Suasana menjadi hening dan tegang. Max Belanger terdiam dengan kedua matanya yang terbelalak memandang wajahku. Gadis batinku muncul dengan seringai di wajah. Ia melipat tangan di depan d**a, lalu meludah untuk lelaki di depanku.
Gotcha!
Kau pikir aku akan diam saja, ha?! Sungguh pun. Entah apakah dia sengaja atau memang dia tak secerdas yang aku pikirkan, tetapi ucapan Max Belanger sebelumnya secara tak sengaja memberikanku celah untuk bisa mengungkap siapa dia sebenarnya.
Dan aku berhasil.
Kuputar wajahku pada lelaki yang berdiri di samping Max Belanger. “Kang Minho,” Panggilanku membuat lelaki yang begitu kukagumi itu mendelik. Aku melihat wajahnya yang terkejut. Betapa pun, Kang Minho pasti tak menyangka bahwa pria yang dibawanya itu, pria yang tidak lain adalah anak dari Marthin Belanger adalah pria yang mencoba membunuh aku. Dan Kang MInho juga tahu bahwa aku tidak mengarang ceritaku. Semua itu semakin sempurna ketika Max Belanger tak berusaha menyangkal apa yang aku katakan.
“Kurasa kau harus memperingatkan pada pria ini tentang tata kerama. Tentang sopan santun dan tentang budaya bertanya. Well, entah apakah kita orang Asia yang terbiasa dengan norma-norma kehidupan sehingga kita tahu cara memperlakukan manusia sebagai manusia—“ Aku sengaja menjeda ucapanku hanya untuk memandang Max Belanger. Kutatap pria itu dengan pandangan tegas serta dengan tekanan napas yang kuentakkan dari d**a.
“Aku tidak ingin ini terkesan sebagai rasis, tetapi aku melihat beberapa orang Amerika mungkin tak mengerti lagi bagaimana caranya menggunakan tata kerama!”
Mataku mematri pandangan pada sepasang manik mata berwarna biru milik Max Belanger serta tatapan matanya yang bagaikan sedang melayangkan nyala api juga sebuah peringatan yang dipertegas dengan kedua sisi rahangnya juga embusan napas yang menggertak, tepat di depan wajahku.
Aku tidak takut. Aku bersumpah. Namun, aku dapat memastikan bahwa apa yang kualami saat ini adalah sebuah reaksi alamiah di mana bulu kudukku bangkit dan membuatku nyaris merinding. Namun, masih berdiri di sana sedikit keberanian yang membuatku memalingkan wajah.
“Ayo Yoshi!” Kutarik tangan Yoshi dan sambil mengarahkan pandangan sinis pada Max Belanger, aku pun melesat dari tempat itu.
“Jeez ... Dannys!”
Sekali lagi aku mendengkus ketika mendengar desisan Yoshi.
“What the hell just happened?!” Yoshi bertanya dengan nada yang dipenuhi rasa penasaran, sementara aku hanya bisa mengencangkan rahang dan terus memacu langkah.
Jantungku bertalu dengan kencang dan membuat kakiku melangkah dengan tekanan yang cepat. Berusaha sejauh mungkin untuk bisa hilang dari pandangan Max Belanger, karena aku yakin bahwa dia sedang memandangku dari tempatnya berdiri.
Bulu kudukku bangkit dan membuat tubuhku kembali merinding. “Aku juga tidak tahu, Yoshi! Aku hanya ingin pergi dari sini!” ucapku.
Insting membawaku pergi dan Yoshi pun hanya diam, seolah dia bisa merasakan ketakutan yang tengah aku rasakan. Aku berhasil membawa pergi diriku dari sebuah ancaman yang nyaris membunuhku. Dan ketika aku menyadari bahwa aku telah berada di halaman depan kampusku. Tempat yang ramai dan aku bisa menganggap diriku aman di sini.
“Dannys!” Yoshi mengentak kalimatnya sontak menghentikan langkahku.
Mataku terpejam dan aku menghela napas saat memutar tubuhku, menghadap Yoshi. Napasku berembus kasar dan panjang. Aku kembali mendelik, memandang Yoshi.
“Kau belum cerita padaku. Ada apa barusan?!”
Sama seperti Stacy beberapa menit yang lalu, wajah Yoshi juga tampak begitu tegang. Oh ya Tuhan! Yoshi menghawatirkan aku. Namun, aku masih dalam keadaan kalang kabut dan yang bisa kulakukan hanyalah memperbaiki napasku. Sekilas memalingkan wajah. Kubawa tanganku mengusap dahi hingga ke puncak kepala.
“Ada apa, Dannys. Dan... dan... apa yang kau katakan?! Pria tadi. Siapa dia?”
Sekali lagi kuentak napasku dari d**a. “Yoshi, demi Tuhan. Entah bagaimana aku harus menjelaskannya.” Tubuhku lemas. Aku mengusap wajahku dan membiarkan tubuhku terkulai lemas di lantai. Aku tak peduli apabila Max Belanger bisa menemukan aku di tempat ini. Pikiranku kacau dan jika ada pilihan yang bisa kuambil, aku ingin kembali ke Indonesia karena aku tahu mulai detik ini hidupku tak akan aman lagi.
Aku mendengar desahan napas panjang dan gusar dari Yoshi juga tekanan gravitasi yang membawa tubuh Yoshi tiba di depanku.
“Dannys, kumohon. Aku punya firasat, tetapi selagi kau ada di sini, aku ingin mendengarnya langsung darimu.”
Mataku mendelik ke atas, memandang Yoshi dan entah mengapa aku jadi terkekeh. Yoshi kembali mendengkus dan aku hanya bisa menggelengkan kepala dan memalingkan wajah. Sekali lagi kuusap dahi hingga rambutku.
“Dannys, for the God sake!”
“Ya, Yoshi. Firasatmu benar,” ucapku. Masih menelengkan wajahku ke samping, aku menggerakkan bola mata ke sudut. Memandang Yoshi dan aku melihat matanya mendelik, tampak terkejut.
“What ....” Yoshi bergumam dan aku mendecih halus. Sekali lagi kugelengkan kepala dan kuusap wajahku yang terasa dingin dan membesar. Kurasa Yoshi sudah tahu apa yang membuatku ketakuan.
“Ya, Yoshi. Dia pria yang kulihat semalam.” Ucapanku membuat mata sipit Yoshi menjadi besar. Melotot dengan wajah tercengang padaku.
“What?!” pekiknya sekali lagi dan aku kembali terkekeh sinis. Aku menggelengkan kepala dan menundukkan wajah.
“Ho—how come?!” Yoshi bertanya dengan suara gagap dan gemetar.
Kuangkat wajahku dan aku mengulum bibir, lantas membentuk senyum simpul. Aku menggelengkan kepala sambil mengedikkan kedua sisi bahuku.
“I don’t know,” jawabku sambil melayangkan kedua tangan ke udara. Napasku seolah tak bisa terembus dari hidung hingga aku perlu mengangakan mulutku dan sekali lagi mengentak napasku dari d**a.
Sejenak kami terdiam dan saat aku mendongak, aku melihat kedua sisi alis Yoshi melengkung ke tengah. Membuat lipatan di dahinya. Bola mata berwarna hitam itu bergerak ke sudut, tampak seperti sedang berpikir keras, lalu tiba-tiba saja Yoshi menoleh ke belakang seolah mendapatkan firasat dan dengan cepat dia kembali membawa pandangannya padaku.
“Dannys, apakah yang kau katakan tadi ....”
Aku kembali terkekeh. Bukan apa-apa, tetapi otakku seperti sudah terkoneksi dengan firasat Yoshi sehingga tanpa aku berucap pun, dia sudah tahu apa yang tak mampu kujelaskan lewat kata-kata.
“Ya, Yoshi.”
Mata Yoshi kian mendelik. “Holy s**t!” desisnya. Kemudian dia membawa tangannya ke bibir, menyumbat bibirnya. Seketika wajah Yoshi berubah pucat.
“Dannys, how come?!”
Aku hanya bisa diam. Menarik napas dalam-dalam, menahannya di d**a dan untuk ke sekian kalinya mengembuskan napas dalam desahan panjang.
“I don’t understand too. I mean, I have no idea!”
Kulihat Yoshi menelan saliva dan secara perlahan ia mulai memutar wajahnya. Lambat-lambat sampai bokongnya mendarat begitu saja di atas lantai bersamaku. Yoshi tampak syok. Reaksinya melebih ekspektasiku.
Napasku berembus kasar. Aku menyeret tubuhku ke samping dan menyandarkan punggungku ke pilar bangunan. Jika ada yang melihat kami, mungkin mereka akan mengira bahwa kami baru di drop out dari kampus. Wajah kami benar-benar tampak begitu mengenaskan.
Aku mencoba untuk tenang dengan menelan saliva dan mengatur napasku. Sebuah usaha yang membuat napasku bisa berembus normal dan aku siap menjelaskan apa yang terjadi pada Yoshi.
“Pria itu tiba-tiba masuk di jam pelajaran Ms. Robinson dan memperkenalkan dirinya sebagai mahasiswa pindahan dari NYU.”
Tiba-tiba Yoshi memutar wajahnya. Ekspresinya masih tak berubah, malahan matanya semakin membesar dan mendelik padaku. Yoshi terdiam kaku dengan pandangan horor.
“Saat aku melihatnya, aku meyakini bahwa dia adalah pria itu. Pria yang kulihat tadi malam. Dan kau tahu apa yang lebih mengejutkan dari semua itu?”
Yoshi dengan wajah tercengangnya lalu menggelengkan kepala dengan gerakan lambat, tak bertenaga.
Aku kembali mendengkus dan hatiku berkedut karena aku tahu bahwa apa yang akan aku katakan sebentar lagi akan semakin membuat Yoshi syok.
“Dia anak Marthin Belanger.”
“What?!” pekik Yoshi.
“Ya, Yoshi. Kamu bahkan belum dengar bagian terpentingnya bahwa dia mengejarku. Dia mengurungku di toilet dan berniat untuk menghabisi aku.”
“WHAT?!” Semakin lama, nada pekikkan Yoshi semakin meninggi.
“Ya, aku bersumpah.”
“No, Dannys!” sergah Yoshi sambil menggelengkan kepalanya. Dia begitu saja meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Sekali lagi Yoshi memandangku dan tatapannya tampak begitu menghawatirkan aku.
“Aku tidak peduli dengan siapa pria itu, tetapi bagaimana dirimu? I mean, ba— bagaimana kamu bisa kabur? Oh ya Tuhan!” Yoshi melempar punggungnya dan bersandar seperti aku. “Dannys, ini benar-benar tidak masuk akal. I mean, bagaimana bisa ada penjahat di lingkungan kampus. Dan lagi, bagaimana anak seorang Marthin Belanger ternyata seorang kriminal. Dan, dan, dan lagi. Astaga! Dia hampir membunuhmu!”
Mataku melebar dan aku mendongak sejenak lalu dengan cepat kembali memandang Yoshi. “Sssh!” Aku mendesis sambil meletakkan telunjuk di depan bibir. Yoshi kembali mendengkus.
“Oh, Dannys ... situasi ini membuatku ketakutan!” desisnya. Wanita itu kembali membanting punggungnya ke pilar.
“Yoshi, seperti inilah yang aku rasakan semalam.”
“Ya, aku tahu!” tandas Yoshi. Dia memandangku dengan tatapan tegas berselimut rasa takut yang laur biasa. “aku percaya padamu untuk itulah aku sangat ketakutan. Demi Tuhan! Dannys, jika dia anak Marthin Belanger ....” Yoshi tak dapat meneruskan ucapannya dan ia hanya bisa mendesah lirih. Wanita itu membenamkan wajahnya di depan telapak tangan yang terbuka.
“God!” desah Yoshi dengan nada bercampur geraman. Aku hanya bisa mendengkus sedari tadi. Entah apakah aku harus senang atau merasa sedih oleh karena aku berhasil membagi perasaan takutku pada Yoshi, tetapi melihatnya juga ketakutan seperti ini malah membuat hatiku berkedut.
“Look, Yoshi—“
“Dannys!”
Tiba-tiba saja Yoshi mendongak. “Kurasa mulai saat ini kamu harus hati-hati. Jika dia nekat membunuhmu di kampus, maka dia mungkin bisa melakukannya di tempat lain.”
DEG
Jantungku berkedut dan entah mengapa ucapan Yoshi seperti baru saja menyadarkan aku. Ke mana aku selama ini? Mengapa malah Yoshi yang terpikirkan hal demikian?
“Oh, seriously ... dia benar-benar orang yang berbahaya!”
Aku terdiam dengan pandangan mata yang tertuju pada Yoshi. Ya Tuhan, Yoshi benar. Aku masih belum aman sekarang.