8. Terrible Situation

1852 Words
I hate Monday. Tiga kata itu sudah menjadi semboyan banyak orang setiap kali mereka menghadapi hari pertama di awal pekan. Ya. Senin merupakan hari terpanjang untuk semua orang. Termasuk mahasiswa. Untuk itu aku memilih hari Senin untuk libur dari restoran. Sebab aku harus mengikuti lima kelas dari dosen berbeda di hari senin. Oh, astaga! Belum apa-apa, tapi aku sudah merasa lelah. Ingin rasanya aku kembali ke dalam kamar dan mengubur tubuhku di dalam selimut. Sungguh pun, aku tidak ingin bertemu dengan siapa pun hari ini, tetapi sekali lagi. Kenyataan itu selalu menipu ekspektasi. Realitas yang kejam menuntutku untuk pergi ke kampus dan bertemu ratusan orang dari berbagai belahan dunia. Oh, well! Itu dramatis. Ini Wisconsin. Terletak di negara bagian Amerika Serikat. Sudah pasti orang-orang Amerikalah yang memenuhi tempat ini. Hanya lima persen dari mereka yang berada di luar Amerika. Mungkin nol koma satu persen saja orang Asia di tempat ini. Termasuk aku. Dan Yoshi. Hah ... Yoshi. Gadis Jepang ini benar-benar berpegang teguh pada budayanya. Dia tak pernah menyetel alarm dan selalu bangun tepat jam tujuh. Masih sangat dingin. Bahkan aku tak berani membuka mataku di jam seperti itu. Namun, Yoshi bahkan bisa mencuci pakaiannya sebelum berangkat ke kampus. Aku kadang suka bergidik jika melihat betapa Yoshi begitu disiplin dengan dirinya sendiri. Dia membuat jadwal untuk semua kegiatannya. Ya Tuhan! Aku terus bertanya, memangnya ada manusia seperti ini? Apa Yoshi tidak bosan dengan rutinitas yang terulang dan menjadi siklus yang berputar setiap hari? What the hell she’s doing?! Namun, si gadis pemegang samurai ini memang seperti robot yang sudah diprogram dan tekun mengikuti jadwalnya setiap hari. Well, well, well. Aku orang Indonesia yang punya setengah darah Belanda. Aku hanya numpang lahir di sana, tetapi aku seratus persen orang Indonesia. Ayahku lebih suka menyanyi lagi Indonesia Raya daripada menyanyikan Wilhelmus dan dia lebih suka makan nasi goreng daripada makan sandwhich. Jadi ya! Kami orang Indonesia. Ngomong-ngomong soal ayahku, hem ... ya! Mr. Gustaf Madeline. Aku jadi merindukannya. Kapan terakhir kali kami face time? Astaga! Sudah lama sekali. Well, kuharap dia baik-baik saja dan tidak makan banyak junk food. Aku khawatir dengan kolesterolnya. “Dannys!” Aku bergeming ketika Yoshi tiba-tiba memanggilku. Kami sedang berjalan menuju ke kampus. Rerumputan berwarna hijau dan pohon besar membuat pagi hari terasa sejuk. Udara semakin dingin karena Wisconsin mulai memasuki musim dingin. “Hem?” “Jam berapa mata kuliah terakhirmu?” tanya Yoshi. Keningku sontak mengerut ketika aku memaksa otakku yang tadinya relaks kini bekerja dan memikirkan jawaban untuk pertanyaan Yoshi barusan. “Mmm … mungkin jam empat,” jawabku. Kuputar kembali pandanganku ke samping dan bertanya, “memangnya ada apa?” Kulihat kedua sisi alis Yoshi melengkung ke tengah. Dia bergumam cukup panjang dan sepertinya sedang bergejolak dengan dirinya sendiri. Entah apa yang dipikirkan Yoshi. Aku hanya diam dan menunggu Yoshi siap untuk berbicara. “Ah, soal pembicaraan semalam.” Aku mendelik dan kembali memandang Yoshi. Mendengar ucapan Yoshi barusan, sontak saja membuatku mengingat kejadian yang kualami semalam. Aku pun mendengkus dan memalingkan wajahku. “Ah, sial! Gara-gara itu aku jadi takut ke mana-mana sendirian.” Yoshi terkekeh kecil, seolah ada lelucon pada ucapannya sendiri, padahal aku dan dia sama-sama tahu bagaimana kondisi mental kami setelah aku menceritakan apa yang baru saja kualami. Semalam penuh aku dan Yoshi larut obrolan dan tak terasa kami tidur jam tiga pagi. Bersyukur aku menyetel alarm, jika tidak, aku tak tahu bagaimana nasibku hari ini. Aku mendesah berat dan memalingkan wajah dari Yoshi, untuk kembali memandang ke depan. “Aku juga,” gumamku. Sekali lagi kudengar Yoshi mendesah kasar. “Ya. Sialnya aku harus belanja keperluan bulanan,” ucap Yoshi. Dari sudut mataku, aku menangkap gerakan wajah Yoshi yang berputar ke arahku. “Kau mau ikut, Dannys?” tanya Yoshi. Aku mengulum bibir. Sejujurnya ini belum saatnya aku belanja bulanan, tapi melihat bagaimana Yoshi ingin aku menemaninya, aku pun tak bisa menolak. “Boleh,” jawabku. Yoshi tersenyum. “Kalau begitu aku akan menunggumu di kedai kopi. Kelas terakhirku selesai jam tiga,” kata Yoshi. Aku mengangguk. Kami berpisah di hallway. Yoshi menuju ke kelasnya dan seperti biasa aku menuju ke aula. Pagi ini jadwal Ms. Robinson di jam pertama. Dia sangat disiplin dengan waktu. Aku memilih kursi kedua bagian tengah. Ini bukan keinginanku. Ms. Robinson punya penyakit aneh. Well, aku menyebutnya penyakit aneh soalnya dia benci dengan mahasiswa penerima beasiswa. Kesalahan sedikit saja bisa membuatnya meledak. Entah mengapa wanita bertubuh gempal itu sensitif sekali dengan mahasiswa penerima beasiswa. Tubuhku langsung bergidik ngeri saat membayangkan wajahnya. “Hei, Dannys.” Aku tersenyum saat Stacy tiba dan dia langsung meraih tempat di sampingku. “Hai, Staz!” kuputar tubuhku menghadap ke samping. Dari raut wajahnya, aku bisa menangkap suasana hati Stacy yang tampaknya sedang sangat baik. Terlihat dari senyumnya yang membuat wajahnya berseri-seri. “How is your weekend?” Stacy tersenyum geli membuatku menggelengkan kepala. “I’m a sucker for a long ... weekend,” jawab Stacy lengkap dengan senyum genit. Dia sengaja mengedipkan sebelah mata sambil menjulurkan lidah untuk menyapu bibirnya. “Sialan,” gumamku sambil menahan tawa. Stacy masih tersenyum sendiri. Well, beginilah kalau punya pacar. Weekend pasti menyenangkan. Wajah Stacy selalu semringah di hari Senin. Tak peduli seberapa banyak tugas kampus. Dia akan terus tersenyum di sepanjang mata kuliah. “Well, Dannys, hari ini Minho akan membuatmu terkejut, tapi aku terlalu sialan ingin mengacaukannya.” Aku mengerutkan kening. Tanganku masih meraih notebook di dalam tas saat aku mulai memutar pandanganku kepada Stacy. “Maksudmu?” Stacy mendengkus. Dia memutar bola mata. Wanita itu menaruh siku tangan ke atas meja lalu dia menopang wajahnya dengan tangan kanannya. Kulihat sudut bibir Stacy terangkat membentuk senyum miring. “Dannys, kau harus berjanji kalau kau akan bilang iya,” kata Stacy. “Staz, aku tidak tahu apa yang kau bicarakan.” Stacy menghela napas. Dia kembali memutar bola mata malas. “Kang Minho akan mengajakmu kencan.” “WHAT?!” tanyaku nyaris memekik. Kubawa kedua tangan membungkam mulutku sementara Stacy memutar pandangan ke sekeliling. “f**k off, Dannys!” makinya. Aku menampar pelan lengan kanan Stacy membuatnya bertingkah dramatis dengan mengusap lengannya itu sambil memandangku sinis. “Leluconmu, Staz!” Kugoyangkan kepala lalu aku memilih untuk memutar tubuh. Duduk dengan posisi benar. “That is not a joke, Lil Dannys.” Stacy berucap sambil menekan setiap kalimat yang keluar dari mulutnya. Tangannya secara dramatis menunjuk wajahku. Lalu dia kembali mendengkus dan memutar bola mata. Kudengar Stacy mendengkus. “Kemarin kami bicara soal konser musik dari salah satu boy group Korea Selatan yang katanya akan mengadakan konser di Wisconsin Dells dan kami berencana ke sana. Kang Minho antusias lalu Burak bertanya, dengan siapa kau akan pergi? Kau tahu, tidak sampai tiga detik dia langsung menyebutkan namamu. Sialan, Dannys!” Stacy menyiku lenganku sambil memasang senyum geli. Aku hanya menanggapinya dengan senyum santai. Namun, sebenarnya aku tersipu. Entah ini benar atau tidak, tapi saat mendengar jika namakulah yang disebutkan oleh Kang Minho, membuat gadis batinku muncul sambil memasang wajah sombong. Aku menggoyangkan kepala lalu memutar pandanganku. Menghidupkan notebook tepat saat Ms. Robinson masuk ke dalam aula. Kulihat Stacy langsung memutar tubuhnya dan ia berdehem sambil memperbaiki duduknya. Aku menghela napas. Memaksa otakku untuk menyingkirkan sesuatu yang tidak penting seperti yang barusan di katakan Stacy, tapi sialnya aku tidak bisa. Otakku malah makin penasaran dengan apa yang dikatakan Stacy. Lalu sejurus kemudian kurasakan detak jantungku meningkat saat wajah Minho tiba-tiba melintas di pikiranku. Sial. Aku kembali menggoyangkan kepala. “Oke, sekarang kumpulkan tugas.” Terdengar desahan napas panjang secara masal dan membuat gema dalam ruangan besar ini. Belum apa-apa dan Ms. Robinson sudah menagih tugas. Dakota berdiri. Dia yang ditunjuk Ms. Robinson untuk mengumpulkan tugas. Untung saja aku langsung mengerjakan tugasku. Jika tidak, aku yakin wanita di depan sana akan langsung mengintimidasi semua mahasiswa penerima beasiswa. “Well, minggu ini kita akan memulai studi kasus peradilan dan legal. Prof. Ansel sudah memberitahu jika kalian akan mengadakan study tour serentak. Hari ini, aku hanya akan memaparkan bagian-bagian yang perlu kalian perhatikan saat memulai studi kasus.” Aku menghela napas. Aku merasakan ketegangan yang sedang teralami oleh hampir semua mahasiswa. Tidak main-main. Jika kami gagal dalam studi ini, maka dapat dipastikan jika kami tidak bisa lanjut ke tahun ke tiga. Untuk itu, aku perlu konsentrasi tinggi karena sialnya mentorku adalah Ms. Robinson. *** Satu jam berlalu dan kelas masih begitu hening. Sedari tadi hanya ada suara Ms. Robinson yang terdengar. Kami mencatat bagian-bagian penting yang akan menjadi fokus analisis. Karena satu kelompok hanya akan terdiri dari dua orang, maka dari itu aku berharap aku akan satu tim dengan Dakota. Atau setidaknya seseorang yang bisa kuajak berdiskusi. Suasana masih begitu hening sampai seseorang masuk lewat pintu depan dan Ms. Robinson terpaksa menghentikan suaranya. Ia menoleh dan mereka bertatapan. Sejurus kemudian muncul presensi seorang pria paruh baya yang entah siapa, aku sering melihatnya di kantor pusat. Dia mendekat pada Ms. Robinson dan entah apa yang sedang mereka bicarakan. Dua orang itu hanya menatap seorang pria yang berdiri menghadap mereka. Aku tak bisa melihat apa pun selain punggungnya yang kokoh. Aku menggeleng lalu mengembuskan napas. Rasa-rasanya sedari tadi aku sampai lupa bernapas lega karena terlalu tegang. Sekilas aku menatap notebook dan memeriksa sejauh mana catatanku lalu aku kembali saat mendengar suara Ms. Robinson yang berdehem. “Okay, everybody. I’d like to request a bite attention from you guys, so please!” Aku kembali membawa atensiku kepada Ms. Robinson yang menepuk tangan meminta perhatian semua mahasiswa dan seketika bola mataku membesar saat pandanganku berpindah pada si pria yang barusan memutar tubuhnya. DEG Jantungku seperti terkena lemparan balok membuatku tak bisa bernapas. “Hari ini kita ketambahan satu mahasiswa transfer dari Universitas New York. Silakan perkenalkan dirimu.” Alam bawah sadarku runtuh. Gadis batinku berlari kencang sambil menekan kedua telinga dengan tangannya. Jiwaku seakan pergi meninggalkan ragaku ketika dia tidak sengaja memutar pandangan dan seketika mataku menabrak sepasang iris birunya. Kulihat mata itu melebar pertanda jika dia juga mengenalku. Aku memaksa otakku untuk kembali bekerja dan seketika kupalingkan wajahku. Napasku berembus dengan berat. “Tuan?” Aku mendengar suara Ms. Robinson, tapi aku sungguh tidak punya nyali lagi untuk kembali membawa pandanganku ke depan. Aku memilih untuk menutup mata sambil mengulum bibirku kuat-kuat. Seketika aku merasa mulas dan ingin sekali beranjak dari ruangan ini. “Halo?” “Oh, ya.” Mataku kembali melebar ketika runguku menangkap suara serak itu. Ya, dia. Tidak salah lagi. “Namaku Max. Max Belanger.” ‘HEI, KAU … BERHENTI!’ ‘KEMARI KAU, HEI!’ Kepalaku tiba-tiba membesar. Setelah mendengar suaranya lebih jauh, maka sekarang aku begitu yakin kalau dia adalah pria itu. Pria yang semalam mengejarku. Ya Tuhan, apakah dia juga mengenaliku? Tidak, tidak. Aku menggoyangkan kepala. “Dannys?” Aku tersentak saat mendengar suara Stacy yang bahkan hanya berbisik. Aku langsung menarik punggungku dan kembali duduk tegap. “Y-ya.” Mulutku gagap dan aku tak tahu apa yang harus kulakukan. “You okay?” tanya Stacy. Aku mengangguk ragu-ragu dan secara spontan aku melirik ke depan. Sial. Aku kembali memalingkan wajah. Bermaksud untuk menghindarinya, tetapi aku malah mendapati lelaki itu sedang menatapku. Sial! Sekarang, habislah aku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD