Aku mendesah kasar dan selama beberapa detik, aku dan Yoshi terdiam dengan tubuh letih lesu. Tak ada satu pun yang ingin memulai pembicaraan. Sungguh pun, kami terhanyut oleh rasa takut yang luar biasa. Oleh kebenaran yang begitu menakutkan dan oleh pertanyaan tentang bagaimana aku setelah ini.
“Dannys!” Yoshi tiba-tiba bersuara setelah dia terdiam selama beberapa menit. Kulihat gadis itu menelan saliva. Sekilas ia menundukkan wajah. Kedua sisi alisnya melengkung ke tengah dan lipatan di dahinya memberitahu diriku bahwa Yoshi sedang berpikir keras saat ini.
“Oke!” Dia berbicara dengan nada mengentak. Yoshi pun mengangkat pandangannya. Sekali lagi dia menelan saliva. Sungguh pun, Yoshi tampak begitu gelisah. Bahkan ketika mata kami bertemu, dia hanya diam sampai akhirnya Yoshi memilih untuk mendengkus dan memalingkan wajahnya.
“Damn it!” desis Yoshi. Sekali lagi dia mengubur wajahnya di dalam telapak tangan yang terbuka. Yoshi mengusap wajahnya dengan kasar dan menggeram, “f**k!”
Aku terdiam dengan tubuh letih lesu. Seperti baru saja melakukan pekerjaan berat yang menguras bukan hanya tenagaku saja, tetapi juga pikiranku.
“Apa yang harus aku lakukan, Yosh?” Pertanyaanku membuat Yoshi kembali mendongakkan wajahnya. Kulihat ekspresi Yoshi tampak sendu. Seperti ingin menangis, tetapi Yoshi memilih untuk mendesah lirih.
“Entahlah, Dannys. Aku hanya takut dia berbuat jahat padamu.”
Kutarik napas dalam-dalam. Sesaat menahannya di d**a lalu mengembuskannya dengan entakkan kuat dan berat.
“Ya ...,” jawabku. Juga dengan desahan panjang. “dia pasti akan melakukannya.”
Yoshi kembali mendelik, memandangku dengan wajah terkejut. “Lalu bagaimana?!” tanya Yoshi dengan wajah panik. “maksudku, bagaimana kau akan menangani pria itu? Dannys! Dia berbahaya!” Yoshi memekik di ujung kalimatnya yang langsung membuatku mendesah dan menundukkan kepala.
Aku menelan saliva. Tersekat kental dan hanya mampu memaksa udara keluar lewat saluran pernapasan. “Aku tidak tahu,” jawabku dengan nada lirih. Sekali lagi Yoshi mendesah kasar. Kami berganti-gantian mendesah lirih sebab kami benar-benar dalam kebimbangan.
“Well, Dannys!” Yoshi tiba-tiba mendelik. Alisnya kembali melengkung ke tengah, bagai baru saja mendapatkan ide. Mulutnya menganga, Yoshi pun mengacungkan tangannya seperti hendak mengatakan sesuatu, tetapi aku tahu kalau dia sedang bergejolak dengan dirinya sendiri sehingga dia berkali-kali mendengkus.
“Kurasa kamu harus cerita pada Kang Minho.” Usulan Yoshi membuatku mendengkus.
“Aku sudah mencobanya, tapi kamu lihat sendiri. Max Belanger itu cerdik. Dia bisa langsung memengaruhi pikiran Kang Minho. Lagi pula sepertinya Kang Minho dan Max Belanger itu dekat. Bukankah ibunya Kang Minho masih memiliki hubungan darah dengan Max Belanger?”
Kulihat Yoshi mendelik. Matanya yang sipit kembali membesar juga kedua sisi alisnya yang kembali mendelik ke atas.
“Ya ampun!” desis Yoshi. Semakin lama, pandangan Yoshi semakin tampak putus asa. Dan sekali lagi kami mendesah bersama.
“Apa yang harus kulakukan, Yoshi?!” Aku mendengkus. Bergantian dengan apa yang dilakukan Yoshi semenit yang lalu. “aku benar-benar frustasi!”
Kudengar desahan napas setengah menggeram dari Yoshi. “Aku yang tidak mengalami kejadian itu juga merasa frustasi, Dannys, apalagi dengan dirimu. Jika jadi kau, aku juga akan kalang kabut,” ujar Yoshi.
Kuangkat wajahku sambil melakukan tarikan napas dalam-dalam. “Aku masih harus berada di kampus sampai sore nanti dan mungkin aku masih harus bertemu dengannya.”
“Dannys!” Panggilan Yoshi yang mengentak itu kembali membuatku mendelik, memandangnya. “aku tahu apa yang harus kau lakukan.” Ucapan Yoshi membuatku mengerutkan dahi.
“Kuharap itu ide yang bagus, Yosh.”
Sekilas Yoshi memejamkan mata dan mengisi paru-parunya dengan udara. Kemudian wanita itu mendesah kasar dan kembali membuka matanya, memandang aku. “Stacy!” Keningku lalu mengerut ketika Yoshi tiba-tiba saja menyebutkan nama itu.
“Stacy?” Aku mengulangnya dan Yoshi mengangguk dengan sangat yakin.
“Stacy,” ucap Yoshi sekali lagi. Dia menyeret tubuhnya dekat denganku dan berbicara sambil memegang tanganku. “kau tidak boleh jauh-jauh dengan dia. Well, Dannys, kamu sendiri yang bilang kalau pria itu menarikmu saat kamu berjalan sendiri, bukan?”
“Hem!”
“Kalau begitu kamu bisa berlindung pada Stacy, I mean, kamu tidak perlu menceritakan apa pun pada Stacy. Kamu hanya perlu memastikan bahwa kamu akan baik-baik saja. Jangan pernah biarkan dirimu sendirian. Mungkin setelah ini dia akan terus mengawasimu, jadi jika dia punya kesempatan, dia pasti akan langsung menangkapmu.”
Ucapan Yoshi seketika membuat dadaku memberat. “Ya Tuhan ... Yoshi, kamu membuatku ketakutan.”
“Dannys, aku hanya ingin kamu selamat. Jika benar bahwa murid pindahan itu adalah anggota geng itu, maka kamu pasti akan menjadi incaran mereka. Dan aku sudah memberitahukan dirimu bahwa aku mendengar rumor jika belakangan ini ada kasus para gadis yang tiba-tiba kehilangan virgin mereka tanpa tahu penyebabnya.”
Sekali lagi aku mendengkus. “You scared the hell are me!” gumamku. Kepalaku berkedut-kedut nyeri sehingga membuatku perlu meremas dahiku dan memijatnya perlahan.
“Dannys, aku tidak ingin menakut-nakutimu. Justru akulah yang ketakutan. Sial! dia bisa saja mendatangi aku juga, tetapi lebih daripada itu, firasatku berkata bahwa mereka akan mengincarmu.”
Aku mendelik dan mengangkat wajahku, kembali memandang Yoshi. “Mereka?” gumamku.
Yoshi sekali lagi mendengkus. “Ya, mereka. Kau bilang mereka ada banyak, kan? Kamu sudah melihat salah satu dari mereka dan dia tidak lain adalah anak pengusaha. Kau tahu bagaimana orang kaya bisa seenaknya melakukan apa pun karena mereka akan mendapatkan perlindungan hukum.”
“Oh my God ....” Kuusap wajahku dengan kasar dan menggeram di sana. “ucapanmu semakin membuatku takut, Yoshi.”
“Untuk itulah kamu harus berbaur dengan yang lain. Aku yakin dia tak akan berani menyerangmu,” ujar Yoshi.
Aku terdiam selama beberapa detik. Apa yang dikatakan Yoshi memang benar. Aku akan aman saat di kampus. Namun, kemudian aku mendelik. Sekali lagi memandang Yoshi dengan mata terbelalak.
“Bagaimana saat pulang nanti?”
Yoshi kembali mendengkus untuk ke sekian kalinya. “Well, kamu bisa meminta Kang Minho mengantarmu atau Stacy, atau siapa pun. Kita bisa bertemu di asrama,” ujar Yoshi. “jujur saja, aku jadi takut ke mana-mana setelah mendengar ceritamu.” Lanjutnya.
Untuk ke sekian kalinya aku hanya bisa mendengkus. “Hem,” gumamku.
Aku mengangguk lalu bangkit dari lantai yang sedari tadi menjadi tempat kami berbincang. Ketika aku menoleh jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kananku, aku pun sadar bahwa aku baru saja melewatkan jam makan siang dan sebentar lagi kelas Prof. Ansel akan dimulai.
“Sial!” Desisanku mengundang perhatian dari Yoshi.
“You okay?”
Aku memandangnya lalu mendengkus dan menggelengkan kepala. “Not at all, but I’ll try to make myself okay. Don’t worry.” Aku mengangguk sekali lagi mendengkus dan kali ini aku memaksa sebaris senyum di wajahku.
Memandang Yoshi, dan aku berpikir aku perlu membuatnya tenang. Maka aku mengedikkan kepalaku ke samping sambil menarik setengah bahu ke atas.
“Aku harus kuat, bukan?”
Entah sudah berapa kali aku mendengar desahan napas panjang dari Yoshi, tetapi aku juga tahu kalau dia sangat menghawatirkan aku. Gadis itu mendekat dan lalu memeluk tubuhku.
“Be safe, Dannys,” gumam Yoshi dan memberikan tepukan pada bahuku.
Sesaat aku terdiam. Sekali pun keinginanku untuk menggelengkan kepala, tetapi aku sadar sepenuhnya bahwa satu-satunya jalan yang bisa kuambil adalah dengan menganggukkan kepala.
“Ya, itu sudah pasti.” Ucapanku membuat Yoshi menarik dirinya. Temanku dari Jepang ini memberikan senyum simpul di wajah. Yoshi pun menganggukkan kepalanya.
“I gotta go.”
“Oh ya!” Aku mendelik dan mengulurkan tangan. “tentu.” Lanjutku, tetapi Yoshi malah terdiam di depanku. Wajahnya terlihat sangat sendu ketika memandangku.
“Dannys, berjanjilah bahwa kau akan baik-baik saja.”
Hatiku berkedut ketakutan, tetapi aku malah terkekeh. Menikmati gelak tawa ini dan Yoshi mungkin tahu bahwa aku memerlukannya. Aku tegang dan nyaris sinting, tetapi aku juga tahu bahwa kehidupanku tak akan berhenti begitu saja hanya karena kehadiran Max Belanger. Maka aku menganggukkan kepala.
“Tentu!” jawabku. “I mean, aku akan mencobanya.” Kututup ucapanku dengan gelak tawa dan Yoshi kembali menyunggingkan senyum simpulnya.
“Kemari,” kata Yoshi, menyuruhku mendekat.
Senyumku lenyap. Aku mendekat dan merebahkan tubuhku di depan tubuh Yoshi. “Kau akan baik-baik saja. Tenanglah ... selesaikan kuliahmu dan kita akan kembali bertemu di asrama untuk memikirkan langkah selanjutnya. Hem?”
Mataku terpejam. Sekali lagi kuambil napas dalam-dalam dan berkata pada diri sendiri bahwa aku memang harus kuat.
“Ya,” jawabku dengan nada desahan.
Yoshi kembali melepas pelukan dan saat itu pula dia berbalik. “I gotta go. See you later.” Dan aku pun hanya bisa mengangguk, menyaksikan kepergian Yoshi yang perlahan pergi meninggalkan diriku.
“Ha ....”
Setelah mengembuskan napas panjang, aku pun mengambil langkah. Jantungku kembali berkedut aneh dan naluri menangkap bahaya hingga secara alamiah mataku bergerak-gerak mencari seseorang dan aku memohon di dalam hati supaya aku jangan sampai bertemu dengan Max Belanger.
“Dannys!”
Langkahku terhenti dan aku tersentak. Kuputar wajah, memandang seseorang yang baru saja datang dan mengagetkan aku.
“s**t! Meghan, you scared the hell are me!” desisku.
Gadis brunett di depanku malah terkikik. “Aku melihatmu dari jauh. Kau terlihat seperti pencuri dengan gaya mengendap-endap seperti itu,” ujar Meghan dan aku hanya bisa mendengkus, menyahutnya.
“But, by the way, kamu mau ke kelas Prof. Ansel?”
Aku mengangguk. “Hem,” gumamku.
“Oke, kalau begitu ayo pergi bersama,” kata Meghan sambil melingkari sebelah lenganku dengan gerakan ringan. Aku terdiam dan mengikuti dirinya sampai di perempatan menuju aula kelas Prof. Ansel, langkahku lalu terhenti ketika melihat seorang lelaki.
“MAXI!”
DEG
Mataku membulat dan sontak pandanganku terlempar ke samping. Aku melihat senyum Meghan yang melebar semringah di wajahnya. Wanita itu melambaikan tangan dan begitu saja melepaskan tanganku.
Wajahku bergerak lambat-lambat mengikuti arah langkah Meghan yang berlari dengan cepat menghampiri lelaki yang berdiri tak jauh di depanku.
“MAXI!”
Aku mendengar suara Meghan memekik, tetapi pandanganku masih berada di bawah dan saat aku mendongakkan wajah, mataku langsung bertemu sepasang iris biru menakutkan. Dia mengunci tatapannya padaku dan menarik satu sudut bibirnya ke atas membentuk seringai licik.
“Maxi, kamu dari mana saja, hem? Aku menunggumu seharian ini.”
Lelaki itu bergeming lalu berpaling. Seketika membuat udara yang tertahan di dadaku lalu menguar keluar dengan tekanan kuat dan cepat. Memburu dan brutal.
“Sorry, baby. Ada sedikit masalah yang harus kuselesaikan.”
“Ah... kamu memang paling bisa mencari-cari alasan.”
Tubuhku terdiam kaku dengan d**a yang memberat dan napas yang tersekat, akan tetapi entah apa yang membuat mataku malah bergulir ke sudut dan sekali lagi membawa pandanganku padanya.
Max Belanger. Entah dari mana pria itu muncul dan sekarang dia kembali mengejutkan aku dengan kedekatannya bersama Meghan.
“Kau mau ikut kelas Prof. Ansel?” Pertanyaan Meghan membuat Max bergeming.
Aku tidak tahu apakah Meghan kekasihnya atau bukan, tetapi dari gerak-gerik mereka, aku sangat meyakini bahwa mereka sedang berkencan. Kulihat satu sudut bibir Max terangkat. Aku masih berharap dia akan menggelengkan kepala dan menjawab tidak, tetapi kemudian kulihat pria itu menganggukkan kepalanya.
“Tentu.”
“Oh!” Meghan memekik penuh kemenangan. Dia bahkan tak ragu memeluk pria itu. “aku sangat senang!” Meghan melompat-lompat penuh kegirangan sedangkan aku sendiri tertegun dengan sejuta perasaan takut.
Tamatlah riwayatku.