Adi menuju toko bunga untuk memilih bunga apa yang sekiranya sangat cocok untuk Dara. Adi meneliti semua bunga-bunga yang sangat indah. Jangan sampai Adi salah memilih yang nantinya membuat Dara murka.
"Mbak, bunga yang cocok untuk mengungkapkan isi hati, bunga yang mana, Mbak?" tanya Adi pada penjual bunga.
"Tergantung bapak mau mengungkapkan isi hatinya apa? Cinta atau benci? Atau mengharap si orang itu cepet mati?" tanya penjual bunga yang membuat Adi memicingkan matanya.
"Apa maksudmu?" tanya Adi menyentak.
"Bunga itu macamnya banyak, Pak. Ada bunga mawar yang melambangkan cinta, bunga melati melambangkan kesetiaan ada bunga lavender yang melambangkan iklan krim anti nyamuk, ada bunga kantil yang melambangkan eratnya hubungan orangtua dan anak, ada juga kembang kenanga yang menggambarkan-"
"Sudah sudah, diam!" sela Adi dengan cepat. Pusing juga mendengar ocehan penjual bunga yang cerewetnya kebangetan.
Marketing model apa sampai bunga kantil dan kenanga dibawa-bawa. Bukannya terlihat romantis malah kesannya sangat mistis.
"Buatkan buket mawar dan lavender. Lavender bukan menggambarkan Iklan, tapi kesetiaan," ujar Adi.
"Baik-baik, Pak, saya buatkan. Silahkan tunggu sebentar di sini, silahkan minum airnya juga!" ujar penjual itu. Adi menganggukkan kepalanya dan duduk di tempat yang sudah disediakan.
Adi mengamati semua bunga yang sangat indah. Dan ucapan penjual bunga itu tidak main-main. Ada juga bunga kenanga dan bunga kantil di sana.
"Sungguh bermacam-macam jenis manusia di Indonesia ini," ucap Adi menggelengkan kepalanya melihat tingkah absurd penjual bunga.
"Pak, ini ungkapan hatinya mau ditulis di note sekalian?" tanya penjual bunga menghampiri Adi.
"Biar saya yang tulis sendiri," jawab Adi meminta kertas note dan bolpoin. Penjual itu. Menyerahkan pada Adi.
Adi menimang-nimang sebentar, dia sendiri juga bingung mau menulis apa.
"Untuk Dara, terimakasih desain yang kamu berikan, tidak ada niatan untuk memberikan hatimu sekalian?"
Adi menuliskan kalimat itu pada kertas kecil berwarna pink. Saat sudah yakin dengan tulisannya sendiri, Adi memasukkannya di buket mawar dan lavender yang sudah jadi.
"Sekalian coklat ada gak?" tanya Adi.
"Banyak, Pak. Silahkan dipilih bagian kanan. Ada berbagai bentuk dari bulat, kotak, kerucut sampai love," jawab penjual bunga dengan ramah. Adi menganggukkan kepalanya dan memilih coklat.
Adi memilih coklat yang berbentuk lingkaran, "Cintaku sama Dara kayak lingkaran, diputer-puter tetap gak ada ujungnya," ucap Adi terkikik geli.
Setelah membawa bunga dan coklatnya, Adi segera membayarnya ke kasir. Adi cengengesan sembari mencium aroma khas dari mawar dan lavender.
Adi menjalankan mobilnya menuju ke kantornya. Biasanya Adi akan memarkirkan mobilnya di basement, tapi kali ini Adi menghentikan mobilnya tepat di depan pintu masuk kantornya. Bahkan beberapa karyawan yang kebetulan berpapasan mengerutkan dahinya bingung.
Adi membenahi jasnya sebelum keluar dari mobil. Pria itu juga membawa buket bunga serta coklat. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore, dan karyawannya berbondong untuk pulang.
Adi menyandarkan tubuhnya di kap mobil depan, beberapa karyawati mencuri-curi pandang ke arah Adi. Sudah ganteng, kaya, bawa bunga, kurang apalagi coba?.
Adi tambah percaya diri saat banyak yang menatapnya dengan pandangan kagum. Apalagi suara bisikan-bisikan yang memujinya, membuat kepala Adi makin besar.
Menunggu beberapa lama, akhirnya yang dia cari pun muncul sembari menenteng tasnya dengan ceria. Dara tampak berjalan setengah berlari dengan mengusung senyum hingga deretan giginya terlihat. Melihat raut sumringah Dara membuat Adi makin kocar-kacir.
"Duhhh jantungku mau rontok," ucap Adi mengusap dadaanya sendiri naik turun. Andai Dara sudah menjadi miliknya, pasti dadaa Dara yang akan dia usap.
Adi berpose sekeren mungkin agar nanti saat Dara melihatnya, Dara langsung kesemsem padanya. Namun, Dara malah melewatinya begitu saja membuat Adi segera memanggil gadis itu.
"Dara!" panggil Adi setengah berteriak. Dara menghentikan langkahnya dan menolehkan kepalanya.
"Ada apa, Pak?" tanya Dara melihat Adi. Dara memicingkan matanya saat melihat buket bunga yang dibawa Adi. Adi pun tampak lebih rapi dibandingkan tadi.
Adi berjalan dengan pelan sembari mendekati Dara, Dara pun menanti Adi untuk mendekat. Beberapa kamera paparazi pun mengarah ke dua orang itu serta menunggu dengan tidak sabar apa yang akan bosnya lakukan pada anak magang.
"Biar saya antar pulang," ucap Adi tanpa basa basi.
"Kenapa ngantar saya? Saya kan bawa sepeda ke sini," tanya Dara dengan bingung. Adi gelagapan, dia belum memikirkan jawaban dari pertanyaan ini dengan tepat.
"Ehhh … itu, sepeda kamu biar di sini, dan saya akan mengantar kamu pulang," ucap Adi setelah berpikir keras.
"Tidak perlu, saya bisa sendiri!" jawab Dara keukeuh.
"Nih saya kasih bunga, kalau kamu naik sepeda kamu gak akan bisa bawa bunganya," ucap Adi lagi menarik tangan Dara dan memberinya buket bunga.
"Ihhh saya gak mau bunga … saya mau pulang naik sepeda saja. Kalau bapak mau ngantar, antar saya naik sepeda!" ujar Dara yang membuat Adi memelototkan matanya. Sialann, Adi tidak bisa naik sepeda.
"Tapi saya kan gak punya sepeda. Saya hanya punya mobil," ujar Adi.
"Udahlah naik mobil, saya khawatir sama kamu. Biar aman damai sentosa, lebih baik memang pakai mobil," Kata Adi seraya menarik paksa tangan Dara. Dara memberontak, dia melepas cekalan tangan Adi dengan paksa.
"Kalau bapak khawatir, mending bapak antar saya pakai sepeda!" tegas Dara giliran menarik tangan Adi menuju parkiran sepeda dan sepeda motor. Saking kuatnya Dara menarik Adi, dia sampai tidak sadar sudah menjatuhkan note kecil yang tadi menggantung di buket.
Dara sampai di parkiran sepeda, "Itu sepeda saya warna pink. Ambil dan bonceng saya!" ujar Dara pada Adi.
Adi menunjuk dirinya sendiri mengisyaratkan 'Saya yang membonceng?' Dara menganggukkan kepalanya.
Adi menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, bagaimana mungkin dia membonceng Dara kalau dia sendiri tidak bisa naik sepeda.
"Bapak gak bisa naik sepeda?" tanya Dara yang tepat sasaran. Adi ingin menjawab bisa supaya terlihat keren, tapi kepalanya tidak bisa kompromi, kepalanya malah menggeleng tanda dia memang tidak bisa naik sepeda.
"Nih bawa buketnya, biar saya yang bonceng," ucap Dara memberikan buket bunga pada Adi.
Dara mengambil sebuah semprotan dinsifektan dari tasnya. Gadis itu memutari tubuh Adi dan menyemprotkan cairan dinsifektan itu pada bokoong Adi.
"Heh heh heh … kamu apa-apaan sih?" pekik Adi yang kaget saat Dara menyemprotnya selayaknya dia itu virus.
"Bapak mau naik di sepeda saya, jadi bapak harus disterilkan," jawab Dara masih menyemprot tubuh Adi.
"Kamu pikir saya virus?" tanya Adi dengan berteriak. Jelas saja harga dirinya terasa diinjak oleh Dara yang kurangajar.
"Kalau bukan kita yang taat protokol kesehatan, lalu siapa lagi? Ada atau tidak ada virus, gaya hidup harus tetap bersih. Sekarang ayo naik sepedanya!" ujar Dara dengan tegas.
Dara menaiki sepedanya dan menyuruh Adi untuk naik. Yang menjadi kebingungan Adi adalah, kalau dia yang dibonceng itu tandanya Dara yang mengantar dia.
"Gak apa-apa deh dibonceng Dara, sekalian modus pegang pinggang karena takut jatuh," ucap Adi yang naik di boncengan belakang.