Semalaman penuh Adi tidak bisa tidur lantaran terus terbayang-bayang wajah Dara. Baik saat Adi membuka mata atau memejamkan matanya, selalu ada Dara di sana. Dara sudah seperti setann yang menghantuinya kemana-mana. Dara sungguh gadis kecil yang nakal, dia tidak membiarkan Adi tidur nyenyak barang satu menit pun.
Kini Adi sedang mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Hawa di luar sana sangat dingin seperti hujan es, tapi tetap saja Adi mandi dengan air dingin. Badan boleh dingin, tapi pikiran Adi sangatlah panas. Panas karena memikirkan Dara. Di otak Adi memikirkan banyak strategi untuk mendapatan Dara, entah itu akan berhasil atau tidak. Namun tetap saja dia tidak ingin mengikuti saran kakaknya yang menyarankan mengungkapkan perasaannya secara langsung. Adi masih memikirkan reputasinya di perusahaan. Kalau salah satu mendengar dia ditolak Dara, sudah pasti satu perusahaan tau dan akan menjatuhkan imagenya sebagai soerang pimpinan. Dan lagi itu akan membentangkan jarak antara dirinya dengan Dara, belum lagi juga akan menimbulkan kecanggungan yang kentara. Maka itu Adi lebih memilih main aman.
Setelah mandi, Adi menyambar handuk dan melilitkan di pingangnya. Adi menuju ke depan cermin, ia melihat pantulan dirinya sendiri. Tubuhnya proposional meski tidak berotot, wajahnya juga ganteng melebihi kakaknya. Memang anak pertama cetaknya lagi belajar, jadilah seperti Kukuh. Kalau anak kedua sudah pro jadinya kayak Adi. Seketika Adi berbangga diri.
Adi melihat matanya yang di bawah tampak menghitam, pria itu runtuh sudah rasa percaya dirinya akan ketampanannya. Gara-gara tidur terlalu larut dan hanya sebentar, kini matanya pun sudah menjadi mata panda.
”Sebegitu besarnya pengaruhmu padaku, Dara,” ucap Adi seorang diri.
Sebelum mengenal Dara, Adi tidak seperti ini. Namun setelah mengenal Dara, dia sangat menggila. Dara adalah duri dalam hati, Dara siap menusuk-nusuk hatinya.
“Sekarang kamu menusuk hatiku dengan cintamu, Dara. Besok aku akan menusuk anumu dengan senjata kakek moyangku,” ucap Adi lagi.
Karena tidak mau terus di kamar mandi, Adi segera keluar dan berpakaian dengan stelan rapinya. Adi mengenakan celana kain berwarna hitam, kemeja berwarna biru laut dan dasi biru tua. Adi sengaja membuat miring dasinya agar Dara yang membenarkannya. Adi menenteng tas kerja juga jasnya, tanpa sarapan terlebih dahulu Adi segera menuju ke mobilnya. Adi meletakkan tas dan jasnya ke jog belakang. Belum sempat dia masuk ke kursi kemudi, tiba-tiba Adi menghentikan niatnya. Pria itu kembali ke rumahnya dengan berlari cepat.
”Adi, apa ada yang ketinggalan?” tanya Nainawati yang duduk di meja makan sembari memakan sarapannya.
“Bu, ibu ada tabung gas kosong gak?” tanya Adi.
“Buat apa? Mau isiin gas ibu? Di depan kan ada isian gas, Di,” jawab Naina.
“Pinjem satu aja, Bu.”
“Ada yang tiga kiloan di sana!” Nainawati menunjuk tabung gas yang ada di belakang. Adi tersenyum setann, pria itu segera mengangkat gasnya.
“Di, yakin gak sarapan dulu? Mau ibu bawakan bekal?”
“Gak usah, Bu. Makan di kantin kantor saja,” jawab Adi nyelonong pergi begitu saja.
Adi menuju mobilnya dan menaruh tabung gas warna hijau itu di jog bagian belakang. Adi juga mengambil papan nama dari kayu yang dia simpan di bagasi dan memindahkannya ke kursi bagian belakang. Setelah selesai, Adi segera masuk ke kursi kemudi dan menjalankan mobilnya dengan kecepatan tinggi agar cepat sampai ke rumah Dara.
“Aku bos yang baik, menjemput anak magang,” ucap Adi sembari tertawa seorang diri. Untung tertawanya di dalam mobil, kalau di luar sudah pasti tidak tanggung-tanggung dia akan dicap sebagai orang gila.
Tidak berapa lama, Adi sampai di rumah Dara. Adi segera turun dan menanti Dara sembari bersandar di kap mobilnya.
Adi melihat lingkungan Dara yang tampak sepi, semua rumah berpagar, tidak ada tetangga yang sedang berkerumun bergosip ria. Kalau di sebelah rumahnya jam segini ibu-ibu berdaster sudah pada bergosip ria sembari ada yang memegang sapu, ada yang mengupas bawang, memotong kangkung dan lainnya.
Dara keluar rumahnya dengan mengemut permen kaki berwarna merah. Matanya membulat saat melihat Pak Adi yang berdiri tidak jauh dari dirinya. Rencanannya dia akan naik angot ke kantor, tapi atasannya malah datang.
“Pak Adi kok di sini?” tanya Dara bingung.
“Seperti yang saya katakan kemarin, saya akan menjemput kamu,” jawab Adi.
“Terus kapan bapak akan membelikan saya sepeda?” tanya Dara.
“Nanti saja, untuk sekarang mending kamu naik ke mobil!” titah Adi.
“Tapi, Pak. Saya malu kalau di kantor nanti banyak yang lihat kalau kita berangkat bareng. Yang ada mereka mikirnya aneh-aneh,” ucap Dara.
“Jangan pedulikan pikiran orang,” jawab Adi.
“Tapi saya juga memikirkan reputasi Pak Adi, kalau Pak Adi dikatain aneh-aneh bagaimana?”
“Saya bilang jangan pedulikan ucapan orang. Sekarang kamu masuk sendiri atau saya masukin?” tanya Adi.
“Iya iya ini masuk,” ucap Dara menghentakkan kakinya. Dara menuju ke jog belakang, saat membuka pintunya, mata Dara membulat sempurna saat melihat banyak barang di kursi belakang.
“Pak, kenapa ada Gas LGP di sini?” tanya Dara memekik.
“Iya tadi disuruh ngisi gas sama ibu,” jawab Adi. Dara tidak serta merta percaya. Bagaimana bisa orang kaya menggunakan gas melon begini?
“Pak, bapak sudah merampas hak orang miskin. Bapak itu kaya, kenapa pakai gas tiga kilo? Lihat di tabungnya ada tulisannya ‘hanya untuk masyarakat miskin’ Memangnya bapak miskin?” oceh Dara sembari berkacak pinggang.
“Kalau gas langka, kasihan orang miskin, Pak. Bapak harusnya pakai tabung besar, seorang pemimpin perusahaan tapi merampas hak orang miskin. Sebagai orang yang pintar, harusnya bapak taat hukum!” oceh Dara lagi yang lebih menggebu-gebu. Adi menggaruk tengkuknya, dia kan niat meletakkan gas di belakang juga agar Dara tidak duduk di belakang. Namun jadinya malah begini, harkat dan martabat Adi jatuh sudah karena dinilai tidak menjadi warga negara yang baik.
“Sudah lupakan, nanti saya kasih tau ibu saya buat pakai tabung besar. Sekarang kamu naik!” ujar Adi. Dara menganggukkan kepalanya dan duduk di bangku depan. Adi menyusul untuk duduk di balik kemudi. Tanpa sepatah kata lagi pun, Adi menjalankan mobilnya membelah jalanan pagi.
Adi masih tidak menyangka Dara akan secerewet ini hanya masalah tabung gas. Tabung kecil itu juga sudah lama tidak dipakai ibunya. Ibunya punya Gas kecil untuk jaga-jaga kalau tetangganya repot ada hajatan dan tabung gasnya kurang.
Sepanjang perjalanan Adi melirik-lirik ke arah Dara. Lihatlah gadis itu, tadi tampak cerewet, sekarang Dara tampak baik-baik saja seolah tidak pernah ada yang terjadi. Pikiran Adi hilang fokus saat melihat Dara tampak menikmati mengemut permen. Seketika Adi sangat ingin menjadi permen kaki agar diemut Dara dengan nikmat.
“Em … permen kaki memang tidak ada duanya,” ucap Dara masih asik menjilat dan mengemut.
Sesuatu yang di bawah tampak sesak, meronta, meraung dan memberontak ingin dilepaskan. Adi melirik ke bawah, sungguh aktif sekali si Guston kalau melihat Dara. Guston adalah nama kesayangan yang Adi berikan pada adik kecil.
Adi tidak kuat saat mendengar decapan dari bibir Dara yang beradu degan permen kaki. Tiba-tiba Adi menghentikan mobilnya yang membuat Dara bingung.
“Ada apa, Pak?” tanya Dara.
“Siniin permen kamu!” titah Adi. Dara menggelengkan kepalanya, tapi Adi tetap menengadahkan tangannya.
“Siniin Dara!” titah Adi lagi. Dengan bingung Dara memberikan permennya pada Adi. Adi membuka jendelanya dan membuang permen itu ke jalan. Dara membulatkan matanya, dia ingin protes, tapi ucapan Adi menghentikan bibirnya yang akan terbuka.
“Saya risih kamu ngemut permen kayak gitu. Sekarang duduk anteng, biar saya bisa fokus,” ucap Adi dengan tegas. Bukan maksud Adi jahat, hanya saja dia ingin melindungi Dara dari serangan Guston yang sudah hampir keluar dari sangkar.