16. Finally I Find The Way

1340 Words
Aku tertegun dengan kedua mata terbelalak dan dengan jantung yang berhenti berdetak. Aku tak dapat bernapas selama beberapa detik dan tubuhku membeku dari ujung kaki hingga kepala. Tembok-tembok di sekelilingku bagai mendekat secara perlahan, mempersempit pandanganku dan membuat fokusku tertuju hanya kepada dia. Si pemilik iris biru dengan kilat mengerikan dan senyum licik yang mengembang di wajahnya. Mencoba untuk berpaling, aku mendapati nafasku berembus kacau dan brutal. Dadaku naik turun dan gemetar sementara kepalaku berkedut-kedut dengan rasa nyeri. ‘Don’t do that, please....’ ‘let me go, please....’ “Akh!” Aku menggeram ketika kepalaku seperti dihantam sesuatu yang kuat. Kepalaku berdengung pening dan untuk sesaat aku merasakan jantungku membesar seperti ingin meledak. Mulutku menganga dan aku hanya bisa menggeram sebagai usahaku untuk membuat napasku kembali berembus. Namun, sejujurnya aku nyaris sekarat. Oksigen di sekelilingku menipis secara perlahan dan betapa pun kuatnya usahaku untuk menyingkirkan rasa takut, aneh dan sakit ini aku semakin tak bisa melakukannya. Tidak, Dannys! Kau tidak bisa seperti ini! Batinku datang dan menegur. Menyuruhku untuk membuka mata dan lantas memandang dunia, tetapi ketika aku membuka mata, yang kulihat hanyalah sebuah cahaya terang yang langsung menyilaukan mataku. “Aaargh ....” Aku mendengar suaraku menggema di kepala. Semakin lama, suara berdengung itu semakin terdengar mengerikan. Aku merasa kepala dan jantungku kian membesar dan semakin membesar. Setiap tekanan yang kuterima menghantam dadaku dan membuat leherku seperti dicekik dengan kuat. Aku berusaha untuk mendelik dan kudapati mulutku menganga. Semakin lama semakin terasa sesak hingga rasanya aku tak bisa tahan lagi. Aku tak mengerti ada apa denganku. Sekali lagi aku terjebak dalam kubangan ketakutan yang membuatku sulit untuk bangkit. Namun, sekalipun dalam keadaan mencekam seperti ini, aku masih tak mengerti ada apa dengan diriku yang memilih untuk memalingkan wajah dan sekali lagi memandang lelaki itu. Dia masih di sana. Bertahan dengan pandangan penuh intimidasi serta dengan sudut bibirnya yang masih terangkat, memperlihatkan senyum licik. Aku tidak percaya jika ada manusia seperti dirinya. Manusia yang bisa membunuhku tanpa menyentuh diriku dan dia sedang melakukannya. Sekarang. Dahiku berkedut serta bayangan di depanku yang berputar dan serasa ada bebatuan besar yang baru saja jatuh dan tertimbun tepat di atas kepalaku lantas membuat pandanganku memburam. “Dannys!” Aku mendengar suara seseorang yang familier di telingaku, tetapi aku sudah tak memiliki kekuatan lagi. Tubuhku terasa berat dan aku sama sekali tak bertenaga. Kepalaku kian berdengung dan serasa diremas dengan kuat, tetapi aku sudah tak tahu lagi di mana diriku berada. “Dannys!” Suara itu menggema dalam benakku dan menjadi hal terakhir yang aku ingat sebelum aku benar-benar kehilangan kesadaranku. Sepenuhnya. *** “Bagaimana itu sampai terjadi?” “Aku juga tidak tahu. Aku kebetulan lewat di sana setelah pertemuan di kantor pusat, lalu tiba-tiba saja kulihat Dannys terdiam dengan tubuh membungkuk. Meghan, kau yang ada di sana. Apa yang terjadi sebenarnya?” “What?! Mengapa kalian menyalahkan aku?! Aku tidak tahu apa-apa?!” Samar-samar aku mendengar suara beberapa orang. Dan aku mengenal mereka semua. Minho, Stacy, Meghan. “Ck! Well, aku memang ada di sana. Aku berpapasan dengan Dannys dan kami berjalan bersama ke kelas, tapi aku tidak tahu apa yang terjadi padanya. Dia tiba-tiba pingsan dan itu mengerikan!” Itu Meghan. Aku mengenali suaranya, tetapi aku masih tak tahu di mana aku berada. Tubuhku seperti melayang ke udara dengan tekanan yang berat tepat di puncak kepalaku. Perlahan namun pasti, kesadaranku mulai terkumpul. Kelopak mataku berkedut sebelum memperlihatkan situasi di sekelilingku. “Sial! Di mana para perawat itu.” “Entahlah. Well, Minho, kurasa kami sudah tidak memiliki urusan di sini. Come on baby, we gotta go.” Walaupun rasanya susah, tetapi aku berusaha sekuat tenaga. Membuka mataku dan ketika berhasil melakukannya, aku pun mengernyit. “Sshh ....” “Dannys!” Aku mendengar suara Minho. Dia pasti mendengar desisanku. Kurasakan sekelebat angin bertiup hingga ke wajahku dan merasakan presensi seseorang di sampingku. “Dannys, ya Tuhan! Apa yang terjadi?!” Kang Minho bertanya dengan desahan napas kasar penuh kekhawatiran. Kepalaku kian berkedut pening seiring dengan kesadaran yang semakin lama, semakin terkumpul. Sekali lagi aku mengerang rendah dan membawa tanganku meremas dahi. Kepalaku serasa ingin pecah, tetapi otakku masih berusaha mengumpulkan setiap kepingan memori yang membawaku pada kondisi ini. “Babe?” Kudengar suara Meghan dan seketika otakku memberikan visualisasi pada siapa Meghan menujukan panggilan tadi. “Come on, we gotta go,” ucap Meghan sekali lagi. Detak jantungku kembali dengan tekanan cepat dan berkedut-kedut. Seolah naluriku telah lebih dulu menangkap sesuatu yang berbahaya yang kemudian membuat kelopak mataku terbuka begitu saja. “Maxi!” DEG Aku mendengar tekanan kuat di d**a yang menghentikan sejenak detak jantungku, tetapi sesaat kemudian datang dengan tekanan kuat dan bertubi-tubi. Refleks, aku pun menggulirkan mataku ke bawah, seketika mendapati seseorang dengan pandangan membunuh itu tengah memandang diriku. Ya Tuhan! Sekarang aku ingat. Dia adalah pria itu. Pria yang menciptakan ilusi menakutkan yang membuatku kehilangan kontrol. Setiap kali memandangnya, pria itu seperti ingin berkata bahwa aku tak bisa lepas lagi darinya. Bahwa mulai malam itu dia telah menandai diriku. Matanya menekuk tatapan padaku tanpa berkedip sekalipun dan suasana di sekelilingku langsung berubah mencekam. “Maxi!” Panggilan Meghan membuatku mendelik. Sejenak kutatap wajah Meghan yang tengah mengarahkan pandangannya pada lelaki yang sejak tadi dipanggilnya Maxi itu. “Dannys?” Kemudian suara Kang Minho membuatku kembali berpaling. Aku menoleh ke samping kiri, seketika menyadari kehadiran lelaki itu. Kang Minho duduk di sampingku dengan kedua sisi alisnya yang melengkung ke tengah dan dahi yang terlipat memandang diriku. “Dannys, are you okay?” Dia bertanya sekalipun mungkin dia tahu apa jawaban yang hendak kuberikan. “No!” kujawab dengan gumaman. Sekali lagi kuarahkan pandanganku pada lelaki bernama Max Belanger yang telah meneror seisi alam semesta milikku dan membuatku ketakutan setengah mati. “Maxi!” Dan akhirnya pria itu memalingkan wajahnya setelah Meghan mengentak panggilannya tepat di depan telinga Max Belanger. Kulihat kedua sisi rahang lelaki itu mengencang saat ia memandang Meghan dan entah keberanian dari mana yang dimiliki oleh Meghan sehingga dia tampak tak gentar sedikit pun oleh tatapan itu. “Bisa kita pergi sekarang?” Aku masih mendengar suara Meghan dan kebodohan apa yang aku miliki sehingga aku terus mematri tatapan pada mereka. Sepasang bola mata biru itu seperti memiliki kekuatan magis dan magnet yang terus menarik atensiku padanya. Sekalipun demikian, aku juga harus rela dibuat ketakutan. Desahan napas panjang yang berembus itu menerpa kulit wajahku bersama gerakan tubuh Max Belanger yang memutar menghadap Meghan sebelum kemudian melangkah pergi, meninggalkan tempat itu. Kupejamkan mataku dan membiarkan desahan napas berembus keluar, melonggarkan paru-paruku yang terasa sesak selama memandang wajah Max Belanger. “Dannys?” Aku kembali mendelik. Ya Tuhan, bagaimana bisa aku melupakan Kang Minho. Tunggu dulu! Tubuhku seolah merespon apa yang baru saja terlintas di otakku dan membuatku bertenaga untuk dapat mendorong punggungku dari tempat bersandar. “Dannys!” Kang Minho memekik dan matanya tampak mendelik. “I have to tell you something!” Segera sesudah mendengarkan ucapanku, Kang Minho pun mendelik, memandang diriku. Matanya terbelalak dan kedua sisi alisnya melengkung ke tengah. Sekarang tinggal aku dan Kang Minho. Kuharap dia mau mendengar apa yang akan kukatakan saat ini. “Ya, Dannys, aku ingin mendengarkannya.” Sekarang giliranku yang mengerutkan dahi. Ada satu siratan dalam ucapan Kang Minho yang kemudian memberiku peluang sekaligus pertanyaan. Apakah yang kami pikirkan sama? Kang Minho mendengkus. Sekilas pria itu menelengkan wajahnya ke samping, lalu kembali memandangku dengan wajah yang berubah serius. “Aku ingin mendengar semuanya, Dannys. Apa pun yang ingin kamu katakan.” Sekali lagi Kang Minho mendengkus dan tiba-tiba wajahnya berubah sendu. Pria itu kembali berpaling sesaat dan mendesah berat untuk ke sekian kalinya sebelum kembali mendongak, memandang aku. “Maaf, aku terkesan mengabaikanmu. Sepanjang hari aku memikirkan perkataanmu. Kamu pergi begitu saja dan aku harus melakukan beberapa urusan, tetapi pikiranku terus memikirkan hal itu, Dannys. Apa yang terjadi?” Kulihat Kang Minho menelan saliva, sebelum dia melanjutkan, “antara kamu dan Maximus.” Mataku mendelik secara naluriah. Sekarang Kang Minho memperjelas maksudnya dan di sinilah aku yakin bahwa dia akan percaya pada apa yang sebentar lagi akan aku katakan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD