HmD 7 - Reina

1795 Words
HmD 7 - Reina Sayup-sayup udara sore itu seolah membelai wajah dan membuat helai rambut Rei seolah melambai, menikmati sensasi udara sore di taman belakang adalah cara yang begitu dia sukai untuk menghabiskan waktu menjemput malam, bebas dari teriakan bising dari Daddy. Dan bebas dari rengekan bak anak kecil dadi Deddy, semua seolah terasa damai, tak ada yang bisa membuat pikirannya sejernih sekarang. Di temani earphone yang menempel di telinganya, memutar untaian lagi sensi yang menenangkan hatinya, Rei suka kondisi saat ini, saat di mana semua tidak membuat dirinya jera. Hanya saja apa yang dia rasakan berbanding terbalik dengan segenap rasa yang ada di dadanya, entah apa yang membuatnya gelisah sampai saat ini. Biasanya, dengan mendengarkan lagi dan menikmati tiap hembus udara yang menerpa wajahnya, Rei akan melupakan semuanya, semua masalah yang dia anggap tidak penting, tapi entah kenapa kali ini pikiran dan perasaanya seolah bertolak belakang dengan hal itu. Perlahan, dia mengangkat ponsel yang ada di tangannya, lalu jari lentik itu mulai menyapu perlahan demi perlahan layar ponsel yang menunjukkan beberapa nama kontak di sana, pilihannya jatuh pada nama Galuh, cowok yang sudah mengisi hari-hari selama ini, salah satu teman yang tidak peduli dengan kondisi dirinya, bahkan tidak sekalipun takut dengan keberadaan Daddy yang bersikap begitu posesif kepadanya. Jari lentik itu bergerak dengan lihai, tak lama setelahnya panggilan terhubung, Galuh menerima panggilan telponnya dengan nada berat seperti biasa. Sepertinya pria itu tengah sibuk bekerja. Walau hari sudah mulai berlalu, tapi Rei tahu Galuh masih memiliki jam kerja yang tinggal beberapa menit lagi berakhir. "Kenapa, Rei?" Nada berat dengan helaan napas pelan membuat seutas senyum terbit di kedua sudut bibir Rei. Entah, baginya suara Galuh itu seolah candu dan pemicu untuk menghadirkan senyum lebar di bibirnya. "Sibuk?" "Hem. Gue lembur hari ini, ada satu motor yang harus beres besok." Rei tahu, Galuh adalah pemilik salah satu bengkel yang bisa mengoprek sebuah motor, yang standar pabrik menjadi sebuah motor yang diinginkan pelanggan, seperti halnya motor miliknya yang di rubah menjadi lebih gagah lagi, motor cross yang selalu dia sukai, tentu saja dari persetujuan Daddy, Rei baru bisa membuatnya. Bengkel yang Galuh miliki bukan sekedar bengkel biasa, pria itu terkenal dengan kepiawaiannya dalam mengolah dan merakit ulang motor rusak menjadi motor berkualitas, tentu saja dengan budget yang sepadan untuk mendapatkan kualitas yang luar biasa. "Ada waktu?" "Tergantung." "Maksudnya?" "Tergantung lp udah dapet izin apa belum, kalo belum ya mending gue lembur." Rei tahu, tanpa berkata sekalipun, pria itu selalu peka akan dirinya, tidak peduli seberapa sibuk pekerjaan Galuh, pria itu akan selalu memprioritaskan dirinya di atas segalanya. Bukan terlalu sombong, tapi itulah kenyataannya. Galuh memang selalu menganggap Rei segalanya. Padahal jia dipikir, Rei buka siapa-siapa Galuh, tapi pria itu seolah mengatasnamakan dirinya adalah milik Galuh. "Tenang aja, izin mah aman asal gue bilang." "Jadi yang semalam lo nggak bilang?" "Bukan nggak bilang, cuma emang gue agi sibuk, banyak pr yang belum gue kerjain, belum lagi kandang Molly yang kudu gue bersihin sendiri." "Terus?" "Gue kangen mamah." "Jam berapa?" Inilah yang Rei suka dari Galuh. Pria itu tidak pernah muluk-muluk akan sesuatu, jika Rei menginginkan sesuatu pria itu tidak perlu menanyakan kenapa dan kenapa. Selalu langsung tanpa banyak basa-basi yang membuat Rei suka. "Gue kabarin nanti. Daddy belum balik, jadi gue belum bisa minta izin." "Oke." "Nomor Lo aktif terus!" "Udeh, kapan sih nomor gue nggak aktif?" "Nggak pernah." Halah Rei dengan cengiran khasnya. "Nah itu Lo tau, ya udah, lagian mana pernah gue nolak kemauan Lo, minta makan dini hari aja gue bela-belain Dateng, apalagi ginian." "Em, iya deh iya, yang lagi bucin mah beda." "Bucin selama dua tahun? Situ waras?" "Heh! Harusnya gue yang bilang gitu, Lo bucin gue selama dua tahun nggak capek?" "Capek!" Balas Galuh pelan. "tapi capek gue langsung ilang tiap kali liat senyum manis di wajah Lo." "Nah ini! Mulai dia speak teros bos! Jan kasih kendor!" Keduanya tertawa bersama, Rei selalu suka dengan segala interaksi dengan Galuh, sebelum rasa di dalam d**a itu kembali ia rasakan, sesak dan terasa begitu ngilu, ada rindu yang menggebu dan segera ingin dia luapkan, tapi apa mungkin dirinya sanggup, sedangkan bertemu seorang diri saja dia tidak berani. Ada tembok yang terbentang memberi jarak di antara keduanya, dan Rei benci hal itu. "Ya Udin kabarin gue aja nanti, masih ada kerjaan yang harus gue urus sekarang." "Sip bos, lanjutkan, jangan kasih kendor. Kumpulin duit banyak-banyak biar bisa ambil gue dari Deddy." "Iye, tunggu ae!" Di saat seperti ini selalu membuat Rei bisa tersenyum meski hanya sedikit, dia bisa merasakan bagaimana tulusnya Galuh yang selalu menerima dirinya. Teringat dulu bagaimana perjuangan pria itu untuk mendekati dirinya yang selalu saja jual mahal, dan berpikir jika cowok yang lebih tua darinya itu tidak pantas untuk dirinya, tapi sekarang, Rei malah merasa memiliki sosok kakak sekaligus kekasih secara bersamaan, pria itu selalu membimbingnya, melarang segala hal yang dirasa merugikan dirinya suatu hari nanti. Dari sebuah penolakan berubah menjadi sebuah rasa yang sulit untuk dilupakan. Benar kata orang, kenyamanan itu memang sulit untuk dimusnahkan, sekeras apapun mencoba, jika hari sudah berkata iya maka segalanya akan sulit untuk di cegah. "Btw pake motor Lo aja ya nanti malam." "Siap, atur aja waktunya." "Heem. Ya udah Lo lanjut kerja lagi sono, gue lupa belum kasih makan buat si Molly hari ini." "Ya udah gue tinggal dulu, kabari aja nanti jam berapanya." Rei mengangguk walau apa yang dia lakukan sama sekali tidak bisa dilihat boleh Galuh, tapi Rei selalu melakukan hal itu. Panggilan berakhir dan Rei segera melepas earphone miliknya, dia menatap langit-langit sebentar sebelum menegakkan tubuhnya dan melangkah masuk kedalam rumah. Malam sebentar lagi datang, dan dia harus segera bersiap-siap. Memberi makan Molly, lalu mandi, setelah itu makan malam sebentar lalu pergi dengan santai dan tenang, dan memaksa Daddy untuk tidak menyuruh bawahannya untuk menjadi mata-mata dadakan. Aroma sedap dari bumbu masakan menguar dengan sempurna membuat perut keroncong berbunyi tegas, seolah mengatakan jika mereka meminta untuk segera diisi. Di liriknya bi Tasya yang tengah asik memasak untuk acara makan malam nanti. Dan Rei sama sekali tidak memiliki niatan untuk bergabung dalam acara makan malam tersebut. Lupakan, Rei memiliki tujuannya sendiri, bukan hanya makan malam yang bisa saja membosankan. Dia ingin menghabiskan malam bersama Galuh, menginap di rumah mamah dan bercerita banyak hal. Tentang apapun hingga dia lelah dan mengantuk. "Rei, udah mandi?" Rei menggeleng pelan saat bi Tasya seolah menyadari kehadirannya dan selalu bertanya demikian tiap sore menjelang, seolah itu adalah jadwal kebiasaan bi Tasya untuk mengingatkan dirinya akan segala hal, seperti makan, mandi, Susi, belajar, pr dan sebagainya lagi. Bi Tasya juga selalu menjadi alarm dirinya di setiap pagi hari saat Rei susah untuk bangun. Apalagi saat begadang nonton bola sampai larut malam. "Baru mau mandi, bi. Cuma setelah kasih makan Molly baru mandi." "Abis mandi kimono langsung bawa ke tempat cucian ya, biar bibi cuci sekalian nanti." "Kimono aku masih bersih Lo bi." "Mana ada bersih, udah daki semua gitu, biar bibi cuci dulu, kamu sementara pake handuk dulu." Bi Tasya memang sudah menjadi sosok ibu untuk Rei, sejak kecil dirinya diasuh dan di besarkan oleh Daddy dan bi Tasya, jadi hal semacam ini jelas sudah tidak asing lagi, mereka, terlebih Daddy, tidak pernah mengajarkan dirinya untuk bersikap sombong dan membedakan manusia satu dengan yang lain. Mereka jelas sama, makhluk ciptaan Tuhan. Jadi Daddy menekankan pada Rei agar gadisnya tidak salah menilai dan menerapkan pelajaran yang sudah dia terapkan sejak dini. "Iya deh, abis ini aku bawa kebelakang kalo udah mandi." "Ya udah mandi sana. Jangan kebiasaan mandi sore." "Hooh, ini geh mau mandi bibi." Rei terkekeh pelan, lalu memajukan tubuhnya dan mencuri sagu kecup di pipi bi Tasya. "Loh kok malah main cium, orang di suruh mandi juga." "Nggak papa, biar bibi tau, aku belum mandi sama dengan aku baru selesai mandi. Wangi." Bi Tasya menoleh, di tatapannya wajah anak majikannya itu dengan geli. "Ngarang kamu ya, mana ada wangi. Apek gitu!" "Bibi, ah...!" "Nggak usah ngambek. Mandi sana!" "Iya bi iya, ini loh mau berangkat." Tasya beranjak pergi, tujuannya adalah kamar Molly, si kucing oranye yang menjadi teman setianya hingga sekarang. Dia mengambil whiskas untuk makanan sore ini. Lalu meletakan di atas tempat makan yang langsung di sambar oleh kucing gembul itu. Rupanya kucing kesayangan lapar berat, makanya menyambar tanpa pikir panjang. Rei jongkok di hadapan Molly, tangannya mengelus pelan puncak kepala kucing itu. "Makan yang banyak. Terus doain mommy jamu lancar ngedate sama Daddy kamu." Daddy yang dia maksud adalah Galuh. Pria yang sudah memberi dirinya Molly, mempercayakan Rei agar wanita itu merawatnya. Kucing gemuk itu hanya memberi suara meong sebagai jawaban, yang entah mengerti atau tidak, tapi Rei menganggap jika kucing itu mengerti. "Udah lama mommy nggak jalan sama Daddy, doain ya, siapa tau kamu dapet adek baru kan." Tangannya mulai mengelus puncak kepala Molly membuat kucing gemuk itu semakin manja dan mendengkur kecil sembari menyantap makanannya. "Bukan adik dari mommy kamu ya, tapi adik mungut, atau Daddy kamu yang bakal cariin kamu adek. Tenang aja, nanti mommy bakal minta Daddy kamu buat cari cemilan buat kamu yang banyak." Beberapa hari lalu Rei merengek pada Galuh untuk mencarikan kucing kecil agar Molly ada temannya, setidaknya Molly tidak sendirian lagi seperti halnya dia yang selalu saja sendirian jika Daddy meninggalkan dirinya. Dan seperti biasa, Galuh akan dengan senang hati menuruti keinginan Rei tanpa banyak debat, pria itu selalu saja demikian. "Kamu makan yang gemuk, yang puas karena sebentar lagi kamu bakal ada saingannya." Rei terkekeh pelan, dia tidak menyangka jika berbicara dengan kucing akan sangat menyenangkan seperti saat ini. Seringkali dia lupa waktu saat bermain atau sekedar curhat dengan Molly. tempat paling nyaman untuk dia melepaskan resah dan gundah dalam dirinya. "Ya udah mommy mandi dulu." Setelahnya Rei memberi satu usapan terakhir sebelum berlalu pergi. Dia harus segera bersiap-siap sebelum Daddy pulang. Dan setelah itu dia harus meminta izin, alasannya tentu saja untuk mengunjungi sang mamah. Rei ingin menginap di rumah mamah malah ini, melebur rindu yang susah sejak lama dia tahan. Walau mungkin daddy akan sedikit melarang, tapi Rei yakin, dengan sedikit rengekan maka Daddy akan luluh saat itu juga. Bagaimanapun Rei adalah anak kesayangan Daddy. Menjadi anak satu-satunya di rumah ini menjadikan Rei sedikit agak egois, walau tidak separah yang dia bayangkan, dan hanya di taraf wajar. Rei juga tahu diri dia masih mengerti tentang batasan-batasan yang harus dia patuhi. Rei melepaskan kemeja kebesaran yang ia kenakan dan hotpants saat berada di rumah. Lalu melemparkan pakaian itu kedalam keranjang pakaian kotor, sore ini dia ingin berendam, menenangkan dirinya di dalam genangan air dengan sabun aroma terapi yang dia sukai. Bahagia bagi Rei itu sederhana, cukup dengan ketenangan yang ada tanpa ada gangguan dari segala hal yang memenuhi kepalanya saja sudah cukup. Karena jika Daddy sudah pulang, maka ketenangan Rei akan lenyap saat itu juga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD