6. Something Terrible

2221 Words
Seminggu bekerja di restoran ini dan entah apakah aku harus bersyukur atau malah mengutuk restoran ini. Well, di satu sisi aku senang restoran ini dipenuhi banyak pengunjung. Itu artinya pendapatan tuan Dune bertambah dan artinya juga, dia tak akan terlambat memberi gaji. Namun, di sisi lain aku harus mengorbankan tubuhku yang remuk karena pekerjaan yang beruntun, tak putus-putus diberikan oleh Vasco. Sial! pria itu berlagak seperti penguasa di tempat ini. Antarkan pesanan ini! Cuci piring kotor! Buang sampah! Ambil pesanannya! Oh, f**k! Pria itu benar-benar sangat menyebalkan dengan mulutnya yang tegas dan suka memerintah dan tatapannya yang berubah setajam ular. “Sial!” Aku memaki tiada henti sambil memandang wajahku ke depan. Demi apa pun! Baru seminggu bekerja, tetapi wajahku terlihat sepuluh tahun lebih tua. Dengan dahi berkerut dan kusut. Sungguh pun, tak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Kusam. “Who the hell are you, heuh?!” desisku. Aku mendengkus lalu membungkuk dan membasuh wajahku. “Ahhh....” Well, rasanya lumayan. Andaikan sungai yang sudah lama kering dan baru disirami air hujan. Begitu mungkin rasanya wajahku saat ini. Setelah membasuh wajah, aku mengambil tisu lalu menyeka wajahku. Hari ini jauh lebih ramai dari hari-hari sebelumnya karena ini hari Minggu dan kebanyakan pengunjung datang bersama keluarga. Sepertinya restoran ini menjadi favorit orang-orang saat akhir pekan. Well, itu bagus. Aku senang, tapi tubuhku yang meronta-ronta meminta istirahat. “Jangan malas, Dannys!” Aku memperingatkan diriku. Sejenak, aku kembali mengingat hari di mana aku mengunjungi tempat ini pertama kali. Sungguh, sampai sekarang aku tidak percaya. Saat itu hanya ada lima pengunjung. Entah apa hanya hari itu saja yang kebetulan sepi. Setelah bekerja di sini, ternyata tempat ini begitu ramai dan puncaknya ada di hari Minggu. Kami bahkan baru bisa tutup di jam 11 lebih 20 menit. Aku telah membersihkan timbunan piring kotor dan Calvin mengizinkanku untuk pulang lebih awal. Mungkin pria itu kasihan padaku. Well, aku tidak pernah menyikat wajan selama hidupku. Namun, setelah masuk ke sini, wajan menjadi temanku setiap hari. Vasco adalah orang yang memperkenalkanku pada mereka. Well, aku mengingat senyum licik itu ketika pertama kali dia memerintahkan aku untuk menggosok wajan bekas memasak. Ya Tuhan! Dia sangat bahagia saat itu dan akhirnya. Setiap malam menjadi hari paling bahagia di hidup Vasco sejak kedatanganku karena dia dan Calvin tak perlu menggosok wajan lagi sebab akulah yang akan dengan sukarela melakukannya. “f**k!” Aku kembali memaki sambil meremas pundakku yang terasa pegal. Kakiku keram karena selama bekerja aku tidak diberi kesempatan untuk duduk. Bukan karena mereka tidak mengizinkannya, akan tetapi pekerjaan datang beruntun dan aku tidak bisa menolak. Bisa kau bayangkan berdiri selama tujuh jam lebih? Mencuci piring, mengantar pesanan lalu kembali lagi ke dapur dan mencuci piring. Begitu terus selama hampir delapan jam. Oh astaga, jari-jari di tanganku mengerut karena terlalu lama bersentuhan dengan air dan sabun. "Ck!" Aku hanya bisa berdecak kesal. Setelah menanggalkan seragam, aku bergegas memakai pakaianku lalu keluar dan mengambil tas dari dalam loker. Tuan Dune sudah pulang sejak tadi. Di dalam restoran hanya ada Calvin dan Vasco yang sedang mengepel lantai sementara Denaya sibuk merekap pendapatan hari ini. Aku menghampiri Calvin. "Cal, aku pamit," ucapku. Calvin menegakkan badannya. Ia menyisir rambut dengan tangan lalu menganggukkan kepala. "Kau dijemput?" tanya Calvin. Aku menghentikan langkah saat kedua kakiku telah sampai di depan pintu. Kugerakkan lutut dan berputar. Aku menoleh ke belakang lalu menggelengkan kepala. Kulihat Calvin bernapas panjang. "Kalau begitu hati-hati. Daerah ini terkenal menakutkan saat malam hari," kata Calvin. Dia kembali mendorong gagang pel. Aku menghela napas, menahannya sebentar di d**a lalu mengembuskannya dengan cara mengentak. Tiba-tiba tekanan jantungku meningkat. Apa yang diucapkan Calvin barusan langsung membuatku gelisah. Namun, yang bisa kulakukan hanyalah menganggukkan kepala. "Kalau begitu aku pamit," kataku dan terakhir kali kulihat Vasco menatapku sambil memberi tatapan dingin. Sama seperti sebelumnya. Tak ada yang berubah dari pria itu. Sekali lagi aku mengembuskan napas panjang dari mulut lalu kembali melangkah. Keluar dari restoran dengan perasaan gelisah. Sejujurnya aku berharap Kang Minho datang, tapi sepertinya hari ini dia sangat sibuk. Ini kali pertama aku pulang larut malam dan tak ada seorang pun yang menemaniku. Jika akhir pekan, taksi memang agak sulit dicari karena kebanyakan orang akan menggunakan mobil pribadi untuk jalan-jalan bersama keluarga. Suasana di sini juga sunyi. Aku harus berjalan beberapa blok untuk bisa sampai ke jalan raya. Entah mengapa juga tiba-tiba bulu romaku bangkit dan membuat tubuhku merinding. Calm down, Dannys. You got this! Aku terus bergumam di dalam hati dan memperingatkan diriku sendiri. Namun, bukannya tenang, aku malah mendapati diriku semakin panik. Segala macam pemikiran negatif mulai berkelebat di kepalaku dan membuat tekanan napasku berubah cepat hingga dadaku ikut memberat. Aku terus mengatur pernapasanku dengan memejamkan mata. Inhale, exhale .... Aku bergumam sambil mulai mempercepat langkah. Oke, Dannys! Jalan raya sudah terlihat. Kau hanya perlu melewati lorong gelap itu dan di depan sana kamu akan langsung disambut oleh sebuah taksi. Percaya padaku. “Ya!” Aku bergumam, menyetujui niat batinku yang mencoba untuk menyemangati aku. Maka dengan satu kali entakkan napas yang kuat, aku pun meneruskan langkah. Kali ini sedikit lebih cepat dari sebelumnya. Namun, ketika baru beberapa langkah aku berjalan, tiba-tiba saja sekelebat angin malam berembus meniup dari tengkuk lalu melintas di sampingku. Sontak, aku pun mengencangkan kedua tangan, memeluk tubuhku sendiri. Sial! Aku memaki dalam hati. Sejenak aku mencoba untuk berpaling, lalu mendadak wajahku membesar bagai balon. “f**k!” Aku kembali memaki dan entah apa yang terjadi padaku. Tiba-tiba saja bulu tengkukku bangkit dan membuat pangkal bahuku ikut gemetar. Mengapa juga penerangan di sini sangat redup. Aku jadi harus ekstra hati-hati saat melangkah, karena tempat yang kulalui ini penuh dengan beling. Tak tahu juga dari mana datangnya beling-beling ini. Seperti tak ada petugas kebersihan yang pernah membersihkan tempat ini. Atau, memang tempat ini selalu seperti apa yang terlihat. Entahlah. Aku menggoyangkan kepala untuk mengusir segala bentuk pemikiran yang semestinya tidak kupikirkan. Come on, Dannys! Percepat langkahmu dan kembali ke rumah! Gadis batinku kembali memperingatkan aku. Aku bergegas dan semakin mempercepat langkah ketika melewati barisan kontainer yang telah usang dan entah tempat apa itu sebelumnya. Namun, saat langkahku hampir sepenuhnya melewati tempat tersebut, runguku malah diterpa suara seseorang yang kontan membuat langkahku terhenti. Mataku terbelalak dan aku bersumpah bahwa aku tak dapat lagi merasakan detak jantungku. Ada sesuatu yang secara perlahan merambat dari telapak kaki, dan menyebar lewat pembuluh darah ke seluruh tubuh dan kontan membekukan seantero tubuhku. Tidak, Dannys. Kau tidak mendengar apa-apa. Sekarang jalan! batinku. Aku mengangguk dan kembali melangkah. "Don’t do that, please... let me go... please!” Lagi-lagi langkahku terhenti. Suara itu sayup terdengar dan sialnya aku mungkin tahu apa yang sedang terjadi. Memori tiba-tiba menerbangkan aku pada kejadian beberapa saat yang lalu di mana Calvin telah memperingatkan aku bahwa tempat ini terkenal dengan tindakan kejahatan. Oh sial! Calvin benar. Aku harus segera pergi jika aku ingin selamat. Demi Tuhan! Kakiku gemetar dan hendak melangkah. “HELP!” Aku mendengar terikan yang kembali menghentikan langkahku. Sekali lagi tubuhku terbeku dan wajahku perlahan membesar seperti balon. Kepalaku terasa berat, tetapi mataku malah bergulir ke sudut. Hening selama beberapa detik dan terjadi pergulatan batin di dalam diriku. Sejujurnya aku selalu benci terlibat kejadian tidak menyenangkan dan apalagi menyeramkan seperti sekarang ini. Otakku berteriak menyuruhku pergi, tetapi naluriku malah ingin mendorongku untuk mengetahui apa yang sedang terjadi. “HELP!” Aku mendelik ketika sekali lagi mendengar suara jeritan seorang wanita. Hati nuraniku menegur dengan keras. Mengingatkan bahwa aku seorang mahasiswi jurusan hukum. Jika memang terjadi sebuah tindakan kriminal di sana, maka aku harus bertindak. Namun, aku juga tidak ingin gegabah. 'Oke, oke. Berpikir, Dannys.' "Help, please. Ahh ...." Mataku kembali membesar dan sontak kepalaku mendongak. Kuputar tubuhku menghadap pada kerumunan kontainer berkarat tak jauh di depanku. Rahangku mengencang sekencang kedua tanganku yang mengepal pada kedua sisi tubuhku. Tidak salah lagi! Naluriku tak salah. Teriakan itu datang dari seorang gadis. Suaranya terdengar nelangsa, menandakan bahwa dia sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Damn it, Dannys! You have to help her! Gadis batinku ikut berbicara. Kupejamkan mata rapat-rapat dan melakukan tarikan napas panjang. Jantungku berdetak meningkat, tetapi di saat bersamaan membuat darahku seperti terbakar. Kau harus pergi, Dannys! Suara itu terdengar menggema di kepalaku kemudian kedua mataku terbuka. Aku mendesah kasar. Menelan saliva sejenak dan meyakinkan bahwa apa yang akan kulakukan adalah hal yang paling benar untuk menyelamatkan seseorang. Akhirnya aku pun memberanikan diri untuk melewati pagar dari kawat di depanku. Detak jantungku kembali dengan tekanan meningkat dan alam bawah sadarku bergidik ketakutan, tetapi kakiku seolah mendapatkan perintah lain hingga membuatnya terus melangkah. Ada tiga buah kontainer yang diatur berbaris rapi dan duanya lagi diatur berlawanan arah. Napasku terasa sesak ketika runguku makin menangkap rintihan itu. "Kumohon, lepaskan aku. Kumohon ... jangan lakukan itu padaku." Aku menelan saliva dan demi Tuhan aku sangat ketakutan. Sekelebat bayangan menakutkan mulai memenuhi seisi kepalaku. Tubuhku menunduk secara alamiah. Seolah alam bawah sadarku menangkap bahaya yang tak bisa kulihat dengan kedua mata. Namun, sekali lagi. Aku sudah berada di dalam bahaya dan sulit rasanya menyeret tubuhku untuk kembali ke jalan yang benar dan pergi dari tempat ini. Ada sesuatu yang terus menarikku untuk semakin mendekat, sekalipun aku tahu bahwa mungkin aku sedang berjalan dalam kebinasaan. "Ssshhh ... diam dan nikmati saja. Kau pasti akan menyukainya, oke." "Hei, kau! Cepat ambil ponselmu." Degup jantungku menggila saat aku tiba di kontainer ke dua dan aku langsung menyandarkan punggungku di sana. Aku mengerjap beberapa kali kemudian menelan ludah lalu menyapu dadaku. Membujuk jantungku agar berdetak normal dan jangan menyiksaku karena aku sudah sangat takut. Aku yakin mereka berada di balik benda ini. Masih sambil menahan d**a, aku mencoba untuk melayangkan pandangan ke belakang. Namun, sejurus kemudian aku kembali menyembunyikan tubuhku. Tidak. Jangan gegabah, Dannys. Sialan. Aku tidak membawa ponsel jadi aku tak bisa menghubungi polisi. "No ... no, please. Ahhh!" Mataku melebar. Aku mendengar suara entakkan serta decakan dan aku yakin jika gadis di sana sedang dilecehkan. Aku menghela napas. Menelan ludah dan otakku mulai memberikan perintah. Aku kembali memberanikan diri untuk menggerakkan kepalaku. Kuputar badan dan sebisa mungkin aku menjaga napasku agar tak terdengar. Sambil berpegangan pada kotak kargo di depan, aku mulai menyeret kepalaku ke sisi kanan. Mataku kembali melebar. Ada tiga, bukan. Sepertinya lima. Bukan lagi. Sial! Mereka ada tujuh orang. Mereka berbaris melingkari seseorang dan aku yakin itu si gadis. Aku hanya melihat punggung mereka. Semua orang itu memakai jaket berwarna hitam dan ada lambang di punggung seperti tengkorak menyatu dengan gembok. Aku yakin sekali jika mereka gangster. Sial. Jika sudah begini, aku harus lari. Lagi pula tak ada yang bisa kulakukan di sini. Barangkali aku akan kembali dan memanggil Calvin dan Vasco. Ya. Gadis batinku muncul sambil menganggukkan kepala dan menjulurkan tangan menyuruhku untuk bergegas pergi. Aku harus mencari bantuan. Lalu akhirnya aku menyeret tubuhku dari sana. TAK Sial. Kututup mata rapat-rapat dan aku menggigit bibirku sendiri. "Siapa di sana?!" Sejurus kemudian mataku terbuka lebar dan tanpa berpikir lagi, aku langsung mengangkat kedua kakiku melesat dari tempat mengerikan ini. "SIAL!" Kudengar teriakan seseorang. Jantungku berdetak lima kali lebih cepat dari sebelumnya. Tekanannya terasa hingga ke tulang rusukku. Sialan. Aku tidak ingin menoleh, tapi tetap saja wajahku berputar. Kulihat seorang pria keluar dari tempat di mana aku bersembunyi sebelumnya. "KEJAR DIA!" "b******k!” Aku menghela napas dan memohon pada kedua kakiku agar bisa melangkah lebih cepat. "HEI, KAU ... KEMARI!" Aku mendengar suara bariton berat dan aku kembali menoleh. Wajahnya tepat berada di bawah cahaya lampu hingga aku bisa melihat visualnya. Sesuatu yang begitu mencolok adalah matanya. Irisnya berwarna biru dan tatapan itu seolah memancarkan sesuatu yang mengerikan membuat alam bawah sadarku bergidik. Entah apa maksudnya. Aku berasumsi jika dia ingin melepaskan aku. Namun, semua asumsiku dipatahkan saat aku mendengar suara raungan knalpot motor. "Sial!" desisku. Dadaku mulai sesak, tapi aku tidak boleh berhenti di sini. Aku terus berlari dan dalam hati aku memanggil nama Tuhanku. 'Ya Tuhan, aku tahu kau mendengarkan aku. Tolong, jangan biarkan sesuatu terjadi padaku.' "Kemari kau, hei!" Aku tak ingin peduli dengan suara teriakan mereka, tapi itu berlaku sedetik yang lalu sampai runguku menangkap suara mesin motor yang makin terdengar jelas. Tidak, tidak. Aku tidak boleh menyerah. Napasku makin tersendat-sendat. Sejujurnya aku paling payah dalam lomba lari di sekolah. Aku tidak tahu apakah diriku memiliki riwayat asma, tapi sejak dulu aku tidak pernah bisa berlari kencang. Aku mulai kesulitan mengirimkan udara ke paru-paru hingga mulai terasa sesak di d**a. Aku mengerjap sekali lagi dan kakiku rasanya keram. Membengkak seperti balon dan sakitnya sampai ke pangkal bahu, tetapi aku tetap berlari. 'Kumohon jangan buat aku terjatuh. Bertahanlah sedikit lagi.' Mulutku megap-megap, tapi aku cukup senang saat melihat cahaya dari bola lampu dekat mini market. Secercah harapan jika aku akan selamat dari kejaran dua orang pria di belakang sana. Kuharap ada batu atau apa pun benda yang bisa membuat motor itu tersandung. Aku memejamkan mata. Pundak dan kakiku makin terasa keram dan dadaku teramat nyeri, tapi aku masih tidak ingin menyerah. Tinggal sedikit lagi. Ada banyak orang di depan sana dan aku yakin, jika aku sampai lebih dahulu maka aku akan selamat. 'Ya. Ayo, Dannys, kau pasti bisa.' Sedikit lagi. Dari kejauhan aku melihat sebuah taksi yang sedang melaju dan aku langsung mengangkat tangan kananku. "Taksi!" seruku. Kuharap suaraku mampu didengar oleh si pengendara. Aku menoleh sekali lagi dan betapa sialnya diriku saat melihat jarak kami tak lebih dari semeter. Aku kembali memutar pandangan, sekelebat cahaya berwarna putih langsung menabrak penglihatanku. C'KKKITTT ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD