HmD 6 - Deon

1848 Words
HdM 6 - Deon Pria dengan tato yang terlihat di bagian betis dan juga lengan kiri saat dia membuka jaket warna merah muda itu menjadi pusat perhatian di kafe yang saat ini dia kunjungi. Sungguh perpaduan yang sangat aneh bagi mereka yang melihat kondisi itu. Saat wajah tampan bertubuh kekar dengan otot yang begitu jelas terlihat, malah mengenakan jaket berwarna merah muda yang entah kenapa malah membuat beberapa orang geli melihatnya. Mereka menyangka jika sosok itu adalah pria maco tapi suka sesama jenis, bukankan sekarang masih musim dengan hal seperti itu, hingga membuat populasi pria tampan hampir rusak karenanya. Deon, pria yang menjadi pusat perhatian itu terlihat dengan santainya duduk di salah satu meja yang ada di sudut ruangan, dekat dengan etalase bunga yang terlihat segar dan mempesona. dia mengedarkan pandangannya, tidak peduli dengan suara bisik-bisik yang terdengar jelas sedang membicarakan dirinya. toh Deon di sini hanya ingin makan beberapa makanan manis, dan bertemu dengan pemilik kafe ini, sosok yang sudah membuat dirinya begitu penasaran hingga selalu saja mendatangi tempat ini. Dan seperti biasa, tidak peduli berapa Pelayan yang datang menghampiri dirinya, Deon selalu saja cuek hingga si pemilik kafe langsung turun tangan sendiri. Tanpa menanyakan menu kue yang ingin di inginkan Deon, wanita itu datang dengan membawa satu buah piring kecil beserta satu gelas jus stroberi yang saat ini sudah di letakkan di hadapan Deon. "Menu apa siang ini?" Tanya Deon dengan mata berbinar saat melihat betapa nikmatnya makanan yang ada di hadapannya kini, sungguh indah dan nikmat yang luar biasa. "Bolu gulung blackforest sama jus stroberi seperti biasa." Deon mengangguk, tidak peduli dengan namanya, dia hanya ingin menyantap makanan manis yang entah sejak kapan dia sukai, pasalnya sejak mengenal wanita yang kini berdiri di hadapannya, Deon mulai menyukai segala jenis makanan manis. "Oke. Kayaknya enak." Dia mengambil garpu yang ada di tempatnya, lalu perlahan dia mulai mengambil satu potong kecil dan menikmatinya. "Enak, sepeti biasa aku suka." "Makasih." Deon mendongak, pria itu menatap wanita di hadapannya dengan kedua alis bertautan. "Nggak mau nemenin aku makan?" "Aku masih ada kerjaan." "Sebentar saja, sampai temanku datang." Wanita itu terlihat menghela napas sebentar, lalu menarik kursi di hadapan Deon dan memilih duduk di sana. "Aku masih banyak kerjaan, kenapa nggak makan sendiri aja?" Mengabaikan ucapan itu, Deon masih saja menikmati makanannya dengan teman, lalu saat tinggal satu potong terakhir dia menatap wanita itu. "Ini enak, aku suka yang ini, tolong bungkus untuk aku nanti." "Jangan mengalihkan pembicaraan, ayolah aku nggak bisa duduk di sini sampai kamu selesai makan." "Biar aja pekerja kamu yang kerjain semuanya, kamu bayar mereka buat kerja, jadi istirahat aja dulu sambil temenin aku gitu." Wanita itu menatap Deon lamat-lamat sebelum mendesah pelan denhan gelengan kecil, entahlah sejak dirinya mengenal Deon, pria itu selalu saja bersikap seperti ini. Berbanding terbalik saat mereka pertama kali bertemu, Deon seolah menjadi pribadi yang lain, jika beberapa bulan yang lalu pria itu terlihat gugup dan bingung, berbeda dengan sekarang yang selalu mendominasi semua hal. "Kamu nggak liat apa gimana? Kafe lagi rame, karyawan aku aja Sampek keteteran gitu, nggak kasian emang?" Deon mengalihkan tatapannya lalu menyapu ruangan seolah mencari kebenaran atas apa yang dikatakan wanita itu. Ratna, wanita yang sudah ia kenal beberapa bulan terakhir, dan sekarang Deon menjadi pelanggan tetap di kafe ini. Terlebih, kue buatan Ratna sungguh berhasil membuat selera Deon berubah. "Nggak terlalu rame kok, jadi santai aja lah." Ratna berdecak pelan, dia tidak tau lagi harus melakukan apa agar bisa terbebas dari Deon. Dia bisa saja berlalu pergi, tapia apa yang akan Deon lakukan setelahnya tentu tidak bisa Ratna hindari, pria itu jelas akan berbuat nekat dan membuat dirinya malu, lagi. Seperti yang sudah-sudah. Mereka terdiam, Deon terlihat tengah mengunyah potongan terakhir dari kue miliknya lalu menyeruput jus melalui sedotan, sebelum ponsel miliknya berdering. Dia mengintip sejenak lalu meraih ponsel itu dan mengangkatnya. "Halo..." "Lo di mana?" "Di kafe yang gue sebutin tadi." "Gue udah di depan." Seketika Deon memutar kepalanya, lalu menatap pintu masuk dan menemukan sosok sahabatnya yang berdiri dengan seorang gadis di sisi kanannya. "Masuk aja, gue duduk di deket etalase bunga." Setelahnya dia mengakhiri sambungan telepon. Deon menghadap kearah Ratna yang terlihat bingung dengan ucapan pria itu. Entah siapa yang akan Deon bawa kemari, tapi Ratna berdoa agar sosok itu tak membuat masalah di kafenya. "Siapa?" Mengukir senyum tipis Deon menumpukan dua lengannya di atas meja, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan, yang membuat Ratna harus mundur sedikit untuk menghindari Deon. "Kami penasaran?" "Eh!" Ratna memalingkan wajahnya, dia merasa malu karena bisa berpikir demikian sedangkan siapapun yang Deon undang bukankah urusannya. Lalu kenapa dia harus peduli. "Enggak! Aku cuma mau tau aja siapa yang dateng, bakal buat keributan enggak nantinya." Deon terkekeh pelan, dia jelas tau ada ketakutan dari mata Ratna. Setelah apa yang pernah terjadi sebelumnya, dia yakin Ratna melakukan hal ini karena dia segan. "Tenang aja ini sahabat deket kok, jadi nggak akan aneh-aneh." Ucap Deon yang entah kenapa berhasil membuat seorang Ratna sedikit merasa tenang. "Kamu di sini aja nanti sekalian aku kenalin sama sahabatku itu. "Buat apa?" Tanya Airin dengan kening mengernyit. "Nggak papa, pengen kenalin kalian aja." Sungguh santai sekali Deon menghadapi Ratna yang masih terlihat tidak nyaman itu. Kehadiran pria itu jelas membuat dirinya merasa gelisah. "Enggak deh, aku masih ada kerjaan." Retna beranjak berdiri. Dia tidak mau terlalu ikut campur ke dalam masalah Deon, apalagi mengenal salah satu teman yang bisa saja memiliki kemungkinan untuk merepotkan dirinya suatu hari nanti. Deon saja sudah membuatnya repot apalagi di tambah Deon yang lain. "Yakin nggak kenalan?" "Enggak makasih." Ratna berlalu. Meninggalkan Deon seorang diri yang tak lama setelahnya Laksa dan Lika datang. Mereka menatap bingung kearah Ratna yang baru saja berlalu. "Siapa?" Tanya Laksa dengan kerut di keningnya. Deon mengikuti arah pandang Laksa lalu tersenyum kecil. "Pemilik kafe. Niatnya mau gue kenalin ke Lo, tapi dianya nggak mau." Mengedikkan bahu acuh Deon terkekeh pelan. "Siapa sih? Calon Lo? Apa cewek yang Lo paksa jadi cewek Lo lagi?" Laksa yang masih kebingungan menatap Deon lamat-lamat. "Jangan bilang Lo paksa dia buat mau sama Lo?" Deon terkekeh pelan, dia tidak menyangka jika Laksa masih saja memiliki pemikiran seperti itu, sedangkan dirinya saja sudah berhenti berbuat kasar pada siapapun. Bahkan setelah perceraiannya dengan mantan istri terdahulu, Deon sudah enggan melakukan hal pemaksaan seperti itu. "Enggak, gue udah nggak gitu. Malu sama anak." "harus lah, kalo masih aja kayak gitu. Nggak malu sama anak berarti lo." Ucap Laksa sembari menarik satu kursi untuk istrinya, membiarkan Lika duduk dengan tenang di sana. Lalu barulah dia ikut duduk di sebelah Lika. "Udeh ah nggak usah bahas masa lalu. Malu gue, ada bini Lo juga!" "Kenapa harus malu kalo memang itu kenyataanya?" Laksa menoleh sebentar kearah Lika. "Jangan terbuai sama pesonanya." Desis Laksa saat menyadari sang istri sedari tadi menatap Deon dengan tatapan memuja. "Dia itu salah satu b******n yang nggak akan puas sama satu wanita." "Eh!" Mendengar itu Deon langsung melempar tisu bekas kearah sahabatnya. "Enak aja Lo umbar aib! Jangan ungkit yang dulu, lah! Malu gue!" "Aib Lo bini gue yang denger nggak masalah lah." Ujar Laksa menoleh kearah Lika yang masih saja diam melihat interaksi kedua orang itu. "Ya kan, Yang?" "Em?" Lika menoleh secepat yang dia bisa dengan tatapan bingung. Dia tidak fokus karena masih heran saat melihat sosok Deon dengan tato di lengan yang terlihat sangat besar, bahkan memanjang hingga sampai pergelangan tangan. Baru kali ini dia melihat pria seperti itu. Karena memang ruang lingkup Lika tidak pernah aneh-aneh. "Kamu ngelamun?" Tanya Laksa. "Terpesona sama ketampanan gue itu. Ti ati jatuh cinta sama gue repot nanti." Mendengar itu sontak saja Laksa langsung menatap Deon tajam, enak saja jatuh cinta, dia saja butuh waktu lama untuk menaklukkan hati Lika. Sedangkan Deon seenaknya mengatakan hal itu, jangan sampai itu terjadi. Laksa jelas tidak akan membiarkan hal itu. "Enak aja itu mulut kalo ngomong! Nggak ada!" "Kalian apaan sih, aku nggak papa kok, cuma heran aja, ada gitu manusia macam ini?" Laksa langsung melontarkan tawa yang membahana, bahkan sampai mengundang perhatian dari pengunjung kafe. Sedangkan Deon, pria itu melebarkan mulutnya dengan plototan kecil saat mendengar Lika yang jelas mengatakan jika dirinya adalah makhluk langka dan tergolong spesies aneh. "Maksud Lo, gue makhluk aneh gitu?" Tanya Deon sinis. "Eh, jangan sok jutek sama bini gue! Masih hamil nih!" "Ya lagian, enak bener dia bilang "ada gitu manusia macam ini!" Ucap Deon mengulang perkataan Lika dengan cibiran pelan. "Lo kira gue makhluk langka!" "Ya salah Lo, lagian badan bagus kenapa pula di gambar-gambar gitu. Kek nggak guna aja! Macam anak SD aja." Sinis Laksa dengan mata terpincing. Lika yang menyaksikan hal itu hanya menopang dagu memperhatikan perdebatan dua pria dewasa yang terlihat seperti anak-anak, meributkan sesuatu yang tidak jelas. Dia tidak mau menyela, justru membiarkan dia pria itu berdebat, entah kenapa ada kenikmatan tersendiri saat melihat dua pria itu bersitegang seperti itu. "Gambar-gambar! Seni ini woy, asal aja kalo ngomong!" "Seni di tubuh bukan seni namanya, seni itu sebuah karya yang bisa di lihat banyak orang, lah ini?" "Apa?" "Cuma bisa dilihat sama Lo doang, yang lain mana bisa liat!" "Lah buktinya Lo bisa liat sekarang." "Ya pas Lo pake baju lengan pendek doang, coba lengan panjang, mana bisa gue liat!" "Lah tujuan gue buat emang buat gue nikmatin sendiri, kenapa Lo yang sewot!" Keduanya masih saling tatap dengan urat yang terlihat jelas di kening dan leher mereka. Sungguh sesuatu yang amat langka dan jarang terjadi. Bahkan perdebatan itu malah menjadi bahan tontonan orang yang ada di sekitar, pun dengan Ratna yang masih menggeleng pelan saat Deon, lagi dan lagi menjadi pusat perhatian, pria itu selalu saja membuat masalah di kafenya. Berbeda dengan Lika, wanita yang tengah hamil muda itu malah terlihat asik dengan ponsel di tangannya, dia tengah mengabadikan perdebatan dua pria dewasa tampan dengan tampilan maco, tapi malah adu mulut seperti ibu-ibu arisan yang berebut siapa dulu yang dapat giliran. "Sewot lah, Lo sahabat gue. Mau Sampek kapan coba lo berhenti?" "Berhenti?" Tanya Deon dengan mata terpincing. "Sampek kapan juga gue nggak bisa berhenti Bambang, kan Lo tau sendiri ini mata pencaharian gue." "Berhenti gambar di tubuh Lo sendiri maksud gue itu!" Laksa mendesis tajam, dia memperhatikan sejenak lengan Deon, dan dari apa yang dia lihat, Laksa menemukan satu gambar baru yang ada di bagian dekat sikut. "Lo udah bilang sama gue untuk berhenti, kenapa masih aja nambah gambar?" Deon tak langsung menjawab, dia membuang tatapannya kesamping, melihat bunga yang ada di etalase tepat di sebelahnya. Dia masih belum mau menjawab, ada hal lain yang membuat dirinya menginginkan untuk menambah tato. Karena kecintaan pada seni tato memang sulit untuk dia tolak. "Cuma satu, nggak usah di permasalahkan!" Desisnya. "Satu kali, tapi tiap pingin Lo buat lama-lama jadi banyak juga." Deon mendesah pelan, dia menoleh dan menatap Laksa sejenak. "Dah lah nggak usah dibahas. Gue lagi males." Melihat itu Laksa memilih diam, dia pun ikut menghela napas pelan lalu menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Deon memang pernah mengatakan ingin berhenti, tapi semua butuh waktu, karena merubah kebiasaan itu tidak ada yang instan, butuh proses yang sangat panjang untuk menjadi diri yang lebih baik lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD