7. I'm in A Big Trouble

2146 Words
“HEI!” Supir taksi menjulurkan kepalanya ke luar jendela dan dia berteriak sambil menunjuk diriku yang sedang memeluk kap mobilnya. “MAU MATI, HAH!” Aku tidak peduli dengan teriakannya. Aku juga tidak menyangka jika aku bisa nekat menghadang mobil dengan tubuhku sendiri. Ketakutan yang besar mendorong adrenalin, membuatku bertindak nekat. Untung saja si sopir menginjak rem di waktu yang tepat. Sambil menghela napas, aku menyeret kedua kakiku. Berpindah dari depan mobil lalu berlari ke belakang dan aku langsung masuk ke dalam taksi. “Jalan!” “Hei, ka-“ “Kubilang jalan!” bentakku. Kulihat pria di depanku mendengkus. Well, aku sangat kurang ajar tadi, tapi aku benar-benar sangat takut. Beberapa orang yang berdiri dekat halte tampak menatap mobil ini sambil menggelengkan kepala. Decitan ban yang menggema semenit yang lalu memang cukup menarik atensi. Namun, aku sangat bersyukur. Ya, tadi itu tindakan bodoh. Bagaimana kalau dia tidak menginjak rem? Mungkin tubuhku sudah terpental dan besok namaku akan tercetak di halaman depan koran pagi sebagai korban kecelakaan lalu lintas. Peluh bercucuran dari dahi hingga seantero tubuhku. Aku mengusap wajah dengan kedua tangan lalu kubanting punggungku ke belakang. Aku mendesah panjang lalu mengusap d**a. Refleks, aku pun memutar pandangan ke luar jendela. Entah di mana dua orang itu menghilang. Mereka tak ada lagi di sana. “Nona, aku tahu beban hidup berat, tapi kau tak seharusnya bunuh diri.” Aku mengerutkan kening. Masih memegang dadaku, dan jantungku masih berdetak kencang, tapi tatapan pria di depanku sedikit mengintimidasi. Bunuh diri katanya? Oh, ya. Memang aku hampir bunuh diri jika saja dia tidak menginjak rem, tapi aku sungguh tidak ingin mati seperti itu. Mati konyol namanya. Tidak. Mulutku terbuka. “Maaf,” gumamku. Aku menundukkan kepala. Menatap jari-jariku yang masih bergetar. Ya Tuhan, apa yang barusan kulihat? Aku menggoyangkan kepala. Berusaha untuk melupakan si gadis. Katakan saja aku pengecut. Ya, aku ini memang pengecut. Lalu kenapa? Aku juga tidak sebodoh itu mengorbankan diriku sendiri demi menyelamatkan orang lain. Tidak. Aku masih muda dan perjalananku masih panjang. Tak bisa kubayangkan bagaimana jika dua orang pria itu menangkapku. Lalu mereka … oh, astaga! Aku langsung memutar pandanganku ke belakang untuk memastikan jika mereka benar-benar telah pergi. Akan merepotkan jika dua orang itu masih mengejarku. Aku mengembuskan napas panjang dari mulut saat tak mendengar tanda-tanda raungan motor atau lampu kendaraan roda dua. Syukurlah. Aku kembali memutar tubuh pada posisi semula. Kusandarkan punggung ke belakang lalu kubuang napas panjang sekali lagi. Aku menutup mata sambil terus mengusap dadaku dengan lembut. ‘Tenang, Dannys. Semua sudah berlalu. Kau selamat.’ “Kau mau ke mana, Nona?” Aku kembali membuka mata. Berdehem dulu lalu menelan ludah. “Amora Smith Residence Hall,” kataku. Tak ada jawaban darinya dan aku memilih untuk duduk tenang. Namun, pikiranku masih berkecamuk. Sejujurnya, aku terbebani dengan tidak menolong gadis itu. Tak tahu juga apa yang telah terjadi padanya. Mungkin tujuh orang pria itu akan melecehkannya secara bergantian lalu membunuhya. Oh, ya Tuhan. Aku hanya bisa menggoyangkan kepala sambil menggigit bibirku sendiri. 'Maaf, aku tidak seberani itu. Maaf, karena aku masih ingin menjalani masa mudaku. Maaf, karena aku hanya seorang manusia dan sisi egoisku cukup mendominasi.' “Hah ….” Sekali lagi kubuang napas panjang dan berharap jika gadis itu akan baik-baik saja, atau … setidaknya dia selamat. *** Hampir setengah jam berada dalam taksi dan akhirnya aku sampai di depan flat. Aku merogoh beberapa lembar dolar untuk membayar ongkos taksi setelah itu aku bergegas masuk. Kepalaku mendadak pening dan dadaku masih agak nyeri. Aku harus mengerjap berulang kali untuk membuat pandanganku fokus. Kaosku basah oleh keringat. Aku bergegas menuju ke kamar. Setibanya di kamar, aku langsung melempar tote bag ke ranjang. Kulihat Yoshi sedang asik menonton film anime. Aku memilih untuk tidak menegurnya dan langsung menuju ke kamar mandi. Ini sudah larut, tapi aku butuh sesuatu untuk menghilangkan pening di kepala, jadi aku memilih untuk mandi air hangat. Setelah menanggalkan pakaian, aku berjalan menuju shower dan membiarkan air hangat mengguyur tubuhku. Aku bertahan di sana selama beberapa lama sambil menutup mataku. ‘Help, please. Ahh ….’ ‘Jangan lakukan itu padaku.’ ‘Ssshhh … diam dan nikmati saja. Kau pasti akan menyukainya, okay.’ Mulutku terbuka dan refleks aku menjauh dari shower. Tiba-tiba jantungku berdetak kencang dan kepalaku membesar seperti balon. Aku bergidik memeluk tubuhku. Kuputar wajah. Tak ada siapa-siapa, tapi aku sangat takut. Bahkan napasku ikut bergemuruh membuat dadaku naik turun. Seketika aku menjadi gamang. Debar-debar di dadaku makin menggila membuatku bergegas meraih bathrobes dan aku melesat keluar dari kamar mandi. “Dannys?” Aku tersentak saat mendengar suara Yoshi. “Y- ya.” Mulutku bergetar dan demi Tuhan, aku tidak tahu ketakutan seperti apa yang membuatku sampai seperti ini. “You okay?” tanya Yoshi dengan kening yang mengerut. Aku menelan ludah. Satu-satunya yang bisa kulakukan saat ini adalah menundukkan kepala sambil mengingatkan diriku sendiri untuk terus bernapas. Kudengar suara kursi yang didorong. Sejurus kemudian kurasakan sentuhan lembut di lenganku. “Dannys,” panggil Yoshi lagi. Aku mendongak dan kupaksakan agar wajahku membentuk senyum walau kuyakin terlihat sendu. “Y-ya. Ak-aku ... baik-baik saja. Ehem!” Aku berpaling lalu bergegas menuju lemari pakaian. Dari pantulan cermin, aku melihat Yoshi sedang bersedekap sambil menyandarkan tubuhnya di meja belajar. “Wajahmu pucat, Dannys. Ada apa?” tanya Yoshi. Aku menghela napas lalu membuangnya dengan cepat. Ini kali pertama dia peduli padaku. Bergegas aku memakai piama lalu menggantung bathrobes di samping lemari. Aku mendesah saat kubawa tubuhku duduk di atas ranjang. “Aku-” “Hold up!” sergah Yoshi. Aku mengerutkan kening. “Kita akan bicara sambil minum kopi. Sepertinya kau butuh itu.” Keningku mengerut. Ada apa dengan Yoshi hari ini. Gadis Jepang itu tak biasa memberikan perhatian lebih padaku. Dia bahkan bersedia membuatkan kopi untukku. Well, sejauh ini gadis itu terlalu sibuk dengan anime. Belajar dan kadang dia main musik. Sering kali dia tidak peduli dengan keberadaanku. Namun, malam ini Yoshi bertindak di luar kebiasaan, tapi aku tetap akan menghargainya. “Ini, minumlah.” Aku meraih gelas porselen berwarna hitam di tangan Yoshi. “Thanks,” ucapku. Oh, demi apa pun. Kopi selalu bisa mengembalikan suasana hati. Aku seorang penggila kopi. Aku menutup mata, menikmati aroma kopi yang menguar dari dalam cangkir dan berharap aromanya bisa mengantar ketenangan untukku. “Jadi, ceritakan padaku, Dannys.” Aku membuka mata dan menghela napas sampai kedua pangkal bahuku ikut terangkat kemudian aku melepaskan napasku dari mulut. “Aku melihat kejadian menakutkan.” “Really?” Seketika kelopak mata Yoshi melebar. Gadis itu menarik tubuhnya yang bersandar di dinding lalu menghampiri aku dan duduk di sampingku. “Di mana?” tanya Yoshi penasaran. Aku kembali mendesah. Mendadak dadaku nyeri. Well, aku jadi merasa bersalah lagi. Aku pun menundukkan kepala. Menatap cairan berwarna putih yang menutupi kenikmatan di bawahnya. Ah, sial. Aku perlu kopi untuk membasahi tenggorokanku. Aku menyesap minumanku. Membiarkan Yoshi menunggu dengan wajah penasaran. “Dannys!” Akhirnya dia tak sabaran. Kuputar tubuhku menghadap Yoshi. Aku membawa kedua kakiku di atas ranjang lalu menyilangkannya. “Di dekat tempat kerjaku. Ada taman yang … entahlah, aku tidak tahu apakah itu taman atau sekadar lahan kosong. Yang jelas ada lima kotak kargo berkarat di sana.” “Di mana itu?” tanya Yoshi lagi. Wajahnya berubah serius. Oh, aku belum memberitahu padanya. “Dells Baraboo. Aku bekerja di salah satu restoran Asia.” “Sejak kapan?” “Seminggu yang lalu.” “Lalu?” Aku kembali menghela napas dan menyesap minumanku. Well, butuh kekuatan untuk menceritakan semua ini. “Aku melihat seorang gadis dilecehkan oleh tujuh orang pria.” “Holy s**t!” Yoshi membawa satu tangannya menutup mulutnya yang menganga. Mata sipitnya kembali membesar. Dia diam. Seolah sedang membayangkan bagaimana situasinya saat itu. Perlahan, wajah Yoshi kembali bergerak dan iris hitamnya kembali menghampiriku. “And then?” “Aku melihatnya, tapi aku tidak tahu harus berbuat apa. Lalu kuputuskan untuk lari dari sana.” “Damn it, Dannys!” Kudengar Yoshi mendengkus. Dia menggelengkan kepala. “Aku juga akan lari kalau terjebak situasi seperti itu.” Seketika aku merasa lega. Gadis batinku muncul sambil mengusap dadanya. Well, ternyata manusia mana pun yang berada di situasi mengerikan seperti yang kualami akan memilih jalan aman dan memang melarikan diri adalah jalan keluar terbaik. Aku tidak perlu merasa bersalah. “Apa ada yang melihatmu, Dannys?” Yoshi kembali bertanya. “Hem,” gumamku sambil menganggukkan kepala. “Dua orang mengejarku dengan motor.” Yoshi kembali membulatkan mulut dan melebarkan matanya. “s**t!” umpatnya lagi. Aku hanya bisa tersenyum sendu sambil memeluk kedua kakiku. “Hampir saja aku tertabrak taksi saat berusaha kabur dari mereka. Untung saja si sopir menginjak rem tepat waktu. Kalau tidak ….” Aku menggeleng. Kudengar desahan napas panjang dari Yoshi. Aku tidak menyangka jika dirinya bisa merasakan apa yang saat ini aku rasakan. Aku masih menunduk lalu kurasakan tangan Yoshi mengusap lenganku. Lantas aku mendongak. “Kau sangat berani, Dannys.” Aku mengulum bibir membentuk senyum simpul. “Tidak juga. Jika aku berani, maka aku akan pergi ke sana dan menolong gadis itu.” Yoshi kembali mendesah. “Kadang kala ada sesuatu yang tidak bisa kita jangkau, Dannys. Mungkin jika kau nekat, kau malah akan berakhir seperti dia. Lagi pula mereka lelaki dan katamu mereka juga banyak, kan?” Aku mengangguk. “Kalau begitu keputusanmu tepat. Kau tidak bisa menolong orang lain jika ujung-ujungnya kamu malah mengorbankan dirimu. Well, kadang itu memang terlihat dan terdengar egois. Namun, Dannys, berpikirlah sejenak. Adakah manusia yang mau saja pergi ke kandang singa lapar?” Aku terdiam sejenak. Membiarkan mataku bergulir ke bawah, memandangi kopi pemberian Dannys. Kutarik napas dalam-dalam kemudian menggelengkan kepala. “Hem!” Aku bergumam singkat dan Dannys membalasnya dengan desahan napas panjang. “Kalau begitu kau tidak perlu merasa terbebani,” kata Yoshi. Aku melihatnya berpaling, tepat saat aku mendongakkan wajah. Namun, tak lama setelah itu, Yoshi kembali memutar wajahnya memandangku. Gadis itu tersenyum sendu sambil menepuk pundakku sebanyak tiga kali. Dengan sangat lembut. “It’s okay, Dannys. Kamu sama sekali tidak salah. Secara psikologis, nalurilah yang membuatmu berlari dari tempat itu. Manusia punya naluri dan insting sebagai pertahanan paling pertama untuk menangkap bahaya. Mereka bertindak sepuluh kali lebih cepat dari otak. Ketika insting menangkap bahaya, maka dialah yang akan memerintah tubuhmu. Ialah yang membawamu pergi, Dannys, jadi kamu tidak perlu merasa bersalah terus-terusan. Itu bukan tanggung jawabmu,” ujar Dannys panjang lebar. Aku mengulum bibir, sekali lagi mendesah panjang dan kembali mendongak. “Thank’s, Yosh.” Aku mengangkat cangkir di tanganku sebelum menyesap cairan di dalamnya. “Oh ya.” Yoshi mengulum bibir dan kulihat kening Yoshi mengerut. Ia tampak sedang berpikir. “Ah, ya.” Yoshi kembali menatap aku. “Beberapa waktu yang lalu di klub ada seseorang yang mengatakan jika sekarang ini sedang marak penculikan di kelab malam.” Aku mengerutkan kening dan otakku langsung menghubungkan ucapan Yoshi dengan perkataan Calvin saat aku pamit pulang. Aku menjadi begitu penasaran. “Yoshi, jika kau tahu sesuatu, kumohon beritahu aku.” Yoshi berdecak. Ia menyesap kopi lalu memutar tubuh. Wanita itu menaikkan setengah kakinya di atas ranjang lalu melipatnya. “Aku lupa siapa yang memulai pembicaraan itu. Mmm ….” Yoshi kembali mengerutkan kening sambil menepis bibirnya. “Ah, sial. Lupakan saja. Yang jelas, belakangan ini banyak gadis yang mengaku sering tidak sadarkan diri saat berada di kelab malam. Ada juga yang menghubungkan kejadian itu dengan gangster yang santer dibicarakan. Aku lupa nama mereka. Yang jelas belakangan ini sedang ada gangster yang cukup ditakuti di Madison. Dia juga tidak bilang namanya. Pembicaraan itu fokus pada gadis-gadis remaja yang sering mengeluh sakit perut setelah kelab.” “Maksudmu?” tanyaku. Yoshi menghela napas dan seketika wajahnya berubah serius. “Kau tahu, ini terdengar sedikit tidak masuk akal.” “Katakan saja,” ucapku penasaran. Terlihat lipatan di dahi gadis itu saat matanya mengecil. “Sial, Dannys. Apa … jika seseorang berhubungan intim mereka tidak akan tahu?” “Ya Tuhan, Yoshi, bicara dengan jelas!” Aku mulai menuntut sebab Yoshi lah yang membuatku penasaran. Yoshi menggoyangkan kepalanya sambil mengerjap. “Mereka bilang gadis-gadis itu sudah tidak perawan lagi, tapi mereka tidak tahu siapa yang meniduri mereka. Barangkali gangster itu yang tidak sengaja kau lihat, Dannys.” Seketika mulutku menganga. Perlahan kelopak mataku membesar, diikuti getaran di tangan kananku yang sedang memegang cangkir. “Ap- ap-“ Aku menggagap dan kulihat Yoshi menggelengkan kepalanya. Gadis itu melayangkan satu tangannya ke udara. “Aku juga tidak mengerti, tapi topik itu menjadi pembicaraan terhangat di klub. Sayang sekali kau tidak datang malam itu, Dannys.” “Tapi Minho tidak berkata apa pun padaku.” Yoshi terkekeh. “Apakah dia pernah menanggapi gosip? Kau tahu apa yang akan terjadi saat Kang Minho bertemu Ahmed? Sialan. Mereka sibuk main game online sampai tak memedulikan dunia di sekitar mereka,” kata Yoshi dengan ekspresi dramatis. Dia mendesah lalu menggelengkan kepalanya. Aku hanya melongo. Jika Yoshi benar, maka sekarang aku dalam masalah besar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD