"Hah, malam pertama apa. Pak?" tanya Dara yang bingung.
Adi berdehem sebentar, lagi-lagi Adi merutuki dirinya yang ngomong tidak disaring dulu. Sedangkan Dara mengedikkan bahunya acuh saat tak mendapat jawaban, gadis itu masih menata tempat bolpoin itu sampai rapi.
"Pak, usahakan kalau menata barang-barang itu rapi, jangan diberantakin begini!" omel Dara mendengus sebal.
"Namanya juga dipakai, ya jelas berantakan," elak Adi.
"Kan bisa dibereskan lagi. Jangan jadi pemalas, Pak!"
"Apa kamu gak lelah menata ini itu terus-terusan?" tanya Adi dengan heran.
"Tidak," jawab Dara menggelengkan kepalanya.
"Ya sudah lanjutkan itu!" titah Adi.
Dara mengacungkan jari jempolnya, gadis kecil itu segera menyelesaikan designya. Gambaran dengan pola melikuk di sisi pinggir dan bunga tulip saat pola itu makin ke tengah. Adi menatap rambut Dara yang tampak halus meski hanya sebatas punggung, bibir pria itu berkedut dan tak lama kemudian mengusung senyum tipis.
Adi mengambil bolpoin dari saku kemejanya, laki-laki itu menyibak rambut Dara ke belakang telinga dengan bolpoin miliknya. Dara yang terlanjur serius pun tidak sadar saat Adi melakukan kontak fisik. Gadis itu masih terfokus dengan apa yang dia kerjakan.
Adi bagai orang sinting yang tidak berkedip menatap Dara, "Bidadari kecil ini jatuh di tempat yang tepat," ujar Adi tanpa sadar.
"Taraaa sudah jadi!" pekik Dara dengan semangat. Dengan spontan Dara berdiri hingga membuat bolpoin yang dipegang Adi jatuh ke lantai.
Melihat bolpin yang jatuh membuat Dara buru-buru mengambilnya, tapi sayang saat dia akan berdiri kepalanya menabrak tangan kursi. Dara memekik kesakitan.
"Dasar gadis bodohh!" ujar Adi mengusap kepala Dara yang terbentur.
"Sakit, Pak!" ringis Dara cemberut.
"Gak usah pasang tampang menye-menye kayak gini, buat panas dingin aja!" tegur Adi.
Dara memicingkan matanya, tiba-tiba otak gadis itu langsung konek. Dara mengingat ucapan Adi yang tadi mengatakan malam pertama dan saat ini mengatakan panas dingin. Dara bukan gadis remaja polos yang tidak tau apa-apa, Dara sudah mengerti fitrah seorang laki-laki dan perempuan. Dan apa saja yang bisa dilakukan seorang laki-laki dan perempuan di saat berduaan.
Dara mengkerut takut, perempuan itu menyerahkan kertas yang sudah dia gambar pada Adi dengan kasar. Adi yang bingung dengan perubahan sikap Dara pun hanya bisa menatap. Laki-laki itu ingin membuka suara, tapi terlambat saat Dara berlari pergi tanpa pamit.
"Kyaaaaa ... Pak Adi menakutkan!" teriak Dara sembari menutup pintu dengan kencang. Dara berlari tunggang langgang menyurusi koridor kantor.
Napas Dara ngos-ngosan, dia takut membayangkan sesuatu yang buruk bila dia tidak kunjung keluar dari ruangan Pak Adi. Dara pernah mendengar rumor dari beberapa berita kalau seorang CEO identik dengan tampang mesuum dan suka membuat skandal dengan sekretarisnya.
Dara menepuk-nepuk pipinya, perempuan itu sungguh takut jika dia terjebak dengan CEO seperti Adi. Apalagi dia juga pernah membaca seorang CEO yang melecehkan anak magang. Dara bergidik ngeri.
"Walau Pak Adi ganteng, kaya, kalem, aku gak akan terpesona sama dia," ucap Dara dalam hatinya. Gadis itu segera kembali ke lantai bawah untuk melanjutkan membatiknya bersama Mbak Olivia.
Sedangkan di ruangannya, Adi hanya menatap pintu dengan heran. Laki-laki itu merasa tidak melakukan kesalahan apapun. Lalu kenapa Dara sampai berteriak ketakutan?
Adi melihat kertas yang dia pegang, matanya membulat sempurna saat ia melihat design yang dibuat Dara. Bagus sekali sampai dia tidak bisa mengatupkan bibirnya karena kagum.
"Dasar gadis ceroboh ini ternyata sangat jenius," ucap Adi menggelengkan kepalanya.
Adi mengambil ponselnya, dia mendiall sekretarisnya yang merupakan adiknya sendiri, Elleana untuk dia suruh datang ke ruangannya. Adiknya sangat pintar dalam membatik, hanya saja designya yang kurang menarik. Adi akan menyuruh adiknya itu untuk memberi contoh batik dengan design Dara.
*****
Hari yang paling mengesalkan bagi Adi adalah saat ibunya menyuruhnya menikah. Seperti saat ini contohnya, badan Adi sudah pegal semua lantaran kerja sampai lembur. Dan saat pulang dia harus mendengar ceramah dari ibunya yang menyuruhnya menikah. Sejak Adi usia dua puluh lima tahun, ibunya tidak berhenti menyodorkan fotro-foto gadis untuk dia pilih.
Nainawati ibu Adi sudah seperti makelar yang menyediakan para gadis. Tidak pernah lelah dia menyuruh anaknya untuk menikah, Namun Adi sendiri tidak terlalu memikirkan soal pernikahan. Yang pertama dia masih dalam fase patah hati karena orang yang disukainya menikah, dan kedua belum ada seorang pun gadis yang bisa menarik perhatiannya, juga yang ketiga ibunya terlalu menuntutnya untuk mencari pasangan yang sempurna.
"Bu, sudah cukup!" ucap Adi dengan memelas.
"Apanya yang cukup? Kamu harus segera menikah. Umur kamu sudah matang, kalau itumu gak digunakan bisa berkarat baru tau rasa!" omel Naina dengan menggebu.
Adi mencengkram tangannya sendiri dengan erat, kalau dia mau dia bisa saja asal memilih gadis untuk dia nikahi. Toh kata orang cinta hadir karena terbiasa, atau cinta hadir karena sudah pernah merasakan kenikmatan satu sama lain. Namun Adi bukan tipe laki-laki yang seperti itu. Selagi bisa mencari yang pas di hatinya, Adi tidak akan asal memilih.
"Sebenarnya gadis seperti apa yang menjadi tipemu, Adi?" tanya Naina yang sudah kelewat kesal. Naina sangat kesal dengan anaknya yang menganggap ucapannya seperti angin. Masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Atau bahkan Adi menganggap ucapannya seperti kentut, yang berbunyi lalu memghilang.
"Hem ... seperti, dia kecil, mungil, menggemaskan, ceroboh dan yang penting dia cerdas. Oh iya satu lagi, dia yang polos," jawab Adi sembari mengusung senyum.
Adi menghempaskan tubuhnya di sandaran sofa sembari menghembuskan napasnya pelan, bayang-bayang Adi mengarah pada gadis kecil yang tadi sudah membuat hatinya kocar-kacir.
Adi menatap plafon rumahnya dengan senyumnya yang masih mengembang, "Sungguh aku ingin mendekapmu untuk diriku sendiri," ucap Adi. Naina yang mendengar ucapan anaknya sontak memukulkan bantal sofa ke tubuh anaknya dengan kencang.
"Siapa yang ingin kamu dekap, hah? Dan siapa gadis dengan ciri-ciri kecil, mungil, dan menggemaskan itu?" tanya Naina bertubi-tubi. Naina tidak bisa menyembunyikan kepanikannya saat anaknya mengatakan gadis dengan ciri-ciri yang seperti anak SD.
"Kamu mengidap penyakit-"
"Ini bukan penyakit, Bu. Sepertinya cinta pada pandangan pertama itu memang nyata," sela Adi dengan cepat.
Buru-buru Adi menggelengkan kepalanya, "Tidak, aku tidak mencintainya. Gadis dengan wajah bulat, pendek dan jelek itu sungguh tidak menarik minatku," ujar Adi lagi mengelak hatinya yang menyatakan suka sama Dara.
Adi tidak ingin menyukai gadis kecil dan belum dewasa, Adi bukan remaja yang masih suka-sukanya pacaran. Dia tidak akan tertarik dengan Dara, Adi camkan itu baik-baik dalam ingatannya.