan Edgar saling pandang dengan kebingungan dengan makhluk-makhluk itu yang berteriak dan kini berlari kembali menyerang mereka berdua.