I hate Monday. Tiga kata itu sudah menjadi semboyan banyak orang setiap kali mereka menghadapi hari pertama di awal pekan.
Ya. Senin merupakan hari terpanjang untuk semua orang. Termasuk mahasiswa. Untuk itu aku memilih hari Senin untuk libur dari restoran. Sebab aku harus mengikuti lima kelas dari dosen berbeda di hari senin.
Oh, astaga! Belum apa-apa, tapi aku sudah merasa lelah. Ingin rasanya aku kembali ke dalam kamar dan mengubur tubuhku di dalam selimut. Sungguh pun, aku tidak ingin bertemu dengan siapa pun hari ini, tetapi sekali lagi.
Kenyataan itu selalu menipu ekspektasi. Realitas yang kejam menuntutku untuk pergi ke kampus dan bertemu ratusan orang dari berbagai belahan dunia.
Oh, well! Itu dramatis. Ini Wisconsin. Terletak di negara bagian Amerika Serikat. Sudah pasti orang-orang Amerikalah yang memenuhi tempat ini. Hanya lima persen dari mereka yang berada di luar Amerika. Mungkin nol koma satu persen saja orang Asia di tempat ini. Termasuk aku. Dan Yoshi.
Hah ... Yoshi. Gadis Jepang ini benar-benar berpegang teguh pada budayanya. Dia tak pernah menyetel alarm dan selalu bangun tepat jam tujuh. Masih sangat dingin. Bahkan aku tak berani membuka mataku di jam seperti itu.
Namun, Yoshi bahkan bisa mencuci pakaiannya sebelum berangkat ke kampus. Aku kadang suka bergidik jika melihat betapa Yoshi begitu disiplin dengan dirinya sendiri. Dia membuat jadwal untuk semua kegiatannya.
Ya Tuhan! Aku terus bertanya, memangnya ada manusia seperti ini? Apa Yoshi tidak bosan dengan rutinitas yang terulang dan menjadi siklus yang berputar setiap hari?
What the hell she’s doing?!
Namun, si gadis pemegang samurai ini memang seperti robot yang sudah diprogram dan tekun mengikuti jadwalnya setiap hari.
Well, well, well. Aku orang Indonesia yang punya setengah darah Belanda. Aku hanya numpang lahir di sana, tetapi aku seratus persen orang Indonesia. Ayahku lebih suka menyanyi lagi Indonesia Raya daripada menyanyikan Wilhelmus dan dia lebih suka makan nasi goreng daripada makan sandwhich. Jadi ya! Kami orang Indonesia.
Ngomong-ngomong soal ayahku, hem ... ya! Mr. Gustaf Madeline. Aku jadi merindukannya. Kapan terakhir kali kami face time? Astaga! Sudah lama sekali. Well, kuharap dia baik-baik saja dan tidak makan banyak junk food. Aku khawatir dengan kolesterolnya.
“Dannys!”
Aku bergeming ketika Yoshi tiba-tiba memanggilku. Kami sedang berjalan menuju ke kampus. Rerumputan berwarna hijau dan pohon besar membuat pagi hari terasa sejuk. Udara semakin dingin karena Wisconsin mulai memasuki musim dingin.
“Hem?”
“Jam berapa mata kuliah terakhirmu?” tanya Yoshi.
Keningku sontak
mengerut ketika aku memaksa otakku yang tadinya relaks kini bekerja dan
memikirkan jawaban untuk pertanyaan Yoshi barusan.
“Mmm … mungkin jam empat,” jawabku. Kuputar kembali pandanganku ke samping dan bertanya, “memangnya ada apa?”
Kulihat kedua sisi alis Yoshi melengkung ke tengah. Dia bergumam cukup panjang dan sepertinya sedang bergejolak dengan dirinya sendiri. Entah apa yang dipikirkan Yoshi. Aku hanya diam dan menunggu Yoshi siap untuk berbicara.
“Ah, soal pembicaraan
semalam.”
Aku mendelik dan kembali memandang Yoshi. Mendengar ucapan Yoshi barusan, sontak saja membuatku mengingat kejadian yang kualami semalam. Aku pun mendengkus dan memalingkan wajahku.
“Ah, sial! Gara-gara itu aku jadi takut ke mana-mana sendirian.” Yoshi terkekeh kecil, seolah ada lelucon pada ucapannya sendiri, padahal aku dan dia sama-sama tahu bagaimana kondisi mental kami setelah aku menceritakan apa yang baru saja kualami.
Semalam penuh aku dan Yoshi larut obrolan dan tak terasa kami tidur jam tiga pagi. Bersyukur aku menyetel alarm, jika tidak, aku tak tahu bagaimana nasibku hari ini.
Aku mendesah berat dan memalingkan wajah dari Yoshi, untuk kembali memandang ke depan. “Aku juga,” gumamku. Sekali lagi kudengar Yoshi mendesah kasar.
“Ya. Sialnya aku harus belanja keperluan bulanan,” ucap Yoshi. Dari sudut mataku, aku menangkap gerakan wajah Yoshi yang berputar ke arahku.
“Kau mau ikut, Dannys?” tanya Yoshi.
Aku mengulum bibir.
Sejujurnya ini belum saatnya aku belanja bulanan, tapi melihat bagaimana Yoshi
ingin aku menemaninya, aku pun tak bisa menolak.
“Boleh,” jawabku.
Yoshi tersenyum.
“Kalau begitu aku akan
menunggumu di kedai kopi. Kelas terakhirku selesai jam tiga,” kata Yoshi.
Aku mengangguk. Kami
berpisah di hallway. Yoshi menuju ke kelasnya dan seperti biasa aku
menuju ke aula.
Pagi ini jadwal Ms.
Robinson di jam pertama. Dia sangat disiplin dengan waktu. Aku memilih kursi
kedua bagian tengah. Ini bukan keinginanku. Ms. Robinson punya penyakit aneh.
Well, aku menyebutnya penyakit aneh soalnya dia benci dengan mahasiswa penerima
beasiswa. Kesalahan sedikit saja bisa membuatnya meledak.
Entah mengapa wanita
bertubuh gempal itu sensitif sekali dengan mahasiswa penerima beasiswa. Tubuhku
langsung bergidik ngeri saat membayangkan wajahnya.
“Hei, Dannys.”
Aku tersenyum saat
Stacy tiba dan dia langsung meraih tempat di sampingku. “Hai, Staz!” kuputar
tubuhku menghadap ke samping. Dari raut wajahnya, aku bisa menangkap suasana
hati Stacy yang tampaknya sedang sangat baik. Terlihat dari senyumnya yang membuat
wajahnya berseri-seri.
“How is your weekend?”
Stacy tersenyum geli
membuatku menggelengkan kepala.
“I’m a sucker for a
long ... weekend,” jawab Stacy lengkap dengan senyum genit. Dia sengaja
mengedipkan sebelah mata sambil menjulurkan lidah untuk menyapu bibirnya.
“Sialan,” gumamku
sambil menahan tawa.
Stacy masih tersenyum
sendiri. Well, beginilah kalau punya pacar. Weekend pasti
menyenangkan. Wajah Stacy selalu semringah di hari Senin. Tak peduli seberapa
banyak tugas kampus. Dia akan terus tersenyum di sepanjang mata kuliah.
“Well, Dannys, hari ini Minho akan membuatmu terkejut, tapi aku terlalu
sialan ingin mengacaukannya.”
Aku mengerutkan
kening. Tanganku masih meraih notebook di dalam tas saat aku mulai
memutar pandanganku kepada Stacy.
“Maksudmu?”
Stacy mendengkus. Dia
memutar bola mata. Wanita itu menaruh siku tangan ke atas meja lalu dia
menopang wajahnya dengan tangan kanannya. Kulihat sudut bibir Stacy terangkat
membentuk senyum miring.
“Dannys, kau harus
berjanji kalau kau akan bilang iya,” kata Stacy.
“Staz, aku tidak tahu
apa yang kau bicarakan.”
Stacy menghela napas.
Dia kembali memutar bola mata malas. “Kang Minho akan mengajakmu kencan.”
“WHAT?!” tanyaku nyaris memekik. Kubawa kedua tangan membungkam mulutku
sementara Stacy memutar pandangan ke sekeliling.
“f**k off, Dannys!” makinya.
Aku menampar pelan
lengan kanan Stacy membuatnya bertingkah dramatis dengan mengusap lengannya itu
sambil memandangku sinis.
“Leluconmu, Staz!”
Kugoyangkan kepala lalu aku memilih untuk memutar tubuh. Duduk dengan posisi
benar.
“That is not a
joke, Lil Dannys.” Stacy berucap sambil menekan setiap kalimat yang keluar
dari mulutnya. Tangannya secara dramatis menunjuk wajahku. Lalu dia kembali
mendengkus dan memutar bola mata. Kudengar Stacy mendengkus.
“Kemarin kami bicara
soal konser musik dari salah satu boy group Korea Selatan yang katanya
akan mengadakan konser di Wisconsin Dells dan kami berencana ke sana.
Kang Minho antusias lalu Burak bertanya, dengan siapa kau akan pergi? Kau tahu,
tidak sampai tiga detik dia langsung menyebutkan namamu. Sialan, Dannys!” Stacy
menyiku lenganku sambil memasang senyum geli.
Aku hanya
menanggapinya dengan senyum santai. Namun, sebenarnya aku tersipu. Entah ini
benar atau tidak, tapi saat mendengar jika namakulah yang disebutkan oleh Kang
Minho, membuat gadis batinku muncul sambil memasang wajah sombong.
Aku menggoyangkan
kepala lalu memutar pandanganku. Menghidupkan notebook tepat saat Ms.
Robinson masuk ke dalam aula. Kulihat Stacy langsung memutar tubuhnya dan ia
berdehem sambil memperbaiki duduknya.
Aku menghela napas.
Memaksa otakku untuk menyingkirkan sesuatu yang tidak penting seperti yang
barusan di katakan Stacy, tapi sialnya aku tidak bisa. Otakku malah makin
penasaran dengan apa yang dikatakan Stacy. Lalu sejurus kemudian kurasakan
detak jantungku meningkat saat wajah Minho tiba-tiba melintas di pikiranku.
Sial.
Aku kembali
menggoyangkan kepala.
“Oke, sekarang
kumpulkan tugas.”
Terdengar desahan
napas panjang secara masal dan membuat gema dalam ruangan besar ini. Belum
apa-apa dan Ms. Robinson sudah menagih tugas. Dakota berdiri. Dia yang ditunjuk
Ms. Robinson untuk mengumpulkan tugas. Untung saja aku langsung mengerjakan
tugasku. Jika tidak, aku yakin wanita di depan sana akan langsung
mengintimidasi semua mahasiswa penerima beasiswa.
“Well, minggu
ini kita akan memulai studi kasus peradilan dan legal. Prof. Ansel sudah
memberitahu jika kalian akan mengadakan study tour serentak. Hari ini,
aku hanya akan memaparkan bagian-bagian yang perlu kalian perhatikan saat
memulai studi kasus.”
Aku menghela napas.
Aku merasakan ketegangan yang sedang teralami oleh hampir semua mahasiswa.
Tidak main-main. Jika kami gagal dalam studi ini, maka dapat dipastikan jika
kami tidak bisa lanjut ke tahun ke tiga. Untuk itu, aku perlu konsentrasi
tinggi karena sialnya mentorku adalah Ms. Robinson.
***
Satu jam berlalu dan
kelas masih begitu hening. Sedari tadi hanya ada suara Ms. Robinson yang
terdengar. Kami mencatat bagian-bagian penting yang akan menjadi fokus
analisis. Karena satu kelompok hanya akan terdiri dari dua orang, maka dari itu
aku berharap aku akan satu tim dengan Dakota. Atau setidaknya seseorang yang
bisa kuajak berdiskusi.
Suasana masih begitu
hening sampai seseorang masuk lewat pintu depan dan Ms. Robinson terpaksa
menghentikan suaranya. Ia menoleh dan mereka bertatapan. Sejurus kemudian
muncul presensi seorang pria paruh baya yang entah siapa, aku sering melihatnya
di kantor pusat.
Dia mendekat pada Ms.
Robinson dan entah apa yang sedang mereka bicarakan. Dua orang itu hanya
menatap seorang pria yang berdiri menghadap mereka. Aku tak bisa melihat apa
pun selain punggungnya yang kokoh.
Aku menggeleng lalu
mengembuskan napas. Rasa-rasanya sedari tadi aku sampai lupa bernapas lega
karena terlalu tegang. Sekilas aku menatap notebook dan memeriksa sejauh
mana catatanku lalu aku kembali saat mendengar suara Ms. Robinson yang berdehem.
“Okay, everybody. I’d
like to request a bite attention from you guys, so please!”
Aku kembali membawa
atensiku kepada Ms. Robinson yang menepuk tangan meminta perhatian semua
mahasiswa dan seketika bola mataku membesar saat pandanganku berpindah pada si
pria yang barusan memutar tubuhnya.
DEG
Jantungku seperti
terkena lemparan balok membuatku tak bisa bernapas.
“Hari ini kita
ketambahan satu mahasiswa transfer dari Universitas New York. Silakan
perkenalkan dirimu.”
Alam bawah sadarku
runtuh. Gadis batinku berlari kencang sambil menekan kedua telinga dengan
tangannya. Jiwaku seakan pergi meninggalkan ragaku ketika dia tidak sengaja
memutar pandangan dan seketika mataku menabrak sepasang iris birunya.
Kulihat mata itu
melebar pertanda jika dia juga mengenalku. Aku memaksa otakku untuk kembali
bekerja dan seketika kupalingkan wajahku. Napasku berembus dengan berat.
“Tuan?”
Aku mendengar suara
Ms. Robinson, tapi aku sungguh tidak punya nyali lagi untuk kembali membawa
pandanganku ke depan.
Aku memilih untuk
menutup mata sambil mengulum bibirku kuat-kuat. Seketika aku merasa mulas dan
ingin sekali beranjak dari ruangan ini.
“Halo?”
“Oh, ya.”
Mataku kembali melebar
ketika runguku menangkap suara serak itu. Ya, dia. Tidak salah lagi.
“Namaku Max. Max
Belanger.”
‘HEI, KAU … BERHENTI!’
‘KEMARI KAU, HEI!’
Kepalaku tiba-tiba
membesar. Setelah mendengar suaranya lebih jauh, maka sekarang aku begitu yakin
kalau dia adalah pria itu. Pria yang semalam mengejarku.
Ya Tuhan, apakah dia
juga mengenaliku?
Tidak, tidak. Aku menggoyangkan kepala.
“Dannys?”
Aku tersentak saat
mendengar suara Stacy yang bahkan hanya berbisik. Aku langsung menarik
punggungku dan kembali duduk tegap.
“Y-ya.” Mulutku gagap
dan aku tak tahu apa yang harus kulakukan.
“You okay?” tanya Stacy.
Aku mengangguk
ragu-ragu dan secara spontan aku melirik ke depan.
Sial.
Aku kembali
memalingkan wajah. Bermaksud untuk menghindarinya, tetapi aku malah mendapati
lelaki itu sedang menatapku.
Sial! Sekarang, habislah aku.