Saat Karina Bertindak

2180 Words
Jennie merapatkan diri ke dinding dengan kelopak mata yang sudah basah. Anak kecil yang masih duduk di bangku sekolah dasar itu makin tersedu lirih saat sang kakak belum juga muncul dan menyusulnya masuk ke dalam ruangan kelas tempatnya bersembunyi kini. Ia pun, berusaha menenangkan diri sembari mengintip pada jendela ruangan. Matanya melebar sempurna melihat beberapa orang kini melangkah terhuyung-huyung, mondar-mandir di depan koridor dengan mata mereka yang sepenuhnya menghitam. Jennie makin menangis ketakutan, tidak ada yang bisa anak kecil itu lakukan. Apalagi sekarang ia hanya seorang diri, tidak ada Justin yang menemani. Dan ia tidak yakin, kalau Justin berhasil selamat dari orang-orang menyeramkan tadi. Suara ketukan di dinding sampingnya membuat gadis itu tersentak kecil, sontak ia pun perlahan mengesot pelan dengan posisi merunduk. Takut kalau orang-orang tadi melihatnya yang bersembunyi. Jennie menempelkan telinganya pada dinding, dan ketukan di ruangan sebelah kembali terdengar. Anak kecil berseragam putih merah itu bisa bernapas lega karena ia tahu, orang di seberang yang mengetuk tembok adalah Justin. Gadis itu ingin bersuara, bertanya apa Justin baik-baik saja. Tapi, ia tidak ingin sampai suaranya bisa memicu kemunculan orang-orang tadi dan bisa saja mengetahui keberadaannya di dalam ruangan kelas itu. Jennie sejujurnya merasa aneh, kalau orang itu masih dalam keadaan sadar pasti bisa saja membuka pintu di depannya yang sama sekali tidak terkunci atau digembok itu. Tapi, sepertinya orang-orang tadi pikirannya dikuasai oleh sesuatu. Oleh karena itu, mereka hanya bisa mondar-mandir tanpa arah dengan membuka mulutnya lebar seperti ingin melahap siapapun di depannya bulat-bulat. Entah sudah berapa lama Jennie bersembunyi, ia tidak mendengar lagi suara-suara menyeramkan seperti tadi. Bahkan, kini terasa sunyi senyap seperti sudah tidak ada lagi orang-orang di depan sana. Namun, anehnya Jennie masih merasa terancam. Tidak berani untuk membuka pintu dan mengecek keadaan di luar. Bagaimana kalau seandainya mereka juga bersembunyi di luar, saat Jennie memutuskan untuk keluar mereka langsung menyerang bersamaan. Gadis kecil itu pun, sontak menggelengkan kepala berulangkali. Buru-buru mengurungkan niat, tidak ingin sampai ia berubah aneh seperti teman-temannya tadi. Jennie kembali tersentak, saat pintu di sampingnya terbuka pelan. Ia menahan napas melihat Justin kini melangkah masuk dengan hati-hati, dengan melihat kanan-kiri. Setelah berhasil masuk, Jennie langsung menghampiri kakaknya dan memegang lengan Justin yang kini duduk mendudukan diri dan menempel pada dinding tembok di belakangnya. “Orang-orang tadi pergi ke depan sana, mereka entah melihat apa jadi melesat cepat keluar gerbang.” Cerita Justin setengah berbisik, “orang-orang di luar sana pasti tidak akan tahu kalau orang seperti zombie tadi bisa melukai mereka semua.” Lanjut Justin menipiskan bibir sesaat. “Karena itu, kita berdua sebisa mungkin harus keluar dari sini dan memberi tahu mereka semua tentang apa yang sebenarnya terjadi.” Jennie menggelengkan kepala, tidak setuju dengan ide Justin. “Sepertinya orang-orang tidak akan ada yang mau mempercayai anak kecil seperti kita,” tutur Jennie menatap Justin sendu. “Makanya aku sudah mengambik bukti, biar lebih cepat … kita berdua ke kantor polisi sekarang. Kita minta bantuan mereka agar bisa memberikan informasi yang cepat pada masyarakat setempat.” Jelas Justin berbicara seperti orang dewasa, khas anak cowok itu. “Kenapa tidak pulang ke rumah saja? Pasti mama dan papa sedang menunggu di rumah, kan?” Justin menghela samar, “orangtua kita sekarang lagi di luar kota. Tante sama om juga pasti tidak bisa bantu, lagian rumah kita terlalu jauh untuk ditempuh dengan jalan kaki.” Kata Justin lagi berusaha menjelaskan pada Jennie dengan hati-hati. “Kantor polisi jaraknya dari sekolah cuma satu kilo meter, kita bisa ke sana dengan berlari.” Lanjutnya membujuk sang adik yang menampakan ekspresi cemas. “Kenapa kita tidak tunggu di sini saja? Kita telepon mama sama papa buat jemput di sini,” rengek Jennie sudah ingin menangis buat Justin terdiam beberapa saat. “Papa sama mama masih di luar kota, kalau kita ceritain masalah ini. Menurutmu bagaimana reaksi mereka?” “Panik, cemas dan takut?” Justin mengangguk membenarkan, “makanya, sekarang kita harus berusaha sendiri untuk bertahan hidup.” Jennie memajukan bibir bawahnya dengan air matanya yang kembali berlinang deras. “Kau pasti bisa, kau kan anak kebanggan mama dan papa.” Tambah Justin menyemangati adik perempuannya. Jennie perlahan menganggukan kepala setuju membuat Justin jadi menghela lega. “Sekarang kita harus keluar dari ruangan ini, dan segera pergi ke kantor polisi.” “Bagaimana kalau mereka semua menunggu di depan gerbang sekolah?” Tanya Jennie dengan mengusap air matanya kasar, “kita lewat gedung belakang, harus manjat tembok di belakang sana. Kau, berani kan?” Jennie kembali merapatkan bibir, sejujurnya gadis itu takut ketinggian. Walau tembok belakang sekolah tidak setinggi gedung sekolahnya. Hanya saja, ketinggian itu tidak bisa ditoleransi oleh rasa takut gadis kecil itu. “Tidak perlu takut, aku kan ada di sini. Aku bakalan mastiin kau baik-baik saja. Percaya kan sama aku?” Ujar Justin kemudian berdiri dengan menarik lengan adiknya, keduanya pun melangkah maju ke arah jendela kelas. Justin lebih dulu membuka jendela dengan pelan, agar tidak menimbulkan suara gaduh yang bisa saja mengundang orang-orang aneh tadi kembali masuk. Justin melompat lebih dahulu, kemudian berbalik cepat membantu Jennie yang kesusahan mengeluarkan kakinya karena rok yang dipakainya. Setelah beberapa terganggu dengan rok panjang Jennie, akhirnya mereka berdua pun berhasil berdiri di belakang sekolah. Jennie dan Justin memandangi tembok tinggi di hadapan mereka yang seakan mengatakan kalau dia tidak bisa digapai. Jennie meneguk ludah kasar, begitu pun dengan Justin yang jadi takut sendiri melihat tembok yang tinggi itu. Ia jadi ingin mengurungkan niat, tapi sudah bicara keren di depan adiknya tadi. Kalau ia menampakan rasa cemas dan takutnya, Jennie pasti akan lebih takut lagi. Karena itu, Justin berusaha menyembunyikan debaran jantungnya yang merasa takut melihat tembok putih belakang sekolahnya. “Oke, Jennie … kita bisa memanjat tembok dengan bangku dan meja ini.” Tunjuk Justin pada salah tumpukan meja di samping mereka . Jennie mengangguk ragu, kemudian melihat Justin yang mendorong meja dengan hati-hati. Kemudian mengangkat kursi dengan susah payah, ia pun memanjat lebih dulu memperlihatkan pada adiknya bagaimana cara memanjat yang benar. Setelah ia berhasil duduk di atas tembok, ia pun menjulurkan tangannya pada Jennie. Menyuruh adik perempuannya untuk segera naik. Keduanya kompak menolehkan kepala ke samping saat mendengar suara derap lari mendekat. Jennie jadi membatu di tempatnya, gadis mungil itu menoleh ke samping Justin yang kini melebarkan matanya sempurna. “Buruan naik!” Ujar Justin tidak sadar berteriak kini, Jennie yang panikan jadi tidak bisa sama sekali menggerakan tubuhnya. Perlahan memejamkan mata saat beberapa orang menyeramkan tadi maju dan mau menyerangnya. ** Karina mempercepat langkahnya membuat Ellard yang mengekori jadi mengernyitkan dahi melihat putri mahkota kerajaan Valeria itu berbelok ke arah pintu keluar. Bukan, menuju kamar Ratu Eliana—ibunda perempuan di depannya itu. “Bukankah yang mulia raja menyuruh anda untuk menemui yang mulia ratu dulu?” Tanya Ellard mengejar langkah Karina di depannya, “tidak ada waktu untuk itu, kau tahu sendiri kan … kalau meminta ijin untuk pergi berperang seperti ini, responnya bagaimana?” Ellard mengatupkan bibir rapat, pemuda yang berbadan gagah nan tinggi itu kembali menahan langkah Karina. “Walaupun begitu, anda harus tetap meminta ijin. Bahaya kalau yang mulia raja mengetahui ini,” “Kalau begitu jangan sampai ayah tahu.” Sahut Karina santai, melanjutkan langkahnya menuju gerbang istana. Gadis itu mengedarkan pandangan ke sekitar, berusaha mengamati keadaan. Setelah dirasa aman, Karina memejamkan mata sesaat kemudian membuka kelopak mata perlahan. Ellard mengernyitkan dahi saat melihat sebuah pintu muncul di hadapannya kini. Pintu aneh yang terbentuk dari asap ungu, kekuatan Karina. Setahu Ellard, pintu di depannya ini adalah pintu menuju dunia manusia. “Kau mau ikut atau bagaimana?” Tanya Karina menoleh ke samping pemuda tampan itu, “kalau kau nekat itu, kau harus menanggung resiko kemarahan ayahku saat pulang nanti.” Lanjutnya menjelaskan terlebih dahulu, agar kesatria kepercayaan ayahnya itu tidak menyesal suatu saat nanti. “Apa anda harus melakukan ini?” Karina mendecak kasar, mengusap-ngusap telinga kirinya merasa risih. Ellard masih saja memanggilnya sopan dan formal, padahal mereka tumbuh bersama di istana kerajaan. Karina sudah menganggap Ellard seperti seorang teman, namun anehnya Ellard seakan membangun tembok di antara mereka berdua. “Kau terlalu banyak mikir, cepat putuskan sebelum aku tinggalkan di sini.” Ancam Karina. Ellard dengan terpaksa menganggukan kepala cepat, langsung mengekori Karina yang melesat masuk lebih dulu ke dalam pintu ungu muda di depan mereka. Beberapa saat kemudian, keduanya sampai di sebuah tempat asing. Tapi, yang jelas mereka sudah sampai ke tempat Theodoric berasal. “Ini tempat apa?” Tanya Ellard melihat sekeliling, dua gedung dengan dua lantai yang di tengah-tengah bangunan ada tanah lapang. Suasana yang sunyi senyap membuat mereka berdua makin kebingungan, karena sejujurnya Karina baru pertama kali menginjakan kakinya di dunia manusia. Beberapa kali memang ia sudah membuka pintu rahasia itu, namun ia belum berani untuk masuk dan datang seperti saat ini. Karina sudah ingin melangkah maju, namun langkahnya terhenti saat Ellard menghadangnya dengan lengan. “Sepertinya ada bau busuk di sini, bau darah dan juga sesuatu yang kuat … bisa menyebabkan kematian.” Alis Karina terangkat tinggi mendengar ucapan Ellard yang berusaha memfokuskan pikirannya agar bisa melihat keadaan di sekitar. “Sepertinya ini tempat akademi, tempat manusia belajar.” Ujar Ellard lagi menjelaskan pada Karina yang sontak menganggukan kepala mengerti. Keduanya kompak saling pandang dengan ekspresi kaget, pasalnya mereka mendengar teriakan dan juga suara menyeramkan yang berkerumunan di depan sana. Tanpa menunggu lama, dua orang itu segera melesat maju berusaha mendekati tempat suara-suara berada. “Di belakang sana,” tunjuk Ellard ke belakang gedung membuat Karina langsung melesat cepat dengan kekuatannya. Gadis itu membulatkan mata kaget melihat dua anak kecil sedang berusaha menaiki tembok tinggi dengan para monster yang sebelumnya berasal dari Eternal Ice kini mengejar dan ingin menyerang mereka. Karina langsung mengeluarkan busurnya, kemudian mengambil anak busur di belakang punggung. Kemudian memanah para monster dengan cepat, tanpa tertinggal satu pun. Gadis itu, mendecak kasar karena beberapa masih bisa hidup dan berbalik ke arahnya dengan tatapan mata ingin mencabik-cabiknya sampai mati. “Ck,” gadis itu terdorong kuat dan kini ditindih oleh puluhan monster di depannya, tangannya menahan tubuh mereka dengan busur panahnya. Ellard yang baru sampai, langsung mengayunkan pedangnya menebas sekaligus semua monster yang menindih tubuh Karina. Cipratan darah mereka langsung mengenai wajah cantik Karina membuat sang putri mahkota menghela napas lega. “Hampir saja aku menjadi monster,” ujarnya beranjak berdiri, mendorong salah satu tubuh monster di dekatnya yang tubuhnya sudah tidak beraturan itu. Pedang tajam milik Ellard bisa membelah batang pohon dengan sekali tebasan, apalagi tubuh monster-monster itu yang hanya dari tulang dan daging. Pasti akan hancur berantakan. “Harus diapakan jasad-jasad mereka ini?” Tanya Ellard sekilas melirik ke arah dua anak kecil yang masih terkejut melihat kemunculan mereka dan cara mereka menangani monster. “Kau bisa kan, melenyapkan mereka dengan cara membakar. Karena takutnya ada binatang atau sesuatu yang tidak sengaja menyentuh atau sampai menyebabkan mereka terjangkit.” Tutur Karina yang langsung diiyakan oleh Ellard. Karina menaikan alis tinggi, memandangi dua anak yang kini menampakan ekspresi takut dengan wajah pucat mereka. Salah satunya berada di atas tembok, satunya lagi masih berdiri dengan memegangi meja di depannya. “Kalian berdua tidak apa-apa?” Tanya gadis itu mendekat, menghilangkan busur di tangannya membuat dua anak kecil yang tidak lain adalah Justin dan Jennie itu sontak melebarkan mata kaget. “Ah, seharusnya aku tidak memperlihatkan ini pada manusia.” Gumam Karina lirih, baru sadar kalau sekarang ia sedang berada di dunia manusia. “Jangan takut, barusan itu hanya magic.” Katanya tersenyum masam, “kalian kenapa bisa di sini?” Tanya Karina berusaha mengalihkan topic. “Kami sekolah di sini,” “Sekolah? Oh, jadi namanya sekolah kalau di dunia kalian.” Gumam Karina sembari menganguk-nganggukan kepala mengerti, “kalian tidak tergigit kan?” Justin dan Jennie kompak menggelengkan kepala. “Baguslah,” “Kakak siapa, kenapa bisa masuk ke sekolah kami?” Karina mengernyitkan dahi mendengar pertanyaan anak cowok yang masih duduk di atas tembok. “Pemburu para monster, mungkin?” Balasnya dengan tersenyum lagi, berusaha tidak membuat anak-anak di depannya ketakutan. “Kalian tahu, kenapa orang-orang ini bisa menjadi monster?” “Tidak, tapi … sekilas yang saya lihat, mereka akan menggigit korbannya dan kemudian yang tergigit akan berubah menjadi seperti ini.” Tunjuk Justin pada monster-monster yang sedang diurus Ellard. “Hm, jadinya mereka bisa memindahkan penyakit itu lewat air liur melalui luka yang digigit.” Ujar Karina bergumam sendiri, “baiklah, apa kalian tahu … tempat untuk kita tuju, tempat yang bisa memberitahukan kepada semua manusia … kalau sekarang dunia mereka sedang diserang oleh monster.” Jelas Karina menatap Justin dan Jennie bergantian. “Ini kiamat ya, kak?” Tanya Jennie polos membuat Karina mengedikan bahu tidak tahu, “entahlah, mungkin ini semacam hukuman untuk kalian semua … karena selama ini banyak berbuat kerusakan?” Ellard mengernyitkan dahi mendengar ucapan Karina di sampingnya. “Intinya bukan itu yang harus dibahas sekarang, kalian harus menunjukan jalan ke tempat yang saya katakan tadi.” “Kantor polisi.” Sahut Justin cepat membuat Karina mengerjap-ngerjapkan matanya tidak paham. “Apa itu?” Justin menghela napas lelah, “sepertinya dia tidak pernah mengenyam pendidikan di sekolah. Jadi, kantor polisi pun tidak tahu.” Bisiknya pada Jennie yang langsung membenarkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD